Muhammad bin abdul wahhab
Syeikh al-Islam al-Imam Muhammad
bin `Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin
Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi.
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab
dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung `Uyainah
.
Beliau meninggal dunia pada 29
Syawal 1206 H (1793 M) dalam usia 92 tahun, setelah mengabdikan diri selama
lebih 46 tahun dalam memangku jawatan sebagai menteri penerangan Kerajaan Arab
Saudi .
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb,
adalah seorang ulama yang berusaha membangkitkan kembali dakwah tauhid dalam
masyarakat dan cara beragama sesuai dengan tuntunan Rasulullah dan para
sahabat. Para pendukung gerakan ini menolak disebut Wahabbi, karena pada
dasarnya ajaran Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan
ajaran tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka
sebagai Salafiyun (mengikuti jejak generasi salaf) atau Muwahhidun yang berarti
"Mengesakan Allah".
Istilah Wahhabi sering menimbulkan
kontroversi berhubung dengan asal usul dan kemunculannya dalam dunia Islam.
Umat Islam umumnya keliru menilai mereka dan menyangka bahwa mazhab mereka
mengikuti pemikiran Ahmad bin Hanbal dan alirannya saja, al-Hanbaliyyah atau
al-Hanabilah yang merupakan salah sebuah mazhab dalam Ahl al-Sunnah wa
al-Jama'ah. Dan adapula yang menghubungkan mereka dengan gerakan teroris,
padahal ajaran mereka sangat anti teroris.
Nama Wahhabi atau al-Wahhabiyyah
kelihatannya dihubung-hubungkan kepada nama 'Abd al-Wahhab yaitu ayahanda
Syaikh Muhammad bin 'Abd al-Wahhab al-Najdi. Bagaimanapun, istilah Wahhabi ini
tidaklah sah dinisbatkan untuk nama suatu kelompok, karena sejatinya nama
Wahhab adalah hanya untuk Allah Ta'ala. Oleh karena itu mereka menisbatkan diri
mereka sebagai golongan al-Muwahhidun (Orang-orang yang Mengesakan Allah)
karena mereka ingin mengembalikan ajaran-ajaran tauhid ke dalam Islam dan cara
beragama sesuai sunnah Rasulullah yang semakin asing di masyarakat. Dia
mengikat perjanjian dengan Muhammad bin Saud, seorang pemimpin suku di wilayah
Najd. Sesuai kesepakatan, Ibnu Saud ditunjuk sebagai pengurus administrasi
politik, sementara Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb menjadi pemimpin spiritual.
Sampai saat ini, gelar "keluarga kerajaan" negara Arab Saudi dipegang
oleh keluarga Saud. Namun mufti umum tidak selalu dari keluarga Muhammad bin
ʿAbd al-Wahhāb misalnya Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baz.
Sebagaimana lazimnya, seorang
pemimpin besar dalam suatu gerakan perubahan , maka Syeikh Muhammad bin `Abdul
Wahab pun tidak lepas dari sasaran permusuhan dari pihak-pihak tertentu, baik
dari dalam maupun dari luar Islam, terutama setelah Syeikh menyebarkah
dakwahnya dengan tegas melalui tulisan-tulisannya, berupa buku-buku mahupun
surat-surat yang tidak terkira banyaknya. Surat-surat itu dikirim ke segenap
penjuru negeri Arab dan juga negeri-negeri Ajam (bukan Arab).
Surat-suratnya itu dibalas oleh
pihak yang menerimanya, sehingga menjadi beratus-ratus banyaknya. Mungkin kalau
dibukukan niscaya akan menjadi puluhan jilid tebalnya.
Sebagian dari surat-surat ini
sudah dihimpun, diedit serta diberi ta’liq dan sudah diterbitkan, sebagian
lainnya sedang dalam proses penyusunan. Ini tidak termasuk buku-buku yang
sangat berharga yang sempat ditulis sendiri oleh Syeikh di celah-celah
kesibukannya yang luar biasa itu. Adapun buku-buku yang sempat ditulisnya itu
berupa buku-buku pegangan dan rujukan kurikulum yang dipakai di
madrasah-madrasah ketika dia memimpin gerakan tauhidnya.
Tentangan maupun permusuhan yang
menghalang dakwahnya, muncul dalam dua bentuk:
1. Permusuhan
atau tentangan atas nama ilmiyah dan agama,
2. Atas
nama politik yang berselubung agama.
Bagi yang terakhir, mereka
memperalatkan golongan ulama tertentu, demi mendukung kumpulan mereka untuk
memusuhi dakwah Wahabiyah.
Mereka menuduh dan memfitnah
Syeikh sebagai orang yang sesat lagi menyesatkan, sebagai kaum Khawarij,
sebagai orang yang ingkar terhadap ijma’ ulama dan berbagai macam tuduhan buruk
lainnya.
Muhammad bin abdul wahhab
merupakan tokoh berdirinya aliran Wahabi yang menjadi kontrofersi, jadi
bagaimana penilaian anda tentang aliran Wahabi ini?.
Muhammad Abduh
Muhammad Abduh, lahir di Delta
Nil (kini wilayah Mesir), 1849 – meninggal di Iskandariyah (kini wilayah
Mesir), 11 Juli 1905 pada umur 55/56 tahun) adalah seorang pemikir muslim dari
Mesir, dan salah satu penggagas gerakan modernisme Islam.
Ia belajar tentang filsafat dan
logika di Universitas Al-Azhar, Kairo, dan juga murid dari Jamaluddin
al-Afghani, seorang filsuf dan pembaru yang mengusung gerakan Pan Islamisme
untuk menentang penjajahan Eropa di negara-negara Asia dan Afrika.
Muhammad Abduh diasingkan dari
Mesir selama enam tahun sejak 1882, karena keterlibatannya dalam Pemberontakan
Urabi. Di Lebanon, Abduh sempat giat dalam mengembangkan sistem pendidikan
Islam. Pada tahun 1884, ia pindah ke Paris, dan bersalam al-Afghani menerbitkan
jurnal Islam The Firmest Bond.
Salah satu karya Abduh yang
terkenal adalah buku berjudul Risalah at-Tawhid yang diterbitkan pada tahun
1897.
Pemikirannya banyak terinspirasi
dari Ibnu Taimiyah, dan pemikirannya banyak menginspirasi organisasi Islam,
salah satunya Muhammadiyah, karena ia berpendapat, Islam akan maju bila umatnya
mau belajar, tidak hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu sains.
