MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB
Banyak tokoh-tokoh Islam yang tercatat didalam sejarah duniam dalah satunya adalah Muhammad Bin Abd Al-Wahab, dan berikut adalah kisah dari Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115
– 1206 H/1701 – 1793 M) (bahasa Arab:محمد
بن عبد الوهاب التميمى), beliau adalah seorang teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan
yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su’udiyyah yang kemudian berubah
menjadi Kerajaan Arab Saudi.
Para pendukung pergerakan ini
sering disebut Wahhabi, namun mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka
sebagai Salafi atau Muwahhidun yang berarti “satu Tuhan”.
Genealogi
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb
memiliki nama lengkap Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin
Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi
al-Hambali an-Najdi.
Biografi
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb,
adalah sosok yang sangat kontroversial. Menurut para pengikutnya yang menamakan
dirinya sebagai kelompok Muwahhidun atau sekarang berganti nama Salafi (oleh
lawannya disebut Wahabi) menyebut Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai Syaikhul
Islam Pejuang Tauhid yang memurnikan agama Islam. Namun oleh lawannya, Muhammad
bin Abdul Wahhab disebut sebagai sosok yang ekstrim yang menyesatkan.
Istilah Wahabi atau Wahhabi atau
al-Wahabiyyah diambil dan dihubungkan dengan nama pendirinya yaitu Muhammad bin
ʿAbd al-Wahhāb. Meskipun akhir-akhir ini nama Wahabi digugat oleh para pengikut
Wahabi kontemporer, yang sekarang lebih dikenal dengan istilah Salafi/ pengikut
Manhaj Salaf. Menurut mereka penamaan Wahabi saja sudah salah. Orang yang
mempelopori gerakan tersebut adalah Muhammad bin Abdul Wahab mengapa dinisbatkan
dengan nama Wahabi dan bukan Muhammadiyah karena yang mendirikan namanya adalah
Muhammad bukan Abdul Wahab (bukan ayahnya)?
Boleh saja mereka bertanya
demikian, tetapi pernyataan tersebut sebenarnya pertanyaan yang lucu dan
menggelikan. Ingat, dalam tradisi Arab, penisabatan bukan pada nama pendiri
sebuah madzhab/ golongan adalah hal yang biasa. Sebagai contoh pendiri madzhab
Syafi’i adalah al-Imam Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin
as-Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin Abdi Manaf.
Dari sini jelas, istilah madzhab Syafi’i tidak diambil dari nama pendirinya
Muhammad bin Idris tetapi dari nama kakeknya Syafi’ bin as-Saib. Begitu juga
istilah madzhab Hanbali yang diambil dari nama kakeknya Hambal bin Hilal
sedangkan nama asli pendirinya adalah al-Imam Ahmad bin Muhammad Hambal bin
Hilal. Lain lagi dengan istilah madzhab Hanafi yang diambil nama anak dari
pendiri madzhab tersebut, padahal nama asli pendirinya adalah al-Imam Nu’man
bin Tsabit bin Zautha. Dan masih banyak lagi contoh-contoh lain. Selain itu
meninggalkan istilah Muhammadiyyah tidak lain bertujuan untuk membedakan di
antara para pengikut Nabi Muhammad SAW dengan pengikut madzhab mereka.
Lebih menggelikan lagi, kelompok
Wahabi kontemporer juga mengingatkan umat Islam agar jangan asal main-main
dengan sebutan Wahabi. Menurutnya, nama Wahabi dinistbatkan dengan nama “Al
Wahhab” yang merupakan salah satu nama Allah SWT. Sungguh ini pernyataan yang
sangat dipaksakan. Karena tidak ada satu pun dari kaum muslimin yang bermaksud
menisbatkan sekte yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab kepada Dzat Yang
Maha Agung lagi Mulia, Allah SWT. Bahkan logika semacam ini pun tidak pernah
dipakai oleh kelompok manapun selain kelompok Wahabi ini.
Penolakan demi penolakan terus
digencarkan kelompok pengikut Muhammad bin Abdul Wahab tetapi terbantahkan
dengan sendirinya. Penolakan ini terjadi dikarenakan istilah Wahabi sudah
menjadi istilah umum yang mempunyai makna negatif mengingat sejarah kelam dulu.
Selain itu, mereka juga tidak ingin terkesan berhenti pada satu sosok Muhammad
bin Abdul Wahab karena sebagian mereka mengklaim bahwa dakwah mereka adalah
dakwah Nabi SAW bukan dakwah Muhammad bin Abdul Wahab. Meski ada sebagian yang
terang-terangan menyebut dirinya dengan Wahabi dan sebagian lagi masih
malu-malu menggunakan nama tersebut.
Bagi mereka yang tidak suka
memakai istilah Wahabi berusaha menggelari diri dengan istilah kelompok
al-Muwahidun. Dikarenakan nama al-Muwahidun juga sama seperti Wahabi yang mempunyai
sejarah hitam akhirnya beralih dengan istilah baru yaitu Salafi/ pengikut
manhaj salaf/ pengikut kaum Salaf yang menurut mereka ingin mengembalikan
ajaran-ajaran tauhid ke dalam Islam yang original dan kehidupan murni menurut
Sunnah Rasulullah SAW.
Jika penamaan Wahabi ini berhasil
mereka hapus dari ingatan kaum muslimin, maka dengan mudah mereka akan mampu
mentasbihkan diri sebagai representasi yang paling absah dari generasi salaf,
atau bahkan dari agama Islam itu sendiri. Oleh karenanya, saat ini, dengan
penuh susah payah dan begitu gigihnya mereka berupaya sekuat tenaga untuk
mempropagandakan nama baru bagi kelompok mereka dengan sebutan yang lebih
elegan dan lebih Islami, yakni Salafi. Meskipun penggunaan istilah Salafi ini
sendiri telah mendapat vonis bid’ah dari ulama ahlussunnah yang bernamma
al-Allamah Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dalam kitab beliau yang berjudul
“As-Salafiah Marhalah Zamaniyyah Mubarakah Laa Madzhabun Islamiyyun” (lihat
hal: 221).
Sebenarnya kalau kita lacak lebih
jauh, penamaan aliran ini dengan nama Wahabi sudah diterima dengan bangga oleh
para pengikut Wahabi generasi awal. Bahkan Sulaiman bin Sahman an-Najdi yang
juga salah satu pelopor kelompok ini menulis sebuah kitab dengan judul
“al-Hadiyyah as-Saniyyah Wa at-Tuhfah al-Wahabiyyah an-Najdiyyah”. Judul kitab
tersebut sudah sangat jelas menggunakan al-Wahabiyyah atau Wahabi. Hal ini juga
diamini oleh para pengikut lainnya semisal Muhammad bin Abdul Lathif, Hamid
al-Faqihi, Muhammad Rasyid Ridlo, Abdullah al-Qosimi, Sulaiman ad-Dakhil, Ahmad
bin Hajar Abu Thami, Mas’ud an-Nadawi,
Ibrahim bin Ubaid dan lainnya. Hanya saja, Hamid al-Faqihi memberi tawaran
istilah yang menurutnya lebih pas untuk para pengikut dakwah Muhammad Ibnu
Abdil Wahab ini, yaitu dengan sebutan “ad-Dakwah al -Muhammadiyyah”. Tawaran
ini pun diamini oleh Shaleh Fauzan saat mengkritik Syekh Abu Zahrah yang
menggunakan istilah Wahabi dan memasukkannya dalam daftar kelompok-kelompok
baru (al-Firaq al-Haditsah). Jadi, dari segi penerimaan istilah Wahabi ini telah
terjadi perbedaan presepsi antara generasi awal dan akhir (kontemporer). Akan
tetapi, kitab karangan Sulaiman bin Sahman adalah satu bukti nyata dan bantahan
atas para pengikut dakwah Wahabi yang tidak mau dan tidak suka untuk disebut
kelompok Wahabi.
Masa Kecil Ibnu Abdul Wahab
Muhammad bin Abdul Wahab
dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung Uyainah (Najed), lebih kurang
70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang. Ibnu Abdul
Wahab tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah
seorang ulama ahlussunnah di lingkungannya. Sedangkan kakaknya juga seorang
ulama ahlussunnah yang menjabat sebagai qadhi (mufti besar), tempat di mana
masyarakat Najed menanyakan segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan
agama Islam.
Sebenarnya ulama dan ahli sejarah
berselisih pendapat tentang kelahiran Muhammad Abdul Wahab. Ia dikatakan lahir
tahun 1690M/1111H sebagaimana pendapat asy-Syaikh Zaini Dahlan Mufti Mekah yang
juga ahli dan pakar sejarah Islam, sementara tahun 1694M/1115H adalah pendapat
golongan Wahabi dan tahuun 1703M/1124H adalah menurut ahli sejarah Barat.
Muhammad Iqbal mengatakan ia lahir pada 1700M/1121H.
Menurut seorang ulama Wahabi
Husain Ibnu Ghunnam dalam kitabnya Tarikh Najd mengatakan bahwa Muhammad bin
Abdul Wahab sejak kecil sangat pintar dan cerdas. Sulaiman –saudaranya-
meriwayatkan bahwa ayah mereka memiliki firasat yang baik padanya, dan kagum
dengan kecerdasan anaknya tersebut. Bahkan dikatakan ayahnya banyak belajar
hukum Islam kepada anaknya yang masih kecil itu. Ayahnya pun menulis surat
kepada saudaranya dan menuturkan bahwa putranya ini telah dewasa (baligh) dan
telah dijadikan imam dalam shalat jama’ah bersama masyarakat. Ayahnya kemudian
menikahkannya pada umur 12 tahun –tidak lama setelah mencapai usia baligh-,
lalu mengizinkannya untuk menunaikan ibadah haji. Maka Muhammad bin Abdul Wahab
kecil pun berangkat haji bersama ayahnya.
Setelah selesai melaksanakan
ibadah haji, ayahnya kembali ke Uyainah sementara Muhammad bin Abdul Wahab tetap
tinggal di Mekah selama beberapa waktu dan menimba ilmu di sana. Setelah itu,
ia pergi ke Madinah untuk untuk berziarah dan belajar agama berguru kepada
ulama disana. Di Madinah, ia berguru kepada dua orang ulama yaitu Syeikh
Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi
(Lihat: Tarikh Najd Ibnu Ghunnam).
