MK DAN KY
MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KOMISI
YUDISIAL
.A. Sejarah
Sebelum
terbentuknya Komisi Yudisial (KY), pembentukan lembaga pengawas peradilan
sebenarnya sempat digagas. Misalnya, Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim
(MPPH) dan Dewan Kehormatan Hakim (DKH).
MPPH yang telah diwacanakan sejak tahun 1968
berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai
saran-saran dan/atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi,
kepindahan, pemberhentian, dan tindakan/hukuman jabatan para hakim yang
diajukan, baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Menteri Kehakiman. Sayangnya,
ide tersebut menemui kegagalan sehingga tidak berhasil menjadi materi muatan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
Sementara
Dewan Kehormatan Hakim (DKH) yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun
1999 berwenang mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai
perekrutan, promosi, dan mutasi hakim, serta menyusun kode etik (code of
conduct) bagi para hakim.
Melalui Amendemen Ketiga Undang–Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2001 disepakati tentang
pembentukan Komisi Yudisial. Ketentuan mengenai Komisi Yudisial diatur dalam
Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maksud
dasar yang menjadi semangat pembentukan Komisi Yudisial disandarkan pada
keprihatinan mendalam mengenai kondisi wajah peradilan yang muram dan keadilan
di Indonesia yang tak kunjung tegak.
Komisi Yudisial karenanya dibentuk dengan dua
kewenangan konstitutif, yaitu untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Selanjutnya, dalam rangka mengoperasional
kan keberadaan Komisi Yudisial, dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.
Eksistensi
lembaga negara ini semakin nyata setelah tujuh orang Anggota Komisi Yudisial
periode 2005-2010 mengucapkan sumpah di hadapan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada 2 Agustus 2005. Sejak saat itu, kehadiran Komisi Yudisial
semakin nyata dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Namun
dalam perjalanan tugasnya, Komisi Yudisial mengalami dinamika. Antara lain
pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 ke Mahkamah Konstitusi
oleh sejumlah hakim agung. Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
005/PUU-IV/2006, beberapa kewenangan dalam pengawasan hakim dan hakim Mahkamah
Konstitusi tidak berlaku. Terkait hakim konstitusi, putusan tersebut menjadi
perdebatan panjang lantaran pemohon tidak pernah mengajukannya.
Sejak
Mahkamah Konstitusi membatalkan wewenang Komisi Yudisial melalui putusannya
yang keluar pada tahun 2006, Komisi Yudisial dan sejumlah elemen bangsa yang
mendukung peradilan bersih, transparan, dan akuntabel melakukan berbagai upaya
untuk mengembalikan peran Komisi Yudisial sesuai harapan masyarakat. Salah satu
upayanya adalah dengan merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004. Usaha
tersebut membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial. Perubahan undang-undang ini berpengaruh terhadap penguatan wewenang
dan tugas Komisi Yudisial
Selain
itu, amunisi lain yang menguatkan kewenangan Komisi Yudisial adalah Undang-Undang
Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umum; Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang
– Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang–Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tersebut memberikan berbagai tugas dan
wewenang baru bagi Komisi Yudisial, antara lain : melakukan seleksi
pengangkatan hakim adhoc di Mahkamah Agung, melakukan upaya peningkatan
kapasitas dan kesejahteraan hakim, melakukan langkah-langkah hukum dan langkah
lain untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim,
melakukan penyadapan bekerja sama dengan aparat penegak hukum, dan melakukan
pemanggilan paksa terhadap saksi.
Disahkannya
undang-undang tersebut merupakan konkritisasi dari upaya memperkuat wewenang
dan tugas Komisi Yudisial sebagai lembaga negara independen yang menjalankan
fungsi checks and balances di bidang kekuasaan kehakiman dalam rangka
mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan
bagi seluruh rakyat Indonesia.
.B. Tugas dan wewenang
Mahkamah
Konstitusi (disingkat MK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman
bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
Kewajiban dan wewenang
Pasal
24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga
peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara
tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.
Berdasarkan
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1)
huruf a sampai dengan d UU 24/2003, kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah
menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai
politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu,
berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945
yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah
Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan
tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Tujuan Komisi Yudisial
Adapun
tujuan dibentuknya Komisi Yudisial adalah sebagai berikut:
·
Agar dapat melakukan monitoring secara
intensif terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dengan melibatkan
unsur-unsur masyarakat.
·
Meningkatkan efisiensi dan efektifitas
kekuasaan kehakiman baik yang menyangkut rekruitmen hakim agung maupun
monitoring perilaku hakim.
·
Menjaga kualitas dan konsistensi putusan
lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang
benar-benar independen.
·
Menjadi penghubung antara kekuasaan
pemerintah dan kekuasaan kehakiman untuk menjamin kemandirian kekuasaan
kehakiman.
Sesuai
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial mempunyai
wewenang:
·
Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
·
Menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
·
Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman
Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah Agung;
·
Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode
Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
TUGAS
Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2011, dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
huruf a, yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di
Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan, maka Komisi Yudisial
mempunyai tugas:
a) Melakukan
pendaftaran calon hakim agung;
b) Melakukan
seleksi terhadap calon hakim agung;
c) Menetapkan
calon hakim agung; dan
d) Mengajukan
calon hakim agung ke DPR.
Pasal
20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 mengatur bahwa:
1. Dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a)
Melakukan pemantauan dan pengawasan
terhadap perilaku hakim;
b)
Menerima laporan dari masyarakat
berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
c)
Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan
investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim secara tertutup;
d)
Memutus benar tidaknya laporan dugaan
pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,
e)
Mengambil langkah hukum dan/atau langkah
lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang
merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
2. Selain
tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial juga mempunyai tugas
mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim;
3. Dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Komisi Yudisial dapat
meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan
merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau
Pedoman Perilaku Hakim oleh Hakim.
Komisi
Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim.
Keanggotaan
Komisi Yudisial terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, dan
anggota masyarakat. Anggota Komisi Yudisial adalah pejabat negara, terdiri dari
7 orang (termasuk Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap Anggota). Anggota Komisi
Yudisial memegang jabatan selama masa 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat
dipilih kembali untuk 1 (satu) kali Masa
Sekretariat Jenderal
Sekretariat
Jenderal Komisi Yudisial adalah aparatur pemerintah yang di dalam menjalankan
tugas dan fungsinya berada dan bertanggung jawab langsung kepada Pimpinan Komisi
Yudisial. Sekretariat Jenderal dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal.
Sekretariat Jenderal mempunyai tugas memberikan dukungan administratif dan
teknis operasional kepada Komisi Yudisial. jabatan.
.C. Perbedaan MK dan KY
Perbedaan
antara MK dan KY dapat dilihat dari tabel berikut ini:
No comments:
Post a Comment