Muhammad Abduh dilahirkan dan dibesarkan dan hidup
dalam masyarakat yang sedang disentuh oleh
perkembangan-perkembangan dasar di Eropa. Sayyid Quthub sebagaimana
dikutip oleh M. Quraish Shihab, dalam bukunya yang berjudul Studi Kritis Tafsir
Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha, memberikan gambaran singkat mengenai
masyarakat tersebut yakni ”suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat
pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami sari’at Allah atau
mengistinbatkan hukum-hukum karena mereka telah merasa berkecukupan dengan
hasil karya para pendahulu mereka yang juga hidup dalam masa kebekuan akal
(jumud) serta yang berlandaskan “khurofat”. Sementara itu di Eropa hidup suatu
masyarakat yang mendewakan akal, khususnya setelah penemuan-penemuan ilmiah
yang sangat mengagumkan ketika itu.
Keadaan masyarakat Eropa tersebut
sesungguhnya telah menanamkan benih pengaruhnya sejak kedatangan ekspedisi
prancis (Napoleon) ke Mesir pada tahu 1798. Namun secara jelas tumbuhnya
benih-benih tersebut mulai dirasakan Muhammad Abduh pada saat ia memasuki pintu
gerbang Al-Azhar. Waktu itu, lembaga pendidikan tersebut para pembina dan
ulamanya telah terbagi kedalam dua kelompok., mayoritas dan minoritas. Kelompok
pertama menganut pola taqlid, yakni mengajarkan kepada siswa bahwa
pendapat-pendapat ulama terdahulu hanya sekedar dihapal, tanpa mengantarkan
pada usaha penelitian, perbandingan dan pentarjihan. Sedangkan kelompok kedua
menganut pola tajdid (pembaharu) yang menitik beratkan uraian-uraian mereka ke
arah penalaran dan pengembangan rasa.
Semenjak perjumpaannya dengan Al-
Afgani, Abduh berusaha mengadakan penyesuaian ajaran Islam dengan tuntutan
zaman, seperti penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Gagasan penyesuaian inilah kemudian disebut dengan moderniasasi. Sumber dari
gagasan moderenisasi Abduh tersebut bersumber dari penentangannya terhadap
taqlid. Menurut Muhammad Abduh, Al-Qur’an
memerintahkan kepada ummatnya untuk menggunakan akal sehat mereka, serta
melarangnya mengikuti pendapat-pendapat terdahulu tanpa mengikuti secara pasti
hujah-hujah yang menguatkan pendapat tersebut, walaupun pendapat itu
dikemukakan oleh orang yang seyogyanya paling dihormati dan dipercaya. Abduh
menetapkan tiga hal yang menjadi kritrea perbuatan taqlid ini, ketiga kriteria
tersebut adalah:
a) Sangat
mengagung-agungkan para leluhur dan para guru mereka secara berlebihan.
b) Mengiktikadkan
agungnya pemuka-pemuka agama yang silam, seolah-olah telah mencapai
kesempurnaan.
c) Takut
dibenci orang dan dikritik bila ia melepaskan fikirannya serta melatih dirinya
untuk berpegang kepada apa yang dianggap benar secara mutlak.
Muhammad Abduh menyikapi
peradaban Barat modern dengan selektif dan kritis. Dia senantiasa menggunakan
prinsip ijtihad sebagai metode utama untuk meretas kebekuan pemikiran kaum
muslimin. Abduh tidak pernah berfikir, apalagi berusaha untuk mengambil alih
secara utuh segala yang datang dari dunia Barat. Karena ia beranggapan apa bila
itu dilakukan berarti mengubah taqlid yang lama dengan taqlid yang baru, juga
karena hal tersebut tidak akan berguna, disebabkan adanya perbedaan-perbedaan
pemikiran dan struktur sosial masyarakat masing-masing daerah.
Muhammad Abduh Adalah seorang
pembaharu yang corak pembaharuannya bersifat reformistik-rekonsturktif. Ini
dikarenakan Muhammad Abduh senantiasa melihat tradisi dengan perpektif
membangun kembali. Agar tradisi suatu masyarakat dapat survive dan terus
diterima, ia harus dibangun kembali. Pembangunan kembali ini tentunya dengan
kerangka modern dan prasyarat rasional. Pemikiran pembaharuan yang bercorak
reformistik dalam bentuknya yang pertama secara filosofis.
Gerakan pembaharuan yang
diinagurasikan Muhammad Abduh bersifat konservatif, hal ini terlihat dari sikap
Muhammad Abduh yang tidak bermaksud mengubah potret diri Islam. Risalah Tauhid
merupakan bukti dari pemikiran ini. Muhammad Abduh dalam karya ini berupaya
menegaskan kembali potret diri Islam yang telah mencapai finalitas dan
keunggulan.
Demikianlah muncul ke permukaan
ketiga tipologi pemikiran, yaitu modernis, reformis, konservatif, yang
dilontarkan berkaitan dengan pembaharuan yang dilakukan Muhammad Abduh.
Ketiganya merupakan refleksi dalam membaca segala pemikiran Muhammad Abduh.
Dalam pembacaan itu corak pertama lebih menekankan pada aspek slektifitas dan
sikap kritis Muhammad Abduh dalam menyikapi dan memandang peradaban barat.
Corak kedua lebih menekankan kepada upaya Muhammad Abduh dalam membangun
kembali tradisi Islam secara rekonstruktif. Sedangkan corak yang ketiga
memfokuskan bacaannya kepada upaya Muhammad Abduh dalam membela Islam melalui
finalitas dan keunggulan Islam.
Inti Pemikiran Muhammad Abduh
adalah:
1.
Membebaskan pikiran dari ikatan taqlid dan
memahami agama seperti kaum salaf sebelum timbulnya pertentangan-pertentangan
dan kembali dalam mencari pengetahuan agama kepada sumbernya yang pertama dan
mempertimbangkan dalam lingkungan timbangan akal yang diberikan Allah SWT untuk
mencari keseimbangan dan mengurangi kecampuradukan dan kesalahan. Dengan cara
ini orang dianggap sebagai sahabat ilmu yang bergerak untuk meneliti
rahasia-rahasia alam, mengajak menghormati kebenaran dan untuk berpegang kepada
pendidikan jiwa dan perbaikan amal.
2.
Memperbaiki bahasa arab dan susunan kata, baik
dalam percakapan resmi atau dalam surat menyurat antar manusia.
3.
Pembaharuan di bidang politik, ini dilakukannya
di Majlis Syura sejak ia dipilih menjadi anggota majelis itu.
Kita melihat di sini agenda
pembaharuan dibidang bahasa, politik, dan akidah dan tunutunan umum. Dan dalam
semua sisi itu, Abduh mengemukakan kritik yang membangun. Sedangkan inti
seluruhnya adalah pendidikan Islam. Ia melihat bahwa rusaknya masyarakat Islam
karena salahnya pendidikan.
Dalam salah satu tulisannya,
Abduh membagi syariat menjadi dua bagian, yaitu; hukum yang pasti (al Ahkam al
Qath’iyah) dan hukum yang tak ditetapkan secara pasti dengan nash dan ijma.
Hukum yang pertama, bagi setiap muslim wajib mengetahui dan mengamalkannya.