Namun, catatan yang ditulis Ibnu
Ghunnam bertentangan dengan apa yang dituturkan oleh asy-Syaikh Muhammad bin
Abdullah an-Najdi al-Hambali, seorang mufti madzhab Hambali di Mekkah (W 1295
H). Beliau mengatakan dalam kitabnya yang berjudul “as-Suhub al-Waabilah ‘Ala
Dlaraaihil Hanaabilah” bahwa Muhammad bin Abdul Wahab baru berani memulai
dakwahnya secara terang-terangan setelah orang tuanya wafat. Bahkan orang
tuanya sangat marah kepadanya karena ia tidak mau belajar ilmu fikih
sebagaimana para pendahulunya (Lihat: Al Maqaalaat As Sunniyyah, hal: 56).
Syekh Ahmad Zaini Dahlan, seorang
mufti madzhab Syafi’i sekalugus pakar sejarah di Mekkah yang hidup pada era
akhir kekhilafahan Turki Utsmaniyyah berkata “Awalnya Muhammad bin Abdul Wahab
adalah seorang penuntut ilmu di Madinah Munawwarah. Ayah dan saudaranya
Sulaiman bin Abdul Wahab adalah orang shaleh dan termasuk ulama. Ayah, saudara
dan guru-gurunya mempunyai firasat buruk bahwa ia akan tersesat. Hal itu setelah mereka melihat
perkataan, perbuatan dan kecenderungannya di berbagai permasalahan agama” (al
Futuhaat al Islamiyyah: 2/66).
Dikatakan demikian, karena memang
ajaran-ajaran Muhammad bin Abdul Wahab tersebut banyak yang berseberangan
dengan para ulama ahlussunnah saat itu. Bahkan dengan ajarannya itu, ia telah
mengkafirkan orang-orang Islam itu sendiri. Ia berkata bahwa ziarah ke makam
Rasulullah SAW, tawassul dengannya, atau tawassul dengan para nabi lainnya atau
para wali Allah dan orang-orang shaleh, serta menziarahi kubur mereka untuk
tujuan mencari berkah adalah perbuatan syirik. Menurutnya memanggil nama Nabi
ketika bertawassul adalah perbuatan syirik. Demikian pula memanggil nabi-nabi
lainnya, atau memanggil para wali Allah dan orang-orang shaleh untuk tujuan
tawassul dengan mereka adalah perbuatan syirik. Dan masih banyak
penyimpangan-penyimpangan dalam ajarannya yang berlawanan dengan ajaran
ahlussunnah wal jama’ah.
Begitulah Muhammad bin Abdul
Wahab, sosok yang independen dan tidak mau berkiblat pemahaman kepada siapa
pun, bahkan kepada gurunya. Kalau pun ada yang mempengaruhi gaya berpikirannya
bisa jadi itu adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim. Karena pandangannya dalam
masalah tauhid dekat dengan kedua tokoh abad ke-7 tersebut. Akan tetapi
saudaranya yang bernama Sulaiman bin Abdil Wahab nampaknya tidak setuju dengan
hal ini. Oleh karenanya dalam menulis bantahan terhadap saudara kandungnya
tersebut dalam kitab yang berjudul “Ash-Shawaiq Al Ilahiyyah Fi Roddi ‘Ala
Wahabiyyah” Syekh Sulaiman memakai argumentasi-argumentasi Ibnu Taimiyah untuk
mematahkan argumentasi saudaranya tersebut, khususnya dalam masalah takfir.
Independensi berpikir Muhammad
bin Abdul Wahab ini bisa dilihat dari beberapa pernyataannya sendiri.
Diantaranya ia berkata: “Alhamdulillah aku tidak mengajak kepada madzhab Sufi,
ahli fikih, ahli kalam atau seorang imam dari imam-imam yang aku agungkan
seperti Ibnu Qayyim, adz-Dzhabi, Ibnu Katsir dan lainnya. Akan tetapi aku
mengajak kepada Allah yang tiada sekutu bagi-Nya dan kepada Sunnah Rasulullah
SAW.” (Lihat: Da’awa Munaafi`iin, Abdul Aziz Muhammad bin Ali al Abd al Lathif,
hal: 50).
Demikian juga, ia pernah berkata:
“Aku telah mencari ilmu dan orang-orang yang mengenalku menyangka bahwa aku telah
memiliki ilmu. Padahal saat itu aku tidak mengetahui makna “Laa Ilaaha
Illallah” dan tidak mengetahui agama Islam, sebelum anugerah (pemahaman) yang
telah dikaruniakan Allah kepadaku ini. Demikian juga guru-guruku, tidak ada
seorang pun dari mereka mengetahui hal itu (makna Laa Ilaaha Illallah dan
Islam). Barang siapa dari kalangan ulama sekarang mengira bahwa ia telah
mengetahui maknaLaa Ilaaha Illallah, atau mengetahui makna Islam sebelum saat
ini, atau mengira guru-gurunya atau seseorang mengetahui hal itu maka sungguh
ia telah berdusta dan mengaku-ngaku, serta mengelabuhi manusia dan memuji
dirinya dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya” (ad
Durar as Saniyyah: 10/51) . (Lihat: Daiyan Walaisa Nabiyyan, hal: 82).
Kehidupan Ibnu Abdul Wahab di
Madinah
Sesudah menunaikan ibadah haji di
Baitulloh, Muhammad bin Abdul Wahab pergi ke kota Madinah. Selama di Madinah,
Muhammad bin Abdul Wahab mempelajari ilmu-ilmu agama. Para guru yang
mengajarinya tampak gelisah atas apa yang ada dalam diri Ibnu Abdul Wahab.
Banyak sekali dari guru-guru Muhammad ibn Abdil Wahhab ketika di Madinah
mengatakan bahwa dia akan menjadi orang yang sesat, dan akan banyak orang yang
akan sesat karenanya.
Muhammad ibn Abdil Wahhab
membantah dengan mengatakan bahwa ajaran yang ia serukannya ini adalah sebagai
pemurnian tauhid (Aqidah Salafiyah) dan untuk membebaskan dari syirik. Ia
berkeyakinan bahwa sudah sekitar enam ratus tahun ke belakang dari masanya
seluruh manusia ini telah jatuh dalam syirik dan kufur. Ia mengaku bahwa dirinya
datang untuk memperbaharui agama mereka, mengembalikan aqidah umat Islam di
sana kepada aqidah Islam yang murni (tauhid), jauh dari sifat khurafat,
takhayul, atau bid’ah.
Banyak pernyataan-pernyataan yang
dibawa Muhammad bin Abdul Wahab bertentangan dan berlawan dengan ajaran
ahlussunnah wal jama’ah. Tidak heran, bantahan dan sikap penolakan atas ajaran
yang ditawarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab inipun mengalir deras dari para
ulama Makkah dan Madinah saat itu, sampai akhirnya dia terusir ke daerah Najd
pada tahun 1142 H, dan di daerah inilah dia berusaha mengatur siasat dakwah
yang dia yakini (Lihat: Al Maqâlât Al Wafiyyah Syekh Hasan Khazbik, hal: 128).
Orang-orang yang menolak ajaran
Muhammad bin Abdul Wahab dikatakan oleh pengikut kelompok Wahabi sebagai
musuh-musuh dakwah yang ingin membendung dakwah tauhid. Musuh-musuh dakwah
tauhid ini mereka kelompokan menjadi 3 golongan. Pertama, Golongan ulama
khurafat yang mana mereka melihat yang haq (benar) itu batil dan yang batil itu
haq. Wahabi menuduh golongan ini sebagai penyembah kuburan, yang lebih suka
bersembahyang dan berdoa di kuburan dan mempersekutukan Allah dengan penghuni
kubur itu. Dikatakan orang yang berziarah ke makam itu musyrik karena
meminta-minta kepada penghuni kubur dan dikatakan juga itu adalah tradisi
jahiliah yang menjadi adat tradisi nenek moyang yang harus diperangi menurut
mereka.
Kedua, golongan ulama taashub
yang mana mereka tidak banyak tahu tentang hakikat Muhammad bin `Abdul Wahab
dan hakikat ajarannya. Dikatakan mereka hanya taqlid belaka dan percaya saja
terhadap berita-berita negatif mengenai Muhammad bin `Abdul Wahab yang disampaikan oleh golongan pertama di
atas sehingga mereka terjebak dalam perangkap Ashabiyah (kebanggaan dengan
golongannya) yang sempit tanpa mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari
belitan ketaashubannya. Lalu menganggap
Muhammad bin `Abdul Wahab dan
para pengikutnya seperti yang diberitakan, yaitu; anti Auliya’ dan memusuhi
orang-orang shaleh serta mengingkari karamah mereka.
Ketiga, golongan yang takut
kehilangan pangkat dan jabatan, pengaruh dan kedudukan. Maka golongan ini
dikatakan memusuhi Muhammad bin `Abdul Wahab
supaya dakwah Islamiyah yang dilancarkan oleh Muhammad bin `Abdul Wahab yang berpandukan kepada aqidah Salafiyah
murni gagal karena ditelan oleh suasana hingar-bingarnya penentang beliau.
Sungguh tuduhan-tuduhan kelompok
Wahabi di atas jelas tidak ada landasan, asal-asalan dan mengada-ada. Bagaimana
mungkin orang yang berziarah kubur dikatakan sebagai penyembah kubur padahal
itu adalah Sunnah Rasulullah SAW yang diteruskan oleh para sahabat, Salafus
Sholeh, ulama-ulama ahlussunnah dan ummatnya hingga saat ini. Sebutan penyembah
kubur atau orang Wahabi menyebut kaum Kuburiyyun adalah tuduhan keji yang
menyakiti hati umat Islam. Apakah orang-orang Wahabi ini sudah membedah hati
para peziarah sehingga tampak dalam hatinya kemusyrikan?
Dan lihatlah siapa yang terjebak
dengan berita-berita negatif tentang Muhammad bin Abdul Wahab. Penolakan justru
datang dari ayahnya dan saudaranya sendiri. Siapa yang lebih tahu dan paham
hakikat Muhammad bin Abdul Wahab dan ajarannya selain ayah dan saudaranya
sendiri. Mereka yang membesarkan Muhammad bin Abdul Wahab, mereka hidup bersama
Muhammad bin Abdul Wahab, dan mereka satu rumah dengan Muhammad bin Abdul
Wahab. Ayahnya sendiri yang mengasuh dan mendidik sejak kecil sehingga pastinya
paham betul siapa itu Muhammad bin Abdul Wahab dan bagaiman sifatnya. Tidak ada
istilah ikut-ikutan apalagi terjebak dan membangga-banggakan golongan seperti yang
Wahabi tuduhkan. Justru mereka kaum Wahabi yang terjebak dan berbangga diri
akan golongannya sendiri, tidak mau mendengar penuturan para ulama dan hanya
tunduk patuh taat kepada ulama kelompok mereka.
Mari kita lihat sejenak bagaimana
saudaranya sendiri asy-Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab menolak dengan keras
ajaran yang dibawa oleh adiknya. Syekh Sulaiman menulis sebuah risalah yang
sangat terkenal yang bertajuk “As-Shawâiq al-Ilâhiyah Fi Raddi ‘Ala Wahâbiyah”
untuk menolak ajaran Muhammad bin Abdul Wahab, adiknya. Bahkan beliau dan
ayahnya telah mengetahui ajarannya yang meragukan sejak Muhammad bin Abdul
Wahab belajar di Madinah. Keduanya memperingatkan akan bahaya pendapat dan
pemahaman ajarannya.
Syeikh Sulaiman saudara
kandungnya sendiri menulis dalam kitabnya itu sebagai berikut: “Sejak zaman
sebelum Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu pada zaman para imam Islam, belum pernah
ada yang meriwayatkan bahwa seorang imam kaum Muslimin mengkafirkan mereka,
mengatakan mereka murtad dan memerintahkan untuk memerangi mereka. Belum pernah
ada seorangpun dari para imam kaum Muslimin yang menamakan negeri kaum Muslimin
sebagai negeri syirik dan negeri perang, sebagaimana yang anda Muhammad Abdul
Wahhab katakan sekarang. Bahkan lebih jauh lagi, anda mengkafirkan orang yang
tidak mengkafirkan perbuatan-perbuatan ini, meskipun dia tidak melakukannya.
Kurang lebih telah berjalan delapan ratus tahun atas para imam kaum Muslimin,
namun demikian tidak ada seorang pun dari para ulama kaum Muslimin yang
meriwayatkan bahwa mereka (para imam kaum Muslimin) mengkafirkan orang Muslim.
Demi Allah, keharusan dari perkataan anda ini ialah anda mengatakan bahwa
seluruh umat setelah zaman Ahmad (Ahmad bin Hanbal) -semoga rahmat Allah
tercurah atasnya- baik para ulamanya, para penguasanya dan masyarakatnya semua
mereka itu kafir dan murtad, Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”. (Lihat
Risalah Arba’ah Qawa’id, Muhammad bin Abdul Wahhab, hal.4). Untuk selengkapnya
lihat bagian: Penentangan Terhadap Muhammad bin Abdul Wahab.
Dan lebih menggelikan lagi
dikatakan bahwa yang menentang ajaran Muhammad bin Abdul Wahab adalah orang
yang takut kehilangan jabatan, kedudukan dan kekuasaan. Pernyataan bodoh yang
tidak perlu diperdebatkan lagi karena memang penolakan terhadap ajaran Muhammad
bin Abdul Wahab justru datang dari keluarganya sendiri, para gurunya, dan para
ulama Makah dan Madinah saat itu.
Pergerakan dan Serangan di Basrah
Akibat pendapat dan pandangan
Muhammad bin Abdul Wahab yang ekstrim dan banyaknya penolakan ulama-ulama Makah
dan Madinah saat itu membuat dia harus diusir dari kota tersebut dan pergi
menuju Basrah, Iraq. Dia pun mulai lagi menyebarkan ajarannya di Basrah setelah
tidak diterima di Makah dan Madinah. Di sana dia berbincang dengan beberapa
ulama’ fuqaha’ lalu memberikan dan menyatukan beberapa pandangan baru dan lama,
akan tetapi dia justru dimarahi dan diusir lagi. Dia pun mengungsi ke Mesir.
Namun, keadaannya di Mesir pun tidak berbeda dengan di tempat-tempat
sebelumnya. Akhirnya ia pun diusir lagi dan memutuskan pergi ke Syam. Lagi-lagi
di Syam ia mengalami pengusiran serupa maka ia kembali lagi ke Najed melarikan
diri ke Uyainah tempat kelahirannya. Saat itu Amir Uyainah yang bernama Ustman
bin Mua’ammar sempat bersahabat dengannya dan bahkan menikahkan anak
perempuannya dengannya. Meski begitu, Amir Uyainahah akhirnya mengusirnya dan
terpaksa ia harus meninggalkan Uyainah.
Muhammad bin Abdul Wahab diusir
oleh penduduk Uyainah karena sikap dan gagasan ekstrimnya yang terus menerus
menyebarkan pandangan barunya. Ia tidak segan-segan mengkafirkan semua
penduduknya, baik ulama’nya hingga kaum awamnya. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah
jilid 8 halaman 57). Alhasil penolakan terjadi dimana-mana bahkan dengan
ayahnya sendiri terjadi perselisihan hebat. Keadaan tersebut terus berlanjut hingga
tahun 1153H/1740M, saat ayahnya meninggal dunia.
Penyebaran Ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab
Sejak Ayahnyya meninggal,
Muhammad bin Abdul Wahab serasa mendapat angin segar karena ia tidak lagi
mendapat tantangan dari orang terdekatnya yakni ayahnya. Ia pun tidak lagi
terikat dan secara terang-terangan bebas mengemukakan akidah-akidahnya
sekehendak hatinya, menolak dan mengesampingkan amalan-amalan agama yang
dilakukan umat Islam saat itu.
Dia mulai merencanakan strategi
baru guna menyebarkan ajarannya dengan menyusun sebuah gerakan atau barisan
yang ia namakan ahli tauhid (Muwahhidin) yang diyakininya sebagai gerakan yang
memurnikan dan mengembalikan akidah Islam. Oleh lawan-lawannya, gerakan ini
kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah.
Muhammad bin Abdul Wahab memulai
pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh
seorang Amir (penguasa) bernama Usman bin Muammar. Amir Usman menyambut ide dan
gagasan Muhammad ibn Abdil Wahhab dan berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan
tersebut meski mendapat penolakan dari penduduk setempat. menghancurkan sebuah bangunan yang dibuat
di atas makam Zaid bin al-Khattab. Perlu diketahui, Zaid bin al-Khattab adalah
saudara kandung sahabat Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua.
Menurut pandangannya membuat bangunan di atas kubur dapat menjerumuskan umat
kepada kemusyrikan.
Amir Usman menjawab “Silakan…
tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi rencana yang mulia ini.”
Tetapi Muhamamd bin Abdul Wahab
khawatir masalah itu kelak akan dihalang-halangi oleh penduduk yang tinggal
berdekatan dengan makam tersebut. Lalu Amir menyediakan 600 orang tentara untuk
tujuan tersebut bersama-sama Muhammad ibn Abdil Wahhab merobohkan makam suci
itu. Makam itu kemudian dihancurkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab atas bantuan
Amir Uyainah, Usman bin Muammar.
Pergerakan Muhammad bin Abdul
Wahhab tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian menghancurkan beberapa makam
lain yang dipandangnya berbahaya bagi ketauhidan. Hal ini menurutnya adalah
untuk mencegah agar makam tersebut tidak dijadikan objek peribadatan oleh
masyarakat Islam setempat.
Sikap dan tindakan ekstrim
Muhammad bin Abdul Wahab terdengar luas sampai keluar wilayah Uyainah dan
tercium oleh pemerintah Ahsa. Mendengar berita tersebut, pemerintah Ahsa
memerintahkan Amir Uyainah untuk menghentikan kelakuan ekstrim yang merusak
yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab. Amir Uyainah kemudian memanggil
Muhammad bin Abdul Wahhab dan memerintahkannya untuk meninggalkan daerah
Uyainah.
Muhammad bin Abdul Wahhab
terpaksa mengungsi ke daerah lain dan dia berhasil diusir oleh penduduk
setempat karena dinilai ajarannya yang ekstrim dan sesat. Tidak segan-segan dia
mengkafirkan semua penduduknya, baik ulamanya hingga kaum awamnya. (Lihat:
Ad-Durar as-Saniyah jilid 8 halaman 57)
Muhammad bin `Abdul Wahab
kemudian pergi ke wilayah Dir’iyyah. Dari Dir’iyah inilah ajaran Muhammad bin
Abdul Wahab bak menemukan telaga di tengah gurun pasir yang panas.
Kehidupannya di Dir’iyyah
Sesampainya Muhammad bin Abdul
Wahhab di sebuah kampung wilayah Dir’iyyah yang tidak jauh dari tempat kediaman
Amir Muhammad bin Saud (penguasa Dir’iyyah),
dia menemui seorang penduduk di kampung itu, orang tersebut bernama
Muhammad bin Suwailim al-`Uraini.
Peraturan di Dir’iyyah ketika itu
mengharuskan setiap pendatang melaporkan diri kepada penguasa setempat, maka
pergilah Muhammad bin Suwailim menemui Amir Muhammad bin Saud untuk melaporkan
kedatangan Muhammad bin Abdul Wahab yang baru tiba dari Uyainah untuk mendapat
perlindungan dan dukungan.
Pertemuan Muhammad bin Abdul
Wahhab dan Ibnu Saud ini adalah awal mala petaka pada umat Islam. Pertemuan
tersebut telah menjalinkan kesepakatan dan persetujuan untuk membentuk agama
baru secara resmi, di dalam ranah kekuatan politik, ketenteraan dan peperangan
pada 1165H / 1744M. Pertemuan tersebut dirasa sangat tepat, karena keduanya
saling membutuhkan; Ibnu Sa’ud membutuhkan agamawan untuk menguatkan basis
dukungan politiknya, sementara Ibnu Abdil Wahab membutuhkan penguasa untuk
menjamin proses penyebaran ideologinya (Lihat: Tarikh Ali Sa’ud, hal: 9.).