Hukum yang seperti ini terdapat dalam al-Qur’an dan rinciannya telah dijelaskan
Nabi melalui perbuatannya, serta disampaikan oleh kaum muslimin secara berantai
dengan praktek. Hukum ini merupakan hukum dasar yang telah disepakati(mu jma’
‘alaîhi) kepastiannya. Hal ini bukan merupakan lapangan ijtihad dan dalam hukum
yang telah pasti serupa ini, seseorang boleh bertaklid. Yang kedua adalah hukum
yang tidak ditetapkan dengan tegas oleh nash yang pasti dan juga tidak terdapat
konsensus ulama di dalamnya. Hukum inilah yang merupakan lapangan ijtihad,
seperti masalah muamalah, maka kewajiban semua orang untuk mencari dan
menguraikannya sampai jelas.
Disinilah peranan para mujtahid,
dan dari masalah ini pula lahir madzhab-madzhab fiqh yang merupakan cerminan
dari keragaman pendapat dalam memahami nash-nash yang tidak pasti tersebut.
Dalam melakukan perbaikan Muhammad
Abduh memandang bahwa suatu perbaikan tidaklah selamanya datang melalui
revolusi atau cara serupa. Seperti halnya perubahan sesuatu secara cepat dan
drastis. Akan tetapi juga dilakukan melalui perbaikan metode pemikiran pada
umat islam. Melaui pendidikan, pembelajaran,dan perbaikan akhlaq. Juga dengan
pembentukan masyarakat yang berbudaya dan berfikir yang bisa melakukan
pembaharuan dalam agamanya. Sehingga dengannya akan tercipta rasa aman dan
keteguhan dalam menjalankan agama islam. Muhammad Abduh menilai bahwa cara ini
akan membutuhkan waktu lebih panjang dan lebih rumit. Akan tetapi memberikan
dampak perbaikan yang lebih besar dibanding melalui politik dan perubahan
secara besar-besaran dalam mewujudkan suatu kebangkitan dan kemajuan.
Sebagaimana telah didefinisikan bahwa pembaharuan (tajdid) adalah kebangkitan
dan penghidupan kembali dalam bidang keilmuan Islam dan aplikasi sebagaimana
pada zaman Rasullullah dan para sahabat. Yang selama ini sempat hilang,
terlupakan, bahkan terhapus dari tubuh umat Islam.
Sebagaimana telah diungkapkan oleh
Muhammad Abduh bahwa metodenya dalam perbaikan adalah jalan tengah. Dalam hal
ini beliau membagi umat Islam kepada 2 bagian yaitu:
1. Mereka
yang condong kepada ilmu-ilmu agama dan apa yang berhubungan dengan itu semua.
Mereka itu yang biasa disebut al-muqallid.
2. Mereka
yang condong pada ilmu-ilmu dunia. Yang silau dan kagum akan barat serta
berbagai disiplin ilmu yang dimiliki,dan kemajuannya dalam bidang materi.
Nama panjang beliau adalah
Muhammad Jamaluddin Al Afghani, dilahirkan di Asadabad, Afghanistan pada tahun
1254 H/1838 M. Ayahanda beliau bernama Sayyid Safdar al-Husainiyyah, yang
nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali al-Turmudzi (seorang perawi hadits yang
masyhur yang telah lama bermigrasi ke Kabul) juga dengan nasab Sayyidina Husain
bin Ali bin Abi Thalib.
Pada usia 8 tahun Al-Afghani
telah memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa, beliau tekun mempelajari
bahasa Arab, sejarah, matematika, filsafat, fiqh dan ilmu keislaman lainnya.
Dan pada usia 18 tahun ia telah menguasai hampir seluruh cabang ilmu
pengetahuan meliputi filsafat, hukum, sejarah, kedokteran, astronomi,
matematika, dan metafisika. Al-Afghani segera dikenal sebagai profil jenius
yang penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan bak ensiklopedia.
Setelah membekali dirinya dengan
seluruh cabang ilmu pengetahuan di Timur dan Barat (terutama Paris, Perancis),
Al-Afghani mempersiapkan misinya membangkitkan Islam. Pertama-tama ia masuk ke
India, negara yang sedang melintasi periode yang kritis dalam sejarahnya.
Kebencian kepada kolonialisme yang telah membara dalam dadanya makin berkecamuk
ketika Afghani menyaksikan India yang berada dalam tekanan Inggris. Perlawanan
terjadi di seluruh India. Afghani turut ambil bagian dari
periode yang genting ini, dengan bergabung dalam peperangan
kemerdekaan India pada bulan Mei 1857. Namun, Afghani masih sempat pergi ke
Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Sepulang dari haji, Afghani pergi
ke Kabul. Di kota ini ia disambut oleh penguasa Afghanistan, Dost Muhammad,
yang kemudian menganugerahinya posisi penting dalam pemerintahannya. Saat itu,
Dost Muhammad sedang mempertahankan kekuasaannya dengan memanfaatkan kaum
cendekiawan yang didukung rakyat Afghanistan. Sayang, ketika akhirnya Dost
terbunuh dan takhtanya jatuh ke tangan Sher Ali, Afghani diusir dari Kabul.
Meninggalkan Kabul, Afghani
berkelana ke Hijjaz untuk melakukan ziarah. Rupanya, efek pengusiran oleh Sher
Ali berdampak bagi perjalanan Afghani. Ia tidak diperbolehkan melewati jalur
Hijjaz melalui Persia. Ia harus lebih dulu masuk ke India. Pada tahun 1869
Afghani masuk ke India untuk yang kedua kalinya. Ia disambut baik oleh
pemerintah India, tetapi tidak diizinkan untuk bertemu dengan para pemimpin
India berpengaruh yang berperan dalam revolusi India. Khawatir pengaruh Afghani
akan menyebabkan pergolakan rakyat melawan pemerintah kolonial, pemerintah
India mengusir Afghani dengan cara mengirimnya ke Terusan Suez yang sedang
bergolak.
Di Mesir Afghani melakukan kontak
dengan mahasiswa Al-Azhar yang terkagum-kagum dengan wawasan dan ide-idenya.
Salah seorang mahasiswa yang kemudian menjadi murid Afghani adalah Muhammad
Abduh. Dari Mesir, Afghani pergi ke Istanbul untuk berdakwah. Di ibu kota Turki
ini Afghani mendapat sambutan yang luar biasa. Ketika memberi ceramah di
Universitas Konstantinopel, salah seorang ulama setempat, Syaikhul Islam,
merasa tersaingi. Ia segera menghasut pemerintah Turki untuk mewaspadai
gagasan-gagasan Afghani. Buntutnya, Afghani didepak keluar dari Turki. Pada
tahun 1871.
Afghani menjejakkan kakinya di
Kairo untuk yang kedua kalinya. Di Mesir Afghani melanjutkan dakwahnya yang
pernah terputus dan segera mempengaruhi para mahasiswa dan ulama Al-Azhar.
Tetapi, pemberontakan kaum nasionalis Mesir pada tahun 1882 berujung pada
tindakan deportasi oleh pemerintah Mesir yang mencurigai Afghani ada di
belakang pemberontakan.
Afghani dideportasi ke India,
tetapi tak lama ia sudah berada dalam perjalanan ke London, kota yang pernah
disinggahinya ketika ia berdakwah ke Paris. Di London ia bertemu dengan
Muhammad Abduh, muridnya yang ternyata juga dikucilkan oleh pemerintah Mesir.
Dari London, Afghani bertualang
ke Moskow. Ia tinggal selama empat tahun di St. Petersburgh. Di sini pengaruh
Afghani segera menjalar ke lingkungan intelektual yang dipercaya oleh Tsar
Rusia. Salah satu hasil dakwah Afghani kepada mereka adalah keluarnya izin
pencetakan Al-Quran ke dalam bahasa Rusia.
Afghani menghabiskan sisa umurnya
dengan bertualang keliling Eropa untuk berdakwah. Bapak pembaharu Islam ini
memang tak memiliki rintangan bahasa karena ia menguasai enam bahasa dunia
(Arab, Inggris, Perancis, Turki, Persia, dan Rusia).
Afghani menghembuskan nafasnya
yang terakhir karena kanker yang dideritanya sejak tahun 1896. Beliau pulang
keharibaan Allah pada tanggal 9 Maret 1897 di Istambul Turki dan dikubur di
sana. Jasadnya dipindahkan ke Afghanistan pada tahun 1944. Ustad Abu Rayyah
dalam bukunya “Al-Afghani; Sejarah, Risalah dan Prinsip-prinsipnya”,
menyatakan, bahwa Al-Afghani meninggal akibat diracun dan ada pendapat kedua
yang menyatakan bahwa ada rencana Sultan untuk membinasakannya.
JURNAL ANTI PENJAJAHAN
Salah satu bukti kejeniusan
Jamaluddin Al-Afghani adalah Al-Urwatul Wutsqa, sebuah jurnal anti penjajahan
yang diterbitkannya di Paris. Al-Afghani mendapat sokongan seorang ulama Mesir,
Muhammad Abduh. Keduanya bersamaan menerbitkan majalah Al-Urwatul Wutsqa di
Paris pada tahun 1884 selama tujuh bulan dan mencapai 18 nomor. Publikasi ini
bukan saja menggoncang dunia Islam, pun telah menimbulkan kegelisahan dunia
Barat. Meskipun majalah ini pada akhirnya tidak mampu mempertahankan
penerbitannya oleh bermacam-macam rintangan, nomor-nomor lama telah dicetak
ulang berkali-kali. Di mana-mana, terutama untuk pasaran dunia Timur, majalah
ini dibinasakan penguasa Inggris. Di Mesir dan India penerbitan ini dilarang
untuk diedarkan. Akan tetapi, penerbitan ini terus saja beredar meski dengan
jalan gelap. Di Indonesia sendiri majalah ini berhasil masuk tidak melalui
pelabuhan besar. Ia berhasil masuk lewat kiriman gelap melalui pelabuhan kecil
di pantai utara, antaranya pelabuhan Tuban.
Jurnal ini segera menjadi
barometer perlawanan imperialis Dunia Islam yang merekam komentar, opini, dan
analisis bukan saja dari tokoh-tokoh Islam dunia, tetapi juga ilmuwan-ilmuwan
Barat yang penasaran dan kagum dengan kecemerlangan Afghani. Selama mengurus
jurnal ini, Afghani harus bolak-balik Paris-London untuk menjembatani diskusi
dan pengiriman tulisan para ilmuwan Barat, terutama yang bermarkas di
International Lord Salisbury, London.
AL AFGHANI DAN IBNU TAYMIYYAH
Tidak ada perbedaan diantara
keduanya, kecuali bahwa Ibnu Taymiyyah (seperti kebanyakan ulama dari generasi
awal) lebih banyak berhujjah dengan menggunakan dalil-dalil agama dan
pendekatan logika (mantiqy) dalam menegakkan panji/bendera yang dibawanya,
seperti yang kita bisa lihat dari karya-karya beliau. Sedangkan Al Afghani
lebih kepada pendekatan provokasi (dalam term positif) atau membakar semangat,
menyadarkan ummat atas realitas keterpurukan mereka, serta menjalin komunikasi
dengan para ulama dan pemimpin kaum Muslimin.
BEBERAPA KONTRIBUSI AL-AFGHANI
Pertama; Perlawanan terhadap
kolonial barat yang menjajah negri-negri Islam (terutama terhadap penjajah
Inggris). Beliau turut ambil bagian dalam peperangan kemerdekaan India pada
bulan Mei 1857, juga mengadakan ziarah ke negri-negri Islam yang berada di
bawah tekanan imperialis dan kolonialis barat seperti tersebut di atas.
Kedua; upaya melawan pemikiran
naturalisme di India, yang mengingkari adanya hakikat ketuhanan. Menurutnya,
dasar aliran ini merupakan hawa nafsu yang menggelora dan hanya sebatas egoisme
sesaat yang berlebihan tanpa mempertimbangkan kepentingan umat manusia secara
keseluruhan.
Hal ini dikarenakan adanya
pengingkaran terhadap hakikat Tuhan dan anggapan bahwa materi mampu membuka
pintu lebar-lebar bagi terhapusnya kewajiban manusia sebagai hamba Tuhan. Dari
situlah Al-Afghani berusaha menghancurkan pemikiran ini dengan menunjukkan
bahwa agama mampu memperbaiki kehidupan masyarakat dengan syariat dan
ajaran-ajarannya.
Wallahu A’lam Bish-Shawab…
MUHAMMAD IQBAL
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot,
Punjab, India, 9 November 1877 – meninggal di Lahore, 21 April 1938 pada umur
60 tahun), dikenal juga sebagai Allama Iqbal, adalah seorang penyair, politisi,
dan filsuf besar abad ke-20.
Ia dianggap sebagai salah satu
tokoh paling penting dalam sastra Urdu, dengan karya sastra yang ditulis baik
dalam bahasa Urdu maupun Persia. Iqbal dikagumi sebagai penyair klasik menonjol
oleh sarjana-sarjana sastra dari Pakistan, India, maupun secara internasional.
Meskipun Iqbal dikenal sebagai penyair yang menonjol, ia juga dianggap sebagai
"pemikir filosofis Muslim pada masa modern". Buku puisi pertamanya,
Asrar-e-Khudi, juga buku puisi lainnya termasuk Rumuz-i-Bekhudi,
Payam-i-Mashriq dan Zabur-i-Ajam;; dicetak dalam bahasa Persia pada 1915. Di
antara karya-karyanya, Bang-i-Dara, Bal-i-Jibril, Zarb-i Kalim dan bagian dari
Armughan-e-Hijaz merupakan karya Urdu-nya yang paling dikenal. Bersama puisi
Urdu dan Persia-nya, berbagai kuliah dan surat dalam bahasa Urdu dan Bahasa
Inggris-nya telah memberikan pengaruh yang sangat besar pada perselisihan
budaya, sosial, religius dan politik selama bertahun-tahun. Pada 1922, ia
diberi gelar bangsawan oleh Raja George V, dan memberinya titel
"Sir".