Amir Ibnu Saud yang kemudian
menjadi pengikut dan pendukung penuh Muhamamd bin Abdul Wahhab, memanfaatkannya
untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Dia sendiri sangat patuh pada perintah
Muhammad bin Abdul Wahab. Jika disuruh untuk membunuh atau merampas harta
seseorang, dia segera melaksanakannya dengan keyakinan bahwa kaum muslimin
telah kafir dan syirik selama 600 tahun lebih, dan membunuh orang musyrik
dijamin surga.
Sejak saat itu, Dir’iyyah telah
menjadi penyebaran ajaran Muhammad ibn Abdil Wahhab. Para pengikutnya pun terus
bertambah berkat dukungan politik kekuasan Amir Ibnu Saud, bahkan sampai di
seluruh pelosok Dir’iyyah.
Setelah mendapat cukup dukungan
dan kekuasaan, Muhammad bin Abdul Wahhab mulai melancarkan serangan bersama
pengikutnya barisan Muwahidin dan dia namakan sebagai jihad. Dia pun menulis
surat-surat ajakannya kepada tokoh-tokoh tertentu untuk bergabung dengan
gerakan barisan Muwahhidin yang dipimpin oleh dia sendiri. Menurutnya,
pergerakan ini merupakan pembaharuan tauhid demi membasmi syirik, bidah dan
khurafat di negeri mereka masing-masing. Untuk langkah awal pergerakan itu, dia
memulai di negeri Najed. Ia pun mula mengirimkan surat-suratnya kepada
ulama-ulama dan penguasa-penguasa di sana.
Memulai Pergerakan Melalui Surat-menyurat
Muhammad bin Abdul Wahhab
menempuh pelbagai macam dan cara, dalam menyampaikan ajarannya, bahkan
bermacam-macam tindakan dihalalkan. Ia mulai dengan menulis surat kepada para
ulama dan umara. Dalam surat yang ia kirimkan, Muhammad bin Abdul Wahhab tidak
ragu menuduh syirik dan mengkafirkan para ulama dan umara tersebut.
Dalam sebuah surat yang
dilayangkan kepada Syeikh Sulaiman bin Suhaim seorang ulama madzhab Hanbali
pada zamannya, Muhamad bin Abdul Wahhab menuliskan: “Aku mengingatkan kepadamu
bahwa engkau bersama ayahmu telah dengan jelas melakukan perbuatan kekafiran,
syirik dan kemunafikan…! Engkau bersama ayahmu siang dan malam sekuat tenagamu
telah berbuat permusuhan terhadap agama ini …! Engkau adalah seorang penentang
yang sesat di atas keilmuan. Dengan sengaja melakukan kekafiran terhadap Islam.
Kitab kalian itu menjadi bukti kekafiran kalian!” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah
jilid 10 halaman 31/ Dâ’iyah Walaisa Nabiyyan, hal. 83)
Dalam surat yang dilayangkan
kepada Ahmad bin Abdul Karim yang mengkritisinya. Muhamad bin Abdul Wahhab
menuliskan: “Engkau telah menyesatkan Ibnu Ghonam dan beberapa orang lainnya.
Engkau telah lepas dari millah (ajaran) Ibrahim. Mereka menjadi saksi atas
dirimu bahwa engkau tergolong pengikut kaum musyrik” (Lihat: Ad-Durar
as-Saniyah jilid 10 halaman 64)
Dalam sebuah surat yang
dilayangkannya untuk Ibnu Isa yang telah melakukan argumentasi terhadap
pemikirannya Muhamad bin Abdul Wahhab lantas memvonis sesat para pakar fikih
(fuqoha’) secara keseluruhan. Muhamad bin Abdul Wahhab menyatakan: (Firman
Allah); “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan
rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”. Rasul dan para imam setelahnya
telah mengartikannya sebagai ‘Fikih’ dan itu yang telah dinyatakan oleh Allah
sebagai perbuatan syirik. Mempelajari hal tadi masuk kategori menuhankan
hal-hal lain selain Allah. Aku tidak melihat terdapat perbedaan pendapat para
ahli tafsir dalam masalah ini.” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 2 halaman 59)
Berkaitan dengan Fakhrur Razi
pengarang kitab Tafsir al-Kabir, yang bermadzhab Syafi’i Asy’ary, Muhamad bin
Abdul Wahhab mengatakan: “Sesungguhnya Razi tersebut telah mengarang sebuah
kitab yang membenarkan para penyembah bintang” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah
jilid 10 halaman 355).
Betapa kedangkalan ilmu Muhamad
bin Abdul Wahhab terhadap karya Fakhrur Razi. Padahal dalam karya tersebut,
Fakhrur Razi menjelaskan tentang beberapa hal yang menjelaskan mengenai fungsi
gugusan bintang dalam kaitannya dengan fenomena yang berada di bumi, termasuk
berkaitan dengan bidang pertanian. Namun Muhamad bin Abdul Wahhab dengan
keterbatasan ilmu dan kebodohannya terhadap ilmu perbintangan telah menvonisnya
dengan julukan yang tidak layak, tanpa didasari ilmu yang cukup.
Tuduhan sesat, musyrik dan kafir
yang dilontarkan dari Muhammad bin Abdul Wahhab tidak hanya ditujukan terhadap
mereka yang berbeda paham bahkan mereka yang se-manhaj dengannya tidak luput
dari tuduhan. Apalagi terhadap mereka yang berseberangan paham. Tidak heran,
jika Muhammad bin Abdul Wahhab atas nama dakwah pemurnian tauhid sampai
memerintahkan (baca: mewajibkan) orang lain untuk mengkafirkan Ibnu Arabi yang
bermadzhab Maliki. Dia menyatakan: “Barangsiapa yang tidak mengkafirkannya
(Ibnu Arabi) maka iapun tergolong orang yang kafir pula”.
Dan bukan hanya orang yang tidak
mau mengkafirkan yang divonis Muhamad bin Abdul Wahhab sebagai orang kafir,
bahkan yang ragu dalam kekafiran Ibnu Arabi pun divonisnya sebagai orang kafir.
Ia mengatakan: “Barangsiapa yang meragukan kekafirannya (Ibnu Arabi) maka ia
tergolong kafir juga”. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 25)
Pengkafiran Terhadap Kaum Muslimin
Sikap menuduh sesat, musyrik, dan
kafir yang dilontarkan Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap kaum muslimin yang
tidak mengikut ajarannya semakin meraja lela. Vonis ini pun tidak luput
mengarah dan tertuju kepada guru-gurunya.
Di dalam kitab ad-Durar
as-Saniyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah disebutkan peristiwa, suatu saat
seseorang berkata kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab: ”Ajaran agama yang engkau
bawa ini apakah ini bersambung (hingga Rasulullah) atau terputus?”.
Muhammad ibn Abdil Wahhab
menjawab: ”Seluruh guru-guruku, bahkan guru-guru mereka hingga enam ratus tahun
lalu, semua mereka adalah orang-orang musyrik”.
Orang tadi kemudian berkata:
”Jika demikian ajaran yang engkau bawa ini terputus! Lantas dari manakah engkau
mendapatkannya?”
Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab:
”Apa yang aku serukan ini adalah wahyu ilham seperti Nabi Khadlir”.
Kemudian orang tersebut berkata:
”Jika demikian berarti tidak hanya kamu yang dapat wahyu ilham, setiap orang
bisa mengaku bahwa dirinya telah mendapatkan wahyu ilham. Sesungguhnya
melakukan tawassul itu adalah perkara yang telah disepakati di kalangan
Ahlussunnah, bahkan dalam hal ini Ibn Taimiyah memiliki dua pendapat, ia sama
sekali tidak mengatakan bahwa orang yang melakukan tawassul telah menjadi
kafir” (ad-Durar as-Saniyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, hal. 42-43).
Yang dimaksud oleh Muhammad ibn
Abdil Wahhab bahwa orang-orang terdahulu dalam keadaan syirik hingga enam ratus
tahun ke belakang dari masanya ialah hingga tahun masa hidup Ibn Taimiyah,
yaitu hingga sekitar abad tujuh dan delapan hijriyah ke belakang. Menurut
Muhammad ibn Abdil Wahhab dalam rentang masa antara hidup Ibn Taimiyah, yaitu
di abad tujuh dan delapan hijriyah dengan masa hidupnya sendiri yaitu pada abad
dua belas hijriyah, semua orang di dalam masa tersebut adalah orang-orang
musyrik. Ia memandang dirinya sendiri sebagai orang yang datang untuk
memperbaharui tauhid. Dan ia menganggap bahwa hanya Ibn Taimiyah yang selaras
dengan jalan dakwah dirinya. Menurutnya, Ibn Taimiyah di masanya adalah
satu-satunya orang yang menyeru kepada Islam dan tauhid di mana saat itu Islam
dan tauhid tersebut telah punah. Lalu ia mengangap bahwa hingga datang abad dua
belas hijriyah, hanya dirinya seorang saja yang melanjutkan dakwah Ibn Taimiyah
tersebut.
Klaim Muhammad ibn Abdil Wahhab
ini sebenarnya sangat aneh, bagaimana ia dengan sangat berani mengakafirkan
mayoritas umat Islam Ahlussunnah yang jumlahnya ratusan juta.
Dan berikut adalah contoh
sebagian kecil pengkafiran yang dikemukan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab:
1. Pengkafiran
Penduduk Makkah. Dalam hal ini Muhamad bin Abdul Wahhab menyatakan:
“Sesungguhnya agama yang dianut penduduk Makkah (pada zamannya .red)
sebagaimana halnya agama yang karenanya Rasulullah diutus untuk memberi
peringatan” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 86, dan atau pada
jilid 9 halaman 291)
2. Pengkafiran
Penduduk Ihsa’ . Berkaitan dengan ini, Muhamad bin Abdul Wahhab menyatakan:
“Sesungguhnya penduduk Ihsa’ di zaman (nya) adalah para penyembah berhala
(baca: Musyrik)” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 113)
3. Pengkafiran
Penduduk ‘Anzah. Berkaitan dengan ini, Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan:
“Mereka telah tidak meyakini hari akhir ’ (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10
halaman 113)
4. Pengkafiran
Penduduk Dhufair. Penduduk Dhufair merasakan hal yang sama seperti yang dialami
oleh penduduk wilayah ‘Anzah, dituduh sebagai “pengingkar hari akhir (kiamat)”.
(Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 113)
5. Pengkafiran
Penduduk Uyainah dan Dar’iyah. Hal ini sebagaimana yang pernah disinggung
terdahulu bahwa, para ulama wilayah tersebut terkhusus Ibnu Sahim al-Hanbali
beserta para pengikutnya telah dicela, dicaci dan dikafirkan. Dikarenakan
penduduk dua wilayah itu (Uyainah dan Dar’iyah) bukan hanya tidak mau menerima
doktrin ajaran Muhamad bin Abdul Wahhab, bahkan ada usaha meng- kritisinya
dengan keras. Atas dasar ini maka Muhamad bin Abdul Wahhab tidak segan-segan
mengkafirkan semua penduduknya, baik ulama’nya hingga kaum awamnya. (Lihat:
Ad-Durar as-Saniyah jilid 8 halaman 57)
6. Pengkafiran
Penduduk Wasym. Berkaitan dengan ini, Muhamad bin Abdul Wahhab telah menvonis
kafir terhadap semua penduduk Wasym, baik kalangan ulama’nya hingga kaum
awamnya. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 2 halaman 77)
7. Pengkafiran
Penduduk Sudair. Berkaitan dengan ini, Muhamad bin Abdul Wahhab telah melakukan
hal yang sama sebagaimana yang dialami oleh penduduk wilayah Wasym. (Lihat:
Ad-Durar as-Saniyah jilid 2 halaman 77)
Sikap ekstrim yang ditujukan
Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap umat Islam dengan tuduhan-tuduhan yang tidak
mendasar tersebut menimbulkan pertentangan kaum muslimin, ulama, umara, dan
masyarakat. Pertentangan dan perlawahan hebat pun terjadi baik dari mereka yang
memuji dakwahnya maupun yang menentangnya, bahkan aksi perlawanan itu banyak
memakan korban manusia maupun harta benda. Ulama Wahabi Ibnu Ghannam dalam
tarikhnya menyebutkan ada sekitar 300 perang lebih yang terjadi. Di setiap
perang tersebut Ibnu Ghannam berkata, “Di tahun ini kaum muslimin memerangi
kaum kafir”. Perlu dicatat bahwa itu sebenarnya adalah perang antara kaum
Wahabi dengan kaum muslimin yang tidak seideologi dengan mereka.
Penentangan Terhadap Muhammad Ibnu Abdul Wahhab
Kecaman demi kecaman terhadap
ajaran Muhammad bin Abdul Wahab terus berdatangan dari berbagai kalangan ulama.
Asy-Syaukani dan Manzur al-Hazimi adalah salah satu ulama yang mendukung dakwah
Muhammad bin Abdul Wahab sekaligus mengkritik sifat ekstrimnya. Asy-Syaukani
berkata: “Akan tetapi mereka berpendapat bahwa orang yang tidak tunduk kepada
pemimpin Najed dan mematuhi segala perintahnya maka orang tersebut telah keluar
dari agama Islam” (Lihat al Badr ath Thaali’: 2/ 5). Sedangkan Manshur al
Hazimi, meskipun ia memuji dakwahnya secara umum, tetapii a mengkritisinya
dalam dua hal; (1) pengkafiran terhadap kaum muslimin hanya karena adanya
perbedaan, (2) memerangi kaum muslimin tanpa dibarengi hujjah dan burhan (lihat
Abjadul Ulum: 3/ 194). Syekh Shiddiq Hasan Khan juga menyatakan bahwa para ahli
hadits berlepas diri dari pemahaman Wahabiyyah karena yang mereka tahu hanyalah
pertumpahan darah (Lihat: Daa’iyan Walaisa Nabiyyan, hal. 133).
Para ulama al-Hanbali dimana
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab mengaku dirinya sebagai pengikut madzhab Hanbali
juga ikut menolak ajarannya dan mengeluarkan hukum bahwa akidahnya adalah
sesat, menyeleweng dan batil. Tokoh pertama yang mengumumkan tantangan
terhadapnya adalah ayah Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri, asy-Syaikh `Abd
al-Wahhab, dan diikuti oleh saudaranya, asy-Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab.
Kedua-duanya adalah ulama madzhab al-Hanabilah.
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdul
Wahab menulis kitab yang berjudul ash-Shawa’iq al-Ilahiyyah fi ar-Radd ‘ala
al-Wahabiyyah untuk menentang dan memerangi ajaran adiknya. Di samping itu
tantangan juga datang dari sepupunya `Abdullah bin al-Husain. Mufti Makkah
Zaini Dahlan mengatakan: “Abdal-Wahhab, ayah Muhammad bin Abdul Wahhab adalah
seorang yang sholih dan merupakan seorang tokoh ahli ilmu, begitulah juga
dengan saudaranya asy-Syaikh Sulaiman. Asy-Syaikh `Abdal-Wahhab dan asy-Syaikh
Sulaiman, kedua-duanya dari awal ketika Muhammad Abdul Wahhab mengikuti
pengajarannya di Madinah al-Munawwarah telah mengetahui pendapat dan pemikiran
Muhammad yang meragukan. Kedua-duanya telah mengeritik dan mencela pendapatnya
dan mereka berdua turut memperingatkan banyak orang mengenai bahayanya
pemikiran Muhammad…” (lihat al-Futuhat al-Islamiyah, Vol. 2, hal.357 ).
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdul
Wahhab didalam kitabnya ash-Shawa’iq al-Ilahiyyah fi ar-Radd ‘ala al-Wahabiyyah
menulis sebagai berikut: “Sejak zaman sebelum Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu pada
zaman para imam Islam, belum pernah ada yang meriwayatkan bahwa seorang imam
kaum Muslimin mengkafirkan mereka, mengatakan mereka murtad dan memerintahkan
untuk memerangi mereka. Belum pernah ada seorangpun dari para imam kaum
Muslimin yang menamakan negeri kaum Muslimin sebagai negeri syirik dan negeri
perang, sebagaimana yang anda Muhammad Abdul Wahhab katakan sekarang. Bahkan
lebih jauh lagi, anda mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan
perbuatan-perbuatan ini, meskipun dia tidak melakukannya. Kurang lebih telah
berjalan delapan ratus tahun atas para imam kaum Muslimin, namun demikian tidak
ada seorang pun dari para ulama kaum Muslimin yang meriwayatkan bahwa mereka
(para imam kaum Muslimin) mengkafirkan orang Muslim. Demi Allah, keharusan dari
perkataan anda ini ialah anda mengatakan bahwa seluruh umat setelah zaman Ahmad
(Ahmad bin Hanbal) -semoga rahmat Allah tercurah atasnya- baik para ulamanya,
para penguasanya dan masyarakatnya semua mereka itu kafir dan murtad, Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un”. (Lihat Risalah Arba’ah Qawa’id, Muhammad bin
Abdul Wahhab, hal.4)
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdul
Wahhab juga berkata di dalam halaman 4 ini sebagai berikut: “Hari ini umat
mendapat musibah dengan orang yang menisbahkan dirinya kepada al-Qur’an dan
as-Sunnah, menggali ilmu keduanya, tetapi tidak memperdulikan orang yang
menentangnya. Jika dia diminta untuk memperlihatkan perkataannya kepada ahli
ilmu, dia tidak akan melakukannya. Bahkan, dia mengharuskan manusia untuk
menerima perkataan dan pemahamannya. Barangsiapa yang menentangnya, maka dalam
pandangannya orang itu seorang yang kafir. Demi Allah, pada dirinya tidak ada
satupun sifat seorang ahli ijtihad. Namun demikian, begitu mudahnya
perkataannya menipu orang-orang yang bodoh. Inna lillahi wa inna ilaihi
raji’un. Ya Allah, berilah petunjuk orang yang sesat ini, dan kembalikanlah dia
kepada kebenaran.”
Ada salah seorang pengikut Wahabi
menyatakan bahwa di akhir hayat Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab –saudara tua
dan sekandung Muhammad bin Abdul Wahhab– telah bertaubat dan menyesali segala
yang telah dilakukannya yaitu penentangan keras terhadap ajaran adiknya,
Wahabisme. Penentangan itu dilakukannya dengan berupa nasehat kepada Sang adik,
baik melalui lisan maupun dengan menulis surat (risalah) yang selama ini
dilakukannya atas keyakinan ajaran Sang adik. Bukti-bukti konkrit, kuat dan
ilmiah telah beliau sampaikan ke Sang adik, namun apa daya, ikhtiyar menerima
kebenaran bukan terletak pada tangan Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab.
Begitu juga Khairuddin az-Zarkali
yang bermadzhab Wahabi asal Syria. Dalam kitab “al-A’lam” jilid 3 halaman 130
dia menyatakan dalam karyanya tersebut; “Ada yang menyatakan (?) bahwa Syeikh
Sulaiman bin Abdul- Wahhab telah bertaubat dalam menentang pemikiran adiknya,
Muhammad bin Abdul-Wahhab”. Namun sayangnya dalam buku ini dia (az-Zarkali)
tidak berani memberi isyarat tentang kebenaran pernyataan tobatnya Syeikh
Sulaiman, apalagi meyakininya dengan menyebut bukti-bukti konkrit. Hal itu karena
memang ketiadaan bukti yang konkrit serta otentik akan ke-taubat-an Syeikh
Sulaiman dalam penentangannya atas ajaran adiknya.
Ada seorang penulis Wahabi lain
asal Syria yang juga menjelaskan tentang pribadi Syeikh Sulaiman bin Abdul
Wahhab. Dia adalah Umar Ridho Kahhalah pengarang kitab “Mu’jam al-Mu’allifin”
(lihat jilid 4 halaman 269, tentang Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab). Hanya
saja terjadi perbedaan di antara kedua penulis diatas itu yaitu sewaktu
menyebut tahun wafat Syeikh Sulaiman. Al-Kahhalah menyebutkan bahwa Syeikh
Sulaiman wafat tahun 1206 Hijriyah. Sedangkan az-Zarkali menyebutkannya pada
tahun 1210 Hijriyah. Bagaimana mereka berdua bisa membuktikan secara konkrit
tentang tobatnya Syeikh Sulaiman, untuk mengetahui kapan wafatnya saja mereka
masih berbeda pendapat !