Ketika mempelajari hukum dan
filsafat di Inggris, Iqbal menjadi anggota "All India Muslim League"
cabang London. Kemudian dalam salah satu ceramahnya yang paling terkenal, Iqbal
mendorong pembentukan negara Muslim di Barat Daya India. Ceramah ini diutarakan
pada ceramah kepresidenannya di Liga pada sesi Desember 1930. Saat itu ia
memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Quid-i-Azam Mohammad Ali Jinnah.
Iqbal dikenal sebagai
Shair-e-Mushriq yang berarti "Penyair dari Timur". Ia juga disebut
sebagai Muffakir-e-Pakistan ("The Inceptor of Pakistan") dan
Hakeem-ul-Ummat ("The Sage of the Ummah"). Di Iran dan Afganistan ia terkenal
sebagai Iqbāl-e Lāhorī, dan sangat dihargai atas karya-karya berbahasa
Persia-nya. Pemerintah Pakistan menghargainya sebagai "penyair
nasional", hingga hari ulang tahunnya merupakan hari libur di Pakistan.
Iqbal adalah tokoh pemikiran
dalam islam yamg kejeniusannya tumbuh dan dikagumi di kalangan cendekiawan dan
penyair besar, ayahnya yakin bahwa burung cantik dalam mimpi yang ia alami itu
merupakan symbol dari roh Iqbal (the spirit of Iqbal). Mimpi yang terjadi
menjelang kelahiran Iqbal ini sebagai prophetia dream yang diyakini oleh Iqbal
(dipandang Abd. Al-Hakim) sebagai keyakinan seorang yang memiliki karakter
sensitive mind and spiritual learnings.
Keluarga Iqbal berasal dari
Khamsir. Bapaknya seorang pedagang kecil kemungkinan buta huruf, namun ia
adalah seorang muslim yang sangat ikhlas, shahih lagi sufi, yang mendorong
anaknya untuk secara teratur menghafal al-quran, demikian berpengaruh terhadap
prilaku Iqbal dalam hidupnya secara menyeluruh. Megenai nama ibunya Schimmul
tidak menyebutnya, namun dari syair yang dikutipnya tampak bahwa ibu Iqbal
adalah seorang wanita taat beragama, besar kecintaannya pada anaknya, demikian
pula Iqbal juga mencintainya. Jika pewarisan itu dapat terjadi secara fisik
berdasarkan gen, tampaknya demikian pula secara spiritual. Dan inilah yang
terjadi pada diri Iqbal yang lahir dari ibu bapak yang sama – sama taat
beragama. Iqbal belajar yang pertama kali di the Scottish Mission College
dikampung halamannya di Sialkot. Diantara guru-gurunya, selalu memberikan
dorongan bagi kemajuan pelajar muda itu yang tampak tertarik pada sastra dan
agama begitu cepat.
Sesudah menikah, Iqbal hijrah ke
Lahora pada tahun 1895 untuk melanjutkan study tingkat atasnya : ke kota yang
merupakan salah satu pusat keagamaan dan kebudayaan di negara itu sejak
Ghaznawi berkuasa pada abad XI dan XII, dan khususnya pada priode akhir Mongol
di sekolah inilah Iqbal berjaya dapat bertemu dengan Orientalis Inggris
terkenal Sir Thomas Arnold yang segera menyadari kemampuan Iqbal.
Menurut Harun Nasution terdapat
keterangan bahwa Sir Thomas adalah yang mendorng pemuda iqbal untuk melanjutkan
study di Inggris. Ia berangkat ke Inggris pada tahun 1905 belajar falsafah dan
hukum, guru terkemukanya di Cambridge adalah nco-Hegelian Motaggart. Pada tahun
1907 ia meninggalkan Inggris menuju jerman, mempelajari bahasanya di haidelbarg
dan mengajukan tesisnya tentang perkembangan metafisika di Persia (The
development of Metaphisich in Persia) bulan November 1997 di Universitas
Munich.
Sesudah memperoleh gelar Dr. Phil
dari Munich, Iqbal kembali ke London, memberi kuliah di musim semi 1908 tentang
topic – topic keislaman, kemudian kembali ke India pada musim panas. Sejak itu
ia memberikan kuliah – kuliah tentang filsafat dan sastra inggris. Ia juga
terjun sebagai pengacara. Akan tetapi beberapa waktu kemudian ia berhenti
mengajar, untuk selanjutnya ia mengkonsentrasikan diri pada bidang hukum.
Pada akhir tahun 1928 dan minggu
– minggu pertama tahun 1929 ia memberikan kuliah di universitas tersebut yang
kemudian dipublikasikan dengan judul Six Lectures on the Recontruction thought
in islam (pada edisi berikutnya hanya : The Reconstruction…) merupakan esensi
falsafah karya iqbal. Dalam bidang politik, karir Iqbal mencapai puncaknya
ketika di pilih menjadi presiden Liga Muslimin pada tahun 1930 ketika itulah ia
mengemukakan gagasannya yang amat monumental tentang perlunya mewujudkan negara
tersendiri bagi kaum muslimin yang terpisah dengan India yang Hindu.
Sebenarnya semula sebelum pergi
ke eropa – Iqbal adalah seorang nasionalis India (an India nasionalist) yang
menginginkan persatuan komunitas muslim dan komunitas hindu dalam satu tanah
air, India. Namun setelah kembali dari eropa ia menjadi pelopor pan islam (a
champion of muslim nationhood).
1. Obsesi
Iqbal mengenai terbentuknya negara tersendiri bagi komunitas muslim tidaklah
bertentangan dengan faham pan islam. Ia menyatakan bahwa islam bukan
nasionalisme dan bukan pula imperialisme, melainkan sebuah lembaga bangsa –
bangsa yang mengakui adanya perbatasan – perbatasan artificial semua perbedaan
rasial untuk mempermudah perkenalan belaka, dan bukan untuk membatasi cakrawala
sosial para anggotanya.
Berdasarkan
uraian ini tampak bahwa sekalipun Iqbal secara eksplisit menolak nasionalisme,
namun secara implicit ia mengakui pentingnya nasionalisme yang tersubordinasi
pada pan islam. Ia memang menolak faham nasionalis hanya karena di eropa faham
tersebut mengandung bibit meterialisme dan atheisme. Disamping itu ia curiga
adanya “konsep hinduisme dalam bentuk baru”. Pada faham nasionalis India.
2. Respon
Iqbal terhadap stagnasi intelektual umat islam termasuk juga komunitas muslim
India ia sampaikan melalui kajian antara lain tentang ego manusia: kebebasan
dan keabadiannya. Iqbal mengemukakan adanya kebebasan manusia, sebagai dasar
adanya pertanggung jawaban. Ia memandang ego sebagai “a free personal
causality” yang dengan demikian ia menolak faham jabariyah, selanjutnya Iqbal
mengemukakan bahwa faham tertutupnya pintu ijtihad sebagai “purofiction”.
Sebagai semata-mata fiksi, karena ijtihad itu sebenarnya merupakan elan vital
bagi dinamika islam, tentu penutupan pintu ijtihad itu sama sekali tidak dapat
dicarikan dasar legitimatifnya. Iqbal melihat adanya kombinasi kaum konsertatif
terhadap faham rasionalis dengan cara menggunakan otoritas syariat untuk
membuat umat tunduk dan diam, sebagai salah satu sebab terjadinya kebekuan
hukum islam yang pada gilirannya menjadikan ijtihad sebagai suatu yang
terlarang.
Hal itu
dilakukan semata-mata demi stabilitas sosial untuk mendukung kesatuan politik.
Dalam kaitan dengan ini, upaya yang ditempuh oleh ibn taimiyah menolak
pendirian bahwa keempat mazhab telah membahas semua persoalan yang dengan
demikian ijtihad tidak diperlukan lagi, menarik minat Iqbal.
3. Selanjutnya
Iqbal melihat kezuhudan juga turun bertanggung jawab terhadap kemunduran umat,
karena umat akan terbawa pada penolakan hidup materi untuk semata mencurahkan
seluruh potensi pada ritus-ritus keagamaan semata.Dalam kaitannya dengan ini
tampaknya kezuhudan yang berpengaruh di India juga di persubur oleh faham –
faham keagamaan di luar islam seperti faham agama budha, yang penganjur
utamanya yaitu ghautama jelas-jelas telah melepas kehidupan materialnya dalam
upaya untuk menemukan hakikat hidup nirwana.
Jatuhnya kota Baghdad menurut
Iqbal merupakan puncak penyebab kebekuan intelektual kaum muslimin. Seperti
diketahui Baghdad merupakan pusat kemajuan pemikiran islam sampai pertengahan
abad ketiga hijriyah. Ditambah lagi adanya sikap kaum konserpatif menolak
negara untuk pembaharuan dalam bidang hukum islam untuk kemudian berpegang
teguh pada produk ijtihad ulama pada masa dahulu, benar – benar mempunyai
peranan besar terhadap terjadinya stagnasi intelektual tersebut. Terapi yang
diberikan oleh Iqbal ialah menghidupkan kembali upaya ijtihad secara bebas.
Lebih jauh iqbal mengemukakan pentingnya pemindahan otoritas ijtihad dari wakil
– wakil mazhab kepada dewan islam, dan ia menyatakan inilah kemungkinan ijma`
dewasa ini dapat terjadi.
Ijtihad berarti upaya mencurahkan
segenap kemampuan intelektual, dan ini berarti menempatkan akal pada kedudukan
yang tinggi. Bahkan menurut Iqbal ijtihad merupakan “the principle of movement
in the structure of islam”.Dengan demikian dalam konsep ijtihad terdapat pula
aspek perubahan , karena dengan adanya perubahan itulah ijtihad perlu
dilakukan. Dengan adanya perubahan, sekaligus perkandungan dinamika kehidupan
umat manusia, bahkan juga dinamika alam semesta. Dari sinilah Iqbal amat cerdik
sekali menemukan ajaran dinamisme. Ia menangkap adanya prinsip dinamika hamper
pada semua segi, termasuk jatuh bangunnya suatu umat juga tidak terlepas dari
prinsip dinamika ini. Harun nasution menyimpulkan bahwa faham dinamisme yang
ditonjolkan inilah yang membuat Iqbal mempunyai kedudukan penting dalam
pembaharuan di India.
Memang terapi Iqbal dengan faham
dinamikanya ini amat tepat dilihat dari sudut keminoritasan komunitas muslim
ditengah – tengah komunitas hindu yang mayoritas, karena dengan menyuntikkan
kapsul dinamika itu kedalam komunitas muslim menyebabkan mereka dapat tampil
dengan eksistensi secara penuh.
Dalam syair-syairnya sebagaimana
dinyatakan oleh harun nasution Iqbal mendorong umat islam supaya bergerak dan
jangan tinggal diam, intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup ialah
menciptakan, maka Iqbal berseru kepada umat islam supaya bangun dan menciptakan
dunia baru. Untuk keperluan ini umat islam harus menguasai ilmu dan teknologi, dengan
catatan agar mereka belajar dan mengadopsi ilmu dari barat tanpa harus
mengulangi kesalahan barat memuja kekuatan materi yang menyababkan lenyapnya
aspek etika dan spiritual.
RASYID RIDHA
Rasyid Ridha adalah murid
Muhammad ‘Abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di al-Qalamun, suatu
desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suria). Menurut
keterangan, ia berasal dari keturunan al-Husain, cucu Rasulullah.
Semasa kecil, ia belajar di
sebuah sekolah tradisional di al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan
membaca al-Qur’an. Pada tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di al-Madrasah
al-Wataniah al-Islamiyyah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli. Sekolah ini
didirikan oleh al-Syaikh Husain al-Jisr, seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi
oleh ide-ide modern.
Rasyid Ridha meneruskan
pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli. Namun hubungan
dengan al-Syaikh Hussein al-Jisr berjalan terus dan guru inilah yang menjadi
pembimbing baginya di masa muda. Selanjutnya ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide
Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad ‘Abduh melalui majalah al-Urwah al-Wutsqa.
Ia berniat untuk menggabungkan diri dengan al-Afghani di Istambul, tetapi niat
itu tidak terwujud.
Sewaktu Muhammad ‘Abduh berada
dalam pembuangan di Beirut, ia mendapat kesempatan baik untuk berjumpa dan
berdialog dengan murid utama al-Afghani itu. Pemikiran-pemikiran pembaruan yang
diperolehnya dari al-Syaikh Hussain al-Jisr dan yang kemudian diperluas lagi
dengan ide-ide al-Afghani dan Muhammad ‘Abduh amat mempengaruhi jiwanya.
Beberapa bulan kemudian ia mulai menerbitkan majalah yang termasyhur, al-Manar.
Di dalam nomor pertama dijelaskan
bahwa tujuan al-Manar sama dengan tujuan al-Urwah al-Wutsqa, antara lain,
mengadakan pembaruan dalam bidang agama, sosial dan ekonomi, memberantas
takhayyul dan bid’ah-bid’ah yang masuk ke dalam tubuh Islam, menghilangkan
faham fatalisme yang terdapat
dalam kalangan umat Islam, serta faham-faham salah yang dibawa
tarekat-tarekat tasawwuf, meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat Islam
terhadap permainan politik negara-negara Barat.