Mengenai karya-karya Syeikh
Sulaiman yang menangkal ajaran adiknya (Muhammad bin Abdul Wahhab), Al-Kahhalah
dalam kitab “Mu’jam al-Mu’allifin” (jilid 4 halaman 269) menyebutkan judul
kitab “As-Showa’iq al-Ilahiyah fi Madzhab al-Wahabiyah” (Petir-Petir Ilahi pada
Madzhab Wahabisme). Begitu juga yang dinyatakan dalam kitab “Idhoh al-Maknun”
(lihat jilid 2 halaman 72). Dan di dalam kitab Idhoh al-Maknun ini juga
menyinggung kitab karya Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab lainnya yang berjudul
“Fashlul Khitab fi Madzhab Muhammad bin Abdul Wahhab” (Seruan Utama pada
Madzhab Muhammad bin Abdul Wahhab). Namun, surat panjang yang kemudian dicetak
menjadi kitab yang sudah beberapa kali dicetak itu memiliki judul panjang;
“Fashlul Khitab min Kitab Rabbil Arbab, wa Hadits Rasulallah al-Malak
al-Wahhab, wa kalaam Uli al-Albab fi Madzhab Muhammad bin Abdul Wahhab” (Seruan
Utama dari Kitab Penguasa dari segala penguasa Allah SWT, dan hadits utusan
Maha Kuasa dan Maha Pemberi anugerah Muhammad SAW dan ungkapan pemilik akal
sehat pada madzhab Muhammad bin Abdul Wahhab). Kitab ini telah dicetak di
beberapa negara; di India pada tahun 1306 H, di Turki pada tahun 1399 H, di
Mesir, Lebanon dan beberapa negara lainnya. Padahal kalau kita baca, kitab “As-Showa’iq
al-Ilahiyah fi Madzhab al-Wahabiyah” adalah merupakan surat teguran Syeikh
Sulaiman bin Abdul Wahhab terhadap adiknya (Muhammad bin Abdul Wahhab) secara
langsung, namun kitabnya beliau yang berjudul “Fashlul Khitab fi Madzhab
Muhammad bin Abdul Wahhab” adalah surat yang ditujukan kepada “Hasan bin
‘Idan”, salah satu sahabat dan pendukung setia nan fanatik Muhammad bin Abdul
Wahhab (pencetus Wahabisme). Jadi ada dua karya yang berbeda dari Syeikh
Sulaiman bin Abdul Wahhab, yang kedua-duanya berfungsi sama yaitu mengeritik
ajaran Wahabisme, walaupun keduanya berbeda dari sisi obyek yang diajak bicara.
Dan tidak benar jika dikatakan bahwa terjadi perubahan judul dari karya beliau
tadi, karena adanya dua buku dengan dua judul yang berbeda tersebut. Kedua
surat itu walaupun memiliki perbedaan dari sisi obyek yang diajak bicara (satu
buat sang adik, dan satu lagi buat pendukung fanatik buta adiknya), tetapi
memiliki kesamaan dari sisi kekuatan dan keilmiahan argumentasinya, baik
argument dari al-Qur’an, Hadits maupun dari para Salaf Sholeh.
Tentu sebagai seorang kakak,
Syeikh Sulaiman tahu betul sifat dan watak adiknya yang hidup bersamanya dari
semenjak kecil. Dia paham bahwa apa yang dilakukannya akan sia-sia, tetapi apa
yang dilakukannya itu tidak lain hanya sebagai argumentasi pamungkas (Itmam
al-Hujjah) akan segala perbuatan adiknya. Sehingga ia berpikir, dengan begitu
ia tidak akan dimintai pertanggung-jawaban lagi oleh Allah SWT kelak di
akherat, sebagai seorang kakak dan seorang ulama yang dituntut harus sigap
dalam melihat dan menyikapi segala penyimpangan, berdasarkan konsep “Amar
Makruf Nahi Munkar” yang diperintahkan (diwajibkan) Islam. Namun secara
realita, usaha Syeikh Sulaiman tidak memberi hasil. Muhammad bin Abdul Wahhab
tetap menjadi Muhammad bin Abdul Wahhab Sang pencetus Wahabisme, Syeikhul
Wahabiyah.
Dari keterangan diatas jelas
sekali bahwa, kebenaran pernyataan yang menyatakan bahwa Syeikh Sulaiman bin
Abdul Wahhab telah bertobat merupakan pernyataan yang tidak berdasar, karena
tidak ada bukti konkrit dan otentik akan kebenaran hal itu, seperti bukti
tertulis karya Syeikh Sulaiman sendiri atau paling tidak orang yang sezaman
dengan beliau. Yang ada hanya pengakuan-pengakuan dari para ulama Wahabi
kontemporer sendiri (yang tidak mengetahui ihwal meninggalnya Syeikh Sulaiman,
apalagi hidupnya) yang menyatakan bahwa Syeikh Sulaiman telah tobat dan bahkan
telah mengikuti bahkan menyokong sekte ajaran adiknya. Ini adalah pembohongan
yang diatas namakan Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Semua itu mereka lakukan
tidak lain hanya untuk membersihkan pengaruh negatif akibat pengingkaran kakak
kandung pencetus Wahabisme yang akan memberikan image buruk terhadap
perkembangan sekte Wahabi ini.
Selain dari pendukung, juga ayah
dan saudara kandungnya, penolak terhadap ajaran Muhammad bin Abdul Wahab juga
datang dari kalangan ulama yang berseberangan pemikiran dengannya, sebut saja
asy-Syekh Ibnu Afaliq al-Hanbali yang pernah mengomentari sosok Muhammad bin
Abdul Wahab dengan berkata, “Dia telah bersumpah dengan sumpah yang keji bahwa
orang-orang Yahudi dan kaum musyrikin lebih baik dari pada umat ini”(Lihat:
Da’aawa al Munaawi`iin, hal: 163). Komentar Ibnu Afaliq ini sekiranya tidak
berlebihan mengingat dalam “Al Qawaaid Al Arba’ah” Muhammad Ibn Abdil Wahab
pernah menyatakan pada kaedah yang keempat, “Sesungguhnya kaum musyrikin di
zaman kita lebih parah kesyirikannya dibandingkan kaum musyrikin terdahulu”
(al-Qawaaid Al Arba’ah: 47). Perlu dicatat bahwa yang ia maksud dengan kaum
musyrikin di zamannya itu adalah kaum muslimin yang tidak seideologi dengannya.
Asy-Syeikh Saulaiman bin Suhaim
al-Hanbali pernah berkomentar, “Barang siapa yang tidak sepakat dengan segala
apa yang ia (Muhammad bin Abdul Wahab) katakan dan bersaksi bahwa perkataannya
itu benar, maka pasti akan divonis kafir. Dan barang siapa yang sepakat dan
membenarkan segala perkataannya maka ia akan berkata kepada orang tersebut,
“Kamu orang yang bertauhid”. Meskipun orang tersebut jelas-jelas fasiq”.
Ustman bin Manshur al-Hanbali
as-Salafy an-Najdi yang merupakan salah satu hakim pada pemerintahan para amir
Daulah Su’udiyyah II, ia pernah berkata, “Allah telah memberi ujian kepada
penduduk Najed, bahkan kepada penduduk Jazirah Arab, dengan adanya orang yang
keluar kepada mereka dan melakukan pengkafiran atas umat Islam, baik yang
khusus (ulama) maupun orang awam, dan memerangi mereka secara umum, kecuali
orang yang sepakat dengan perkataannya”. Dia juga berkata, “Akan tetapi lelaki
ini (Muhammad bin Abdul Wahab) telah menjadikan ketaatan kepadanya sebagai
rukun keenam dalam rukun Islam”. Bahkan saudaranya sendiri, Syekh Sulaiman bin
Abdul Wahab pernah berkata, “Wahai Muhammad ibn Abdil Wahab, berapa rukun
Islam?”. Ia menjawab, “Lima”. Syekh Sulaiman berkata, “Kamu menjadikannya enam.
Yang keenam: orang yang tidak mengikutimu maka tidak dihukumi sebagai muslim.
Ini menurutmu adalah rukun Islam yang keenam” (Lihat: Da’aawa al Munaawi`iin,
hal: 164, 166, 167). Silahkan lihat juga pendapat para Ulama 4 Madzhab tentang
paham Wahabi.
Ungkapan beberapa ulama di atas
mengenai sosok Muhamamd bin Abdul Wahab bukanlah isapan jempol belaka.
Pernyataan-pernyataan takfiri dengan mudah dapat dijumpai di dalam kitab atau
risalah-risalah yang ia tulis. Agar hal ini tidak dianggap sebagai tuduhan
belaka, maka sebaiknya kita simak langsung pernyataan Muhammad bin Abdul Wahab
yang dinukil dari kitab karangannya sendiri maupun dari beberapa kitab yang
menukilnya. Dan silahkan disimak dan dicermati dengan baik-baik diikuti oleh
hati terbuka.
Kasyfu Asy-Syubhaat Karya Muhammad bin Abdul Wahab
Kitab “Kasyfu asy Syubhaat”
adalah salah satu kitab karya Muhammad Ibnu Abdil Wahab yang menjelaskan secara
detail doktrin ideologinya kepada para pengikutnya. Secara umum buku kecil ini
didiktekan kepada para pengikutnya agar mereka memahami sifat-sifat kaum
musyrikin dan sifat-sifat kaum muslimin menurut versinya sendiri. Dalam buku
tersebut ia berusaha mensejajarkan kaum muslimin yang mengamalkan tabarruk,
tawasul dan sejenisnya dengan kaum musyrikin di era Nabi SAW. Pensejajaran ini
merupakan langkah awal untuk menghalalkan darah dan harta kaum muslimin,
sebagaimana halalnya darah dan harta kaum musyrikin yang menentang dakwah Nabi
SAW. Oleh karena itu, Muhammad bin Abdul Wahab tidak segan-segan memakai jalur
kekerasan atau perang untuk menyebarkan dakwahnya ini di kalangan kaum
muslimin.