Rasyid Ridha melihat perlunya
diadakan tafsir modern dari al-Qur’an, yaitu tafsir yang sesuai dengan ide-ide
yang dicetuskan gurunya. Ia selalu menganjurkan kepada gurunya, Muhammad
‘Abduh, supaya menulis tafsir modern. Karena selalu didesak, ‘Abduh akhirnya
setuju untuk memberikan kuliah mengenai tafsir al-Qur’an di al-Azhar.
Kuliah-kuliah itu dimulai pada tahun 1899. Keterangan-keterangan yang diberikan
gurunya oleh Rasyid Ridha dicatat untuk selanjutnya disusun dalam bentuk
karangan teratur.
Apa yang ia tulis ia serahkan
selanjutnya kepada guru untuk diperiksa. Setelah mendapat persetujuan lalu
disiarkan dalam al-Manar. Dengan demikian, akhirnya muncullah apa yang kemudian
dikenal dengan Tafsir al-Manar.
Muhammad ‘Abduh sempat memberikan
tafsir hanya sampai pada ayat 125 dari surat An-Nisa (Jilid III dari Tafsir
al-Manar) dan yang selanjutnya adalah
tafsiran muridnya sendiri.
Di dalam majalah al-Manar pun,
Rasyid Ridha menulis dan memuat karya-karya yang menentang pemerintahan absolut
kerajaan Utsmani. Selain itu, tulisan-tulisan yang menentang politik Inggris
dan Perancis untuk membelah-belah dunia Arab di bawah kekuasaan mereka.
Di masa tua Rasyid Ridha,
meskipun kesehatannya telah terganggu, ia tidak mau tinggal diam dan senantiasa
aktif. Akhirnya ia meninggal dunia di bulan Agustus tahun 1935, sekembalinya
dari mengantarkan Pangeran Su’ud ke kapal di Suez.
Namun, Rasyid Ridha tidak dapat
lama belajar di sekolah ini karena sekolah tersebut terpaksa ditutup setelah
mendapat hambatan politik dari pemerintah Kerajaan Usmani. Untuk tetap
melanjutkan studinya, dia pun pindah ke salah satu sekolah agama yang ada di
Tripoli. Meskipun sudah pindah sekolah, tetapi hubungan Ridha dengan guru
utamanya saat di Madrasah Al-Wathaniyyah Al-Islamiyyah terus berlanjut.
Sang gurulah yang telah banyak
berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaruan dalam diri Rasyid
Ridha di kemudian hari. Di antara pikiran gurunya yang sangat berpengaruh
adalah pernyataan bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk
mencapai kemajuan adalah memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan
metode modern. Hal tersebut didasari kenyataan sekolah-sekolah yang didirikan
bangsa Eropa saat ini banyak diminati oleh para pelajar dari seluruh penjuru
dunia, padahal tidak disajikan pelajaran agama di dalamnya.
Selain menekuni pelajaran di
sekolah tempat ia menimba ilmu, Rasyid Ridha juga rajin mengikuti beberapa
perkembangan dunia Islam melalui surat kabar Al-'Urwah Al-Wusqo (sebuah surat
kabar berbahasa Arab yang dikelola oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad
Abduh, dan diterbitkan selama masa pengasingan mereka di Paris).
Melalui surat kabar ini, Rasyid
Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaru yang sangat dikaguminya, yaitu
Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemimpin pembaru dari Afghanistan, dan Muhammad
Abduh, seorang pembaru dari Mesir. Ide-ide brilian yang dipublikasikan itu
begitu berkesan dalam dirinya dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung
dan berguru pada kedua tokoh itu.
Keinginan untuk bertemu dengan
Al-Afghani ternyata belum tercapai, karena tokoh ini lebih dahulu meninggal
dunia. Namun, ketika Muhammad Abduh dibuang ke Beirut pada akhir 1882, Rasyid
Ridha berkesempatan berdialog serta saling bertukar ide dengan Abduh. Pertemuan
dan dialog dengan Muhammad Abduh semakin menumbuhkan semangat juang dalam
dirinya untuk melepaskan umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan
kebodohannya.
Di Lebanon, Rasyid Ridha mencoba
menerapkan ide-ide pembaruan yang diperolehnya. Namun, upayanya ini mendapat
tentangan dan tekanan politik dari Kerajaan Turki Usmani yang tidak menerima
ide-ide pembaharuan yang dilontarkannya. Akibat semakin besarnya tentangan itu,
akhirnya pada 1898, Rasyid Ridha pindah
ke Mesir mengikuti gurunya, Muhammad Abduh, yang telah lama tinggal di sana.
Di kota ini, Rasyid Ridha
langsung menemui Muhammad Abduh dan menyatakan keinginannya untuk menjadi murid
dan pengikut setia Abduh. Sejak saat itu, Rasyid Ridha merupakan sosok murid
yang paling dekat dan setia kepada Abduh.
Al-Manar
Di samping banyak memperdalam
pengetahuan dan ide pembaharuan, Rasyid Ridha pun mengusulkan kepada sang guru
agar menerbitkan sebuah majalah yang akan menyiarkan ide-ide dan pemikiran mereka.
Kemudian, sang guru dan muridnya ini menerbitkan sebuah majalah yang begitu
terkenal, yaitu majalah Al-Manar. Penerbitan majalah ini bertujuan melanjutkan
misi majalah yang sebelumnya, Al-Urwah Al-Wusqa.
Antara lain, menyebarkan ide-ide
pembaharuan dalam bidang agama, sosial, dan ekonomi; memajukan umat Islam dan
menjernihkan ajaran Islam dari segala paham yang menyimpang; serta
membangkitkan semangat persatuan umat Islam dalam menghadapi berbagai
intervensi dari luar. Dalam perjalanannya majalah ini banyak mendapat sambutan,
karena ide-ide pembaharuan yang dilontarkan dalam setiap tulisannya.
Setelah menerbitkan majalah
Al-Manar, Rasyid Ridha juga masih sangat aktif menulis dan mengarang berbagai
buku dan kitab. Dia sempat mengajukan saran kepada gurunya agar menafsirkan
kitab suci Alquran dengan penafsiran yang relevan dengan perkembangan zaman.
Melalui kuliah tafsir yang rutin
dilakukan di Universitas Al-Azhar, Rasyid Ridha selalu mencatat ide-ide
pembaharuan yang muncul dalam kuliah yang diberikan Muhammad Abduh.
Selanjutnya, catatan-catatan itu disusun secara sistematis dan diserahkan
kepada sang guru untuk diperiksa kembali. Selesai diperiksa dan mendapat
pengesahan, barulah tulisan itu diterbitkan dalam majalah Al-Manar. Kumpulan
tulisan mengenai tafsir yang termuat dalam majalah Al-Manar inilah yang
kemudian dibukukan menjadi Tafsir Al-Manar.
Pengajaran tafsir yang dilakukan
Muhammad Abduh ini hanya sampai pada surah An-Nisa ayat 125, dan merupakan
jilid ketiga dari seluruh Tafsir Al-Manar. Hal ini dikarenakan Muhammad Abduh
telah dipanggil kehadirat Allah SWT pada 1905, sebelum menyelesaikan penafsiran
seluruh isi Alquran. Maka, untuk melengkapi tafsir tersebut, Rasyid Ridha
melanjutkan kajian tafsir sang guru hingga selesai.
Karya-karya yang dihasilkan
semasa hidup Rasyid Ridha pun cukup banyak. Antara lain, Tarikh Al-Ustadz
Al-Imama Asy-Syaikh 'Abduh (Sejarah Hidup Imam Syaikh Muhammad Abduh), Nida' Li
Al-Jins Al-Latif (Panggilan terhadap Kaum Wanita), Al-Wahyu Muhammad (Wahyu
Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW), Yusr Al-Islam wa Usul At-Tasyri'
Al-'Am (Kemudahan Agama Islam dan dasar-dasar umum penetapan hukum Islam),
Al-Khilafah wa Al-Imamah Al-Uzma (Kekhalifahan dan Imam-imam besar), Muhawarah
Al-Muslih wa Al-Muqallid (dialog antara kaum pembaharu dan konservatif), Zikra
Al-Maulid An-Nabawiy (Peringatan Kelahiran Nabi Muhammad SAW), dan Haquq
Al-Mar'ah As-Salihah (hak-hak wanita Muslim).
Pembaruan Bidang Pendidikan dan Politik
Selain dalam hal pemikiran
modern, arah pembaharuan pemikiran Rasyid Ridha tidak jauh berbeda dengan sang
guru, Muhammad Abduh. Ide-ide pembaharuan penting yang dikumandangkan Rasyid
Ridha, antara lain, dalam bidang agama, pendidikan, dan politik.
Di bidang agama, Rasyid Ridha
mengatakan bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi mengamalkan
ajaran-ajaran Islam yang murni seperti yang dipraktekkan pada masa Rasulullah
SAW dan para sahabat. Melainkan ajaran-ajaran yang menyimpang dan lebih banyak
bercampur dengan bid'ah dan khurafat. Ia menegaskan jika umat Islam ingin maju,
mereka harus kembali berpegang kepada Alquran dan Sunah.
Ia membedakan antara masalah
peribadatan (yang berhubungan dengan Allah SWT) dan masalah muamalah (yang
berhubungan dengan manusia). Menurutnya, masalah yang pertama, Alquran dan
hadis harus dilaksanakan serta tidak berubah meskipun situasi masyarakat terus
berubah dan berkembang. Sedangkan untuk hal kedua, dasar dan prinsipnya telah
diberikan, seperti keadilan, persamaan, dan hal lain, namun pelaksanaan
dasar-dasar itu diserahkan kepada manusia untuk menentukan dengan potensi akal
pikiran dan melihat situasi dan kondisi yang dihadapi, sepanjang tidak
menyimpang dari prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.
Di bidang pendidikan, Rasyid
Ridha berpendapat bahwa umat Islam akan maju jika menguasai bidang ini. Oleh
karenanya, dia banyak mengimbau dan mendorong umat Islam untuk menggunakan
kekayaannya bagi pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Dalam bidang ini,
Ridha pun berupaya memajukan ide pengembangan kurikulum dengan muatan ilmu
agama dan umum. Dan sebagai bentuk kepeduliannya, ia mendirikan sekolah di
Kairo pada 1912 yang diberi nama
Madrasah Ad-Da'wah wa Al-Irsyad.
Dalam bidang politik, Rasyid
Ridha tertarik dengan ide Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam). Sebab, ia
banyak melihat penyebab kemunduran Islam, antara lain, karena perpecahan yang
terjadi di kalangan mereka sendiri. Untuk itu, dia menyeru umat Islam agar
bersatu kembali di bawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem
pendidikan, dan tunduk dalam satu sistem hukum dalam satu kekuasaan yang
berbentuk negara. Namun, negara yang diinginkannya bukan seperti konsep Barat,
melainkan negara dalam bentuk khilafah (kekhalifahan) seperti pada masa
Al-khulafa ar-Rasyidin. Dia menganjurkan pembentukan organisasi Al-jami'ah
al-Islamiyah (Persatuan Umat Islam) di bawah naungan khalifah.
Khalifah ideal, menurutnya,
adalah sosok yang dapat memenuhi beberapa persyaratan, antara lain, dari segi
keadilan, kemampuan, sifat mengutamakan kepentingan masyarakat di atas
kepentingan pribadi. Lebih lanjut, Rasyid Ridha menyebutkan dalam bukunya
Al-khilafah, bahwa fungsi khalifah adalah menyebarkan kebenaran, menegakkan
keadilan, memelihara agama, dan bermusyawarah mengenai masalah yang tidak
dijelaskan nash. Kedudukan khalifah bertanggung jawab atas segala tindakannya
di bawah pengawasan sebuah dewan pengawas yang anggotanya terdiri atas para
ulama dan pemuka masyarakat. Tugas dewan pengawas selain mengawasi roda
pemerintahan, juga mencegah terjadinya penyelewengan oleh khalifah, dan lembaga
ini berhak menindak khalifah yang berbuat zalim dan sewenang-wenang.
Khalifah harus ditaati sepanjang
pemerintahannya dijalankan sesuai dengan ajaran agama. Ia merupakan kepala atau
pemimpin umat Islam sedunia, meskipun tidak memerintah secara langsung setiap negara
anggota. Dan menurut Rasyid Ridha, seorang khalifah hendaknya juga seorang
mujtahid besar yang dihormati. Di bawah khalifah seperti inilah kesatuan dan
kemajuan umat Islam dapat terwujud.
Kiprah Rasyid Ridha dalam dunia
politik secara nyata dapat dilihat dalam aktivitasnya. Ia pernah menjadi
Presiden Kongres Suriah pada 1920, menjadi delegasi Palestina-Suriah di Jenewa
tahun 1921. Ia juga pernah menjadi anggota Komite Politik di Kairo tahun 1925,
dan menghadiri Konferensi Islam di Mekah tahun 1926 dan di Yerusalem tahun
1931.
Pengaruh pemikiran Rasyid Ridha
dan juga para pemikir lainnya berkembang ke berbagai penjuru dunia Islam,
termasuk Indonesia. Ide-ide pembaharu yang dikumandangkan banyak mengilhami
semangat pembaharuan di berbagai wilayah dunia Islam. Banyak kalangan ulama
yang tertarik untuk membaca majalah Al-Manar dan mengembangkan ide yang
diusungnya. Nama besarnya terus dikenang hingga beliau wafat pada Agustus
1935.
No comments:
Post a Comment