Dalam permulaan kitab “Kasyfu
Syubhaat”, Muhamamd bin Abdul Wahab berkata: “Ketahuilah –semoga Allah
merahmatimu- bahwa tauhid adalah meng-Esakan Allah dalam beribadah. Itu adalah
agama para rasul yang telah diutus oleh Allah kepada para hamba-Nya. Rasul
pertama adalah Nuh a.s. yang telah Allah utus kepada kaumnya tatkala kaumnya
ghuluww (berlebihan) pada kaum shalihin; Waddan, Suwa’an, Yaghuts, Ya’uq dan
Nasr” (Lihat Kasyfu asy Syubhat, hal. 49).
Pernyataan pembuka di atas, ia
berusaha memberikan sebuah doktrin perdana kepada para pengikutnya bahwa Nabi
Nuh a.s. mendakwahkan tauhid kepada suatu kaum yang berbuat “ghuluww” kepada
kaum shalihin. Dari doktrin perdana ini ia berharap tercipta sebuah gambaran
yang sama di benak setiap pengikutnya bahwa keberadaanya di tengah kaum
muslimin (yang tidak seideologi) saat itu sama persis dengan keberadaan Nuh
a.s. di tengah kaum musyrikin di masanya. Jika harapan itu terwujud maka dengan
sangat mudah sekali para pengikutnya dapat digerakkan untuk memerangi kaum
muslimin yang tidak sepaham dengannya, karena kaum muslimin saat itu akan
secara otomatis tervonis musyrik dan halal untuk diperangi. Kondisi kaum Nabi
Nuh a.s. saat itu tentunya sangat berbeda 180% dengan kaum muslimin yang hidup
di jaman Muhammad bin Abdul Wahab. Karena kaum Nabi Nuh a.s. saat itu tidak
hanya sekedar ghuluww terhadap kaum shalihin. Akan tetapi mereka secara
terang-terangan telah menyatakan menyembah berhala-berhala kaum shalihin yang
mereka pahat sendiri. Pernyataannya Muhammad bin Abdul Wahab di atas secara
tidak langsung merupakan “takfir” terhadap kaum muslimin yang berseberangan
dengan pola pikirnya.
Muhammad bin Abdul Wahab kembali
berkata; “Dan rasul yang terakhir adalah Muhammad SAW, dialah yang
menghancurkan gambar-gambar kaum shalihin itu. Allah mengutusnya kepada suatu
kaum yang beribadah, menunaikan haji, bersedekah dan banyak berdzikir kepada
Allah. Akan tetapi mereka (kaum kafir Quraisy) menjadikan sebagian makhluk
sebagai perantara antara mereka dengan Allah” (Lihat Kasyfu asy Syubhat, hal.
49 dan 50).
Dari sini ia ingin menggiring
pemahaman para pengikutnya agar berkesimpulan bahwa kaum muslimin tak ubahnya
seperti kaum musyrikin. Dan jika Nabi Muhammad SAW memerangi kaum musyrikin
dengan sifat-sifat yang telah disebutkan maka kita pun harus memerangi kaum
muslimin yang telah musyrik karena memiliki kesesuaian sifat dengan kaum
musyrikin di zaman Nabi. Padahal secara tinjauan historis klaim sifat-sifat
tersebut tidak dapat dibenarkan. Tidak ditemukan catatan sejarah yang
menyatakan bahwa kaum musyrikin beribadah, banyak berdzikir dan menunaikan haji
sebagaimana cara kaum muslimin di era Muhamamd bin Abdul Wahab menunaikannya.
Yang kita temukan justru kaum musyrikin tersebut menyembah berhala, tidak
mengimani hari kiamat dan hari kebangkitan, serta mengingkari risalah para nabi
secara keseluruhan. Bagaimana bisa disejajarkan antara kaum muslimin yang
mengimani nubuwwah (kenabian) dengan kaum musyrikin yang tidak mengimaninya sama
sekali?!. Adakah sifat-sifat pengingkaran tersebut dalam diri kaum muslimin
yang menyelisihi ajaran Muhammad bin Abdul Wahab?. Tentu jawabannya tidak ada.
Permasalahan khilafiyyah semisal tabarruk, istighatsah dan tawassul
menjerumuskan Muhammad bin Abdul Wahab ke dalam jurang yang sama dengan apa
yang ia tuduhkan kepada lawan ideologinya; ghuluww. Ia sangat berlebihan dalam
menyikapi permasalahan ini. Padahal seluruh permasalahan yang ia ingkari
terhadap kaum muslimin saat itu telah menjadi amalan mayoritas umat ini dan
memiliki landasan argumentasi yang kuat, baik secara historis maupun empiris.
Setelah mencoba mensejajarkan
sifat kaum muslimin dengan sifat kaum musyrikin, Muhamad bin Abdul Wahab
menutupnya dengan pernyataan demikian: “Jika telah terbukti bahwa mereka (kaum
musyrikin) mengakui semua ini, namun tidak menjadikan mereka masuk dalam tauhid
yang didakwahkan oleh Rasulullah SAW, maka kamu telah mengetahui bahwa tauhid
yang mereka ingkari adalah tauhid ibadah (uluhiyyah) yang disebut oleh kaum
musyrikin di zaman kita dengan sebutan i’tiqad” (Lihat Kasyfu asy Syubhat, hal.
53).
Pernyataan di atas begitu jelas
bahwa Muhammad bin Abdul Wahab telah memvonis kaum muslimin yang berseberangan
dengannya sebagai kaum musyrikin. Karena kata i’tiqad sering dipakai oleh para
ulama dalam mengarang kitab tauhid, seperti kitab I’tiqaad wal Hidaayah ila
Sabiil ar Rasyaad karya Imam Baihaqi, al-Iqtishaad fil I’tiqaad karya Imam
al-Ghazali dan masih banyak lagi.
Lebih jelas lagi, Muhammad bin
Abdul Wahab mengatakan: “Wahai orang musyrik! Aku tidak mengetahui makna
al-Quran dan Hadits Nabi SAW yang kamu gunakan untuk berdalil kepadaku” (Lihat
Kasyfu asy Syubhat, hal. 66-67).
Dari pernyataan di atas kita
patut mempertanyakan: Adakah kaum musyrikin yang menentang ajaran Muhammad bin
Abdul Wahab dengan berdalil dari al-Quran dan Sunnah?. Pernyataan di atas
semakin mempertegas bahwa yang ia maksud dengan orang-orang musyrik itu adalah
kaum muslimin yang tidak mau mengikuti dakwah yang ia tawarkan. Tentunya sudah
jamak diketahui bahwa benturan ideologi yang terjadi antara Muhammad bin Abdul
Wahab dan lawan-lawannya sebenarnya benturan pemahaman ideologi antara sesama
kaum muslimin. Bukan benturan antara Muhammad bin Abdul Wahab dengan kaum
non-muslim. Hanya saja Muhammad bin Abdul Wahab terlalu berlebihan dalam
memvonis syirik kaum muslimin yang berseberangan dengannya.
Sebenarnya masih banyak
pernyataan-pernyataan Muhammad bin Abdul Wahab yang secara langsung maupun
tidak langsung menuduh musyrik dan kafir terhadap muslim lain yang berbeda
pandangan terhadapnya. Asy-Syekh Hasan bin Farhan, menemukan banyak sekali
pernyataan pengkafiran dalam beberapa risalah Muhammad bin Abdul Wahab yang
terkumpul dalam sebuah kitab yang berjudul “Ad-Durar As-Sunniyyah”. Diantara
pernyataan tersebut ada yang langsung disematkan kepada orang tertentu, ada
juga yang dipukulkan secara merata. Silahkan lihat kembali tulisan bagian:
Pengkafiran Terhadap Kaum Muslimin sebelumnya.
Meski begitu, Muhammad bin Abdul
Wahab membantah sikap “takfiri” yang disematkan pada dirinya. Bahkan ia menuduh
balik bahwa itu hanyalah propaganda lawan ideologinya. Muhammad bin Abdul Wahab
mengingkari bahwa ia telah memberhangus kitab-kitab empat madzhab (Ad Durar As
Sunniyah: 1/ 34, 10/ 13), padahal di tempat yang lain ia mengatakan bahwa
kitab-kitab tersebut adalah “’ainus syirk” (wujud kesyirikan) (Ad Durar: 2/
59), juga mengingkari bahwa ia telah mengkafirkan orang-orang yang bertawassul
dengan orang-orang shaleh (Ad Durar: 10/ 13). Juga mengingkari telah mengkafirkan
Imam al-Busyiri sebab perkataannya dalam“nida’” (memanggil) Nabi SAW dengan
sebutan “Yaa akramal khalq” (Ad Durar: 9/ 34), padahal ia mengkafirkan orang
yang menyakini hal itu meskipun tidak menyebutkan nama Imam al-Busyiri. Juga
mengingkari pengkafiran terhadap Ibnu Farid (Ad Durar: 9/ 34), Ibnu Arabi (Ad
Durar: 9/ 34) padahal di tempat yang lain ia mengatakan bahwa Ibnu Arabi adalah
lebih kafir dari pada Fir’aun. Bahkan dia juga mengkafirkan orang yang tidak
mengkafirkan Ibnu Arabi dan kelompoknya (Ad Durar: 10/ 2, 25/ 45). Dia juga
mengingkari bahwa telah mengkafirkan orang yang bersumpah (al-half) dengan
selain Allah (Ad Durar: 9/ 34, 10/ 13). Juga mengingkari bahwa telah membakar
kitab “Dalaailul Khairat” (9/ 80, 34), padahal tatkala mereka (orang-orang
Wahabi) memasuki kota Makkah mereka membakar kitab tersebut (1/ 228) (Lihat:
Daa’iyah Walaisa Nabiyyan, hal. 108- 111).
Penentangan Al-Haramain Terhadap Muhammad bin Abdul Wahhab
Ketika mana Muhammad Abdul Wahab
bersama pengikutnya mengkafirkan kaum muslimin, dia telah mengutuskan
sekumpulan pengikutnya untuk merusak aqidah Ulama’ al-Haramain serta memasukkan
beberapa syubhat dan muslihat. Kemudian Ulama’ al-Haramain (diantara mereka
ialah as-Shaikh Ahmad al-Ba Alawi, as-Shaikh Umar Abdul Rasul, as-Shaikh Aqail
bin Yahya al-’Alawi, as-Shaikh Abdul Malik dan as-Shaikh Hussin al-Maghribi)
bangkit lantas menolak dengan memberikan beberapa keterangan dan hujjah
sehingga melemahkan mereka. Akhirnya Ulama’ al-Harmain menegaskan bahwa
golongan Wahabi ini adalah jahil dan sesat, setelah meneliti bahwa aqidah yang
dibawanya adalah mengkafirkan umat Islam.
Ulama’ Haramian pun menulis
sepucuk surat lalu diajukan perkara tersebut kepada Qadhi as-Syar’i Mekah, yang
akhirnya menjatuhkan hukuman kepada mereka yang mulhid ini ke penjara,
sayangnya ada segelintir dari mereka telah berhasil meloloskan diri ke ad-Dar’iyah (sekarang ibu kota Wahabi yang pertama di Riyad) dengan
perasan sombong dan angkuh. Peristiwa tersebut terjadi di bawah pemerintahan
as-Syarif Masud bin Said bin Saad bin Zaid yang wafat pada 1153H/1732M.
Muhammad bin Abdul Wahab pun meninggal pada tahun 1206H/1792M ketika berumur 90
tahun. Seterusnya gerakan ini diteruskan oleh Sulaiman bin Abdullah bin Abdul
Wahab.
Di bawah Sulaiman bin Abdullah
bin Abdul Wahhab, ajaran Wahabi terus disebarluaskan. Bahkan sejak 1205H-1217H,
pengikut Wahabi berkali-kali mencoba menguasai Semenanjung Arabia tetapi selalu
gagal. Barulah pada tahun 1217H/ 1802M Wahabi berhasil menguasai Thaif dan
mengepungnya pada bulan Dzulqa’idah 1217H, lalu menawan dan membunuh laki-laki
dan wanita termasuk anak-anak, sehingga tiada seorang pun yang terlepas dari
kekejaman Wahabi. Setelah itu mereka merampas dan merusak segala harta benda
dan melakukan perusakan yang tidak terkira dan seterusnya menuju kota Mekah.
Pada akhirnya, Wahabi berhasil memasuki Mekah tahun 1218 Hijriah dan
menghancurkan semua bangunan dan kubah suci, termasuk kubah yang menaungi sumur
Zamzam.
Amir Mekah as-Syarif Galib saat
itu tidak mampu menghalau pengrusakan yang dilakukan pengikut Wahabi yang pada
waktu itu telah tiba di Jeddah. Penduduk Mekah pun ketakukan kalau-kalau apa
yang menimpa penduduk Thaif akan terjadi pada mereka. Namun demikian, penduduk
Mekah tidak dapat berbuat banyak untuk menghadapi mereka.
Kelompok Wahabi kemudian melantik
seorang Amir as-Syarif Abdul Mu’ain yakni saudara as-Syarif Ghalib. Pada tahun
1220H Wahabi mengepung penduduk Mekah dan memutuskan segala perbekalan makanan
sehingga menyebabkan penduduk Mekah kelaparan yang mengakibatkan mereka
terpaksa memakan daging anjing. Melihatkan keadaan ini, Amir Mekah terpaksa
mengadakan perjanjian dan perdamaian untuk menyelamatkan penduduk Mekah.
Setelah masa perdamaian berakhir pada akhir bulan Dzulqa’idah tahun 1220H,
Wahabi berusaha memasuki kota Mekah dan Madinah kembali.
Awal tahun 1221H Wahabi berhasil
memasuki kota Madinah. Mereka kelompok Wahabi melakukan serangan terhadap kaum
muslimin, merampas semua harta benda termasuk lampu dan bekas air daripada emas
dan perak, permata, zamrud yang tidak ternilai harganya, lalu melakukan
beberapa perbuatan keji dan buruk, sehingga menyebabkan banyak dari kalangan
ulama di sana melarikan diri, diantaranya asy-Syaikh Ismail al-Barzanji,
asy-Syaikh Dandrawi, dan lain sebagainya. Saat itu, ribuan Muslim melarikan
diri dari Mekah dan Madinah untuk menghindari kejaran Kaum Wahabi yang bekerja
sama dengan dinasti Saud.
Al-Baqi yang ada di Madinah pun
jadi sasaran empuk, Jannat al-Baqi diratakan dengan tanah tanpa menyisakan
apapun, termasuk nisan atau pusara. Kubah di pemakaman Baqi seperti kubah ahli
bait Nabi, istri-istri, dan anak-anak Nabi tidak luput dari serangan Wahabi.
Kubah-kubah tersebut dihancurleburkan. Bahkan kelompok Wahabi mencoba
menghancurkan kubah pusara baginda Rasulullah SAW, namun entah dengan alasan
apa usaha mereka tersebut itu dibatalkan. Sesungguhnya Maha Suci Allah yang
telah memalingkan mereka daripada perbuatan keji dan melampau batas itu. Kota
Madinah akhirnya di tinggalkan dalam keadaan sepi selama beberapa hari tanpa
adzan, iqamah dan sholat. (Lihat Nuzhatul an-Nazirin fi Tarikh Masjid
al-aw’walin wal akhirin oleh Jaafar bin Syaid Ismail al-Madani al-Barzanji).
WAHABI atau salafy di Indonesia dan SYIAH ada6lah 2 tanduk syetan produk yahudi yg masuk langsung ke jantung islam.
ReplyDeleteBanyak yang mengetahui kalau wahabi itu bagian dari Yahudi. Walaupun para Ulama Lulusan dari Arab dan Mesir yg #dikibuliwahabi menyebut wahabi sebagai bagian dari penegak Islam tauhid sebagaimana dikampanyekan oleh pengikut2nya di Indonesia padahal menggiring kpd aqidah tajsim dan tasybih ibnu taimiyyah.
Sejarawan Yahudi Ishaq bin Zafi mengakui kalau wahabi itu bagian dari sekte Yahudi. Dalam buku Ensiklopedia Sekte-Sekte Yahudi tahun 1957 M dituliskan :
"Ishaq ibn Zafi (Yitzhak Ben Zvi), mantan presiden ke 2 Israel menerbitkan buku tentang Dunamah (salah satu Sekte Yahudi) dalam Bahasa Ibrani, lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh seorang berkebangsaan Yahudi bernama Yitzhak Abade. Buku terjemah ini diterbitkan Penerbit Yahudi di Amerika thn 1957. dicetak ulang thn 1961. Yitzhak Ben Zvi berkata: “Terdapat beberapa kelompok keagamaan yang senantiasa menganggap diri mereka bagian dari Bani Israel, meski ada perbedaan tradisi dengan Bangsa Yahudi mainstream, mereka secara terus menerus mempraktikkan syiar-syiar Agama Yahudi. Di antara kelompok2 itu adalah -Samiriyyun. Dan di antara mereka ada sebuah kelompok penting lain, yaitu Wahhabiyyah. Kelompok ini secara lahiriah muslim, tapi secara sembunyi2 mempraktekkan ritual-Yahudi."
Wahabi memiliki sifat yang sama dengan satu sekte nya, bangsa Yahudi, menghalalkan segala cara (meski dengan dalih sunnah), memfitnah, mengubah isi kitab kuning, menuduh orang lain kafir, syirik, sesat, bid'ah dll.
Wahabiyyah adalah nama yg disematkan oleh Sulaiman bin Abdul Wahab kepada saudaranya yakni Muhammad bin Abdul Wahab. Terdapat pembohongan oleh para ulama salafy mengatakan wahabiyyah adalah kelompok yg didirikan oleh Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum pada abad ke 2 H. Padahal Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum adalah pengikut wahbiyyah. Dalam kitab Tarikh Ibnu Khaldun dijelaskan bahwa :
وكان يزيد قد أذل الخوارج ومهد البلاد فكانت ساكنة أيام روح ، ورغب في موادعة عبد الوهاب بن رستم وكان من الوهبية فوادعه Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum adalah pengikut Wahbiyyah. Pendirinya bernama Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi.
http://www.muslimoderat.net/2015/09/abdul-wahhab-bin-rustum
Islam adalah copy paste dari Al-Qur’an dan Sunnah. Adapun dalam berfiqih mengikuti 4 madzhab atau salah satunya. Beraqidah ahlussunnah waljamaah asy'ariah ataupun maturidiah. Bertasawuf seperti Al Ghazali ataupun Abdul Qodir Jaelani ataupun ulama-ulama thasawwuf yg telah masyhur. Shalat 5 wkt berjamaah di masjid bagi laki2 yg sdh baligh kecuali udzur. Yg wanita jg laksanakan sholat dan tutup aurat. Jangan berpaham wihdatul wujud, jangan berpaham mu'tazilah, jahmiah, takfiri, sekuralisme, kapitalisme, materialisme, marxisme, leninisme, komunisme, maoisme, dalam bentuk apa pun dan cara bagaimana pun, sesuai amanat TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966, UU Nomor 77 Tahun 1999 junto KUHP Pasal 107a, 107b, 107c, 107d dan 107e, jangan menyembah kuburan serta perbuatan syirik lainnya, jangan mengikuti syi'ah, jangan mengikuti ibnu taimiyyah dan murid2nya yg musyabbih dan mujassim, jangan mengikuti Mr. Hempher dan Muhammad bin Abdul wahab beserta murid muridnya yg musyabbih & mujassim + khawarij, sekte yahudi berkedok ahlussunnah wal jamaah.
Dalam poto ini?
ReplyDeleteBerdiri no. 2 dari kanan disinyalir seorang MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB, akan tetapi, Pada tahun 1826, Joseph Nicepore Niepce memublikasikan gambar dari bayangan yang dihasilkan kameranya, yang berupa gambaran kabur atap-atap rumah pada sebuah lempengan campuran timah yang dipekakan yang kemudian dikenal sebagai foto pertama.
Sedang Muhammad bin Abduk Wahab itu meninggal tahun 1792 M
Jadi? Itu siapa?