MAHKAMAH AGUNG (MA)
II.A. Sejarah
Masa
penjajahan Belanda atas bumi pertiwi Indonesia, selain mempengaruhi roda
pemerintahan juga sangat besar pengaruhnya terhadap Peradilan di Indonesia.
Dari masa dijajah oleh Belanda (Mr. Herman Willem Daendels – Tahun 1807),
kemudian oleh Inggris (Mr. Thomas Stanford Raffles – Tahun 1811 Letnan
Jenderal) dan masa kembalinya Pemerintahan Hindia Belanda (1816-1842).
Pada
masa penjajahan Belanda Hoogerechtshoof merupakan Pengadilan Tertinggi dan
berkedudukan di Jakarta dengan wilayah Hukum meliputi seluruh Indonesia.
Hoogerechtshoof beranggotakan seorang Ketua, 2 orang anggota, seorang pokrol
Jenderal, 2 orang Advokat Jenderal dan seorang Panitera dimana perlu dibantu
seorang Panitera Muda atau lebih. Jika perlu Gubernur Jenderal dapat menambah
susunan Hoogerechtshoof dengan seorang Wakil dan seorang atau lebih anggota.
Setelah
kemerdekaan, tepatnya tanggal 19 Agustus 1945, Presiden Soekarno
melantik/mengangkat Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja sebagai Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia yang pertama. Hari pengangkatan itu kemudian
ditetapkan sebagai Hari Jadi Mahkamah Agung, melalui Surat Keputusan
KMA/043/SK/VIII/1999 tentang Penetapan Hari Jadi Mahkamah Agung Republik
Indonesia. Tanggal 19 Agustus 1945 juga merupakan tanggal disahkannya UUD 1945
beserta pembentukan dan pengangkatan Kabinet Presidentil Pertama di Indonesia.
Mahkamah Agung terus mengalami dinamika sesuai dinamika ketatanegaraan. Antara
tahun 1946 sampai dengan 1950 Mahkamah Agung pindah ke Yogyakarta sebagai ibukota
Republik Indonesia.
Pada
sekitar tahun 1980an barulah dirasakan pentingnya fungsi pengawasan dalam
penyelenggaraan negara di indonesia. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya :
Instruksi
Presiden Nomor 15 Tahun 1983 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan
Keputusan
Presiden Nomor 31 Tahun 1983 Tentang Pembentukan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP);
Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1989 Tentang Pedoman Pengawasan melekat.
Sampai
dengan tahun 2001 fungsi pengawasan ini dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dengan
menunjuk Hakim Agung Penanggung jawab Pengawasan Wilayah, tanpa memiliki
struktur dan Supporting Unit.
Pada
tahun 2001 atas usulan dari Mahkamah Agung RI dikeluarkanlah Surat Keputusan
Presiden RI Nomor 131 / M Tahun 2001 tanggal 23 April 2001 Tentang Pengangkatan
Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan Pengawasan dan Pembinaan. Jadi sejak tahun
2001 di Mahkamah Agung sudah ditunjuk seorang Hakim Agung yang ditugaskan untuk
melakukan pengawasan dan pembinaan yang merupakan salah satu fungsi dari
Mahkamah Agung, Namun pelaksanaan tugas Ketua Muda Mahkamah Agung RI urusan
Pengawasan dan Pembinaan ini tidaklah dapat terlaksana secara maksimal karena
tidak memiliki struktur dan tidak tersedianya Supporting Unit untuk membantu
melaksanakan tugas-tugasnya.
Guna
mengatasi kendala tersebut, Mahkamah Agung mengajukan konsep pembentukan unit
Pengawasan dan Pembinaan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, atas
mana Menteri memberikan persetujuannya dengan Surat Nomor 156 / M.PAN / VI /
2002 tanggal 10 Juni 2002. Persetujuan tersebut oleh Panitera / Sekretaris
Jenderal Mahkamah Agung RI ditindaklanjuti dengan pembentukan Unit Asisten
Bidang Pengawasan dan Pembinaan Mahkamah Agung RI berdasarkan Surat Keputusan
Panitera / Sekretaris Jenderal Mahkamah
Agung RI Nomor : MA / PANSEK / 013 / SK . VI / Tahun 2002 tanggal 12 Juni 2002
Tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Panitera / Sekretaris Jenderal Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor : MA /
PANSEK / 02 / SK / Tahun 1986
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan / Sekretariat Jenderal Mahkamah
Agung Republik Indonesia. Berdasarkan Surat Keputusan tersebut, dibentuklah
struktur organisasi Asisten Bidang Pengawasan dan Pembinaan Mahkamah Agung RI
yang terdiri atas :
Seorang
Pejabat Struktural Eselon IIa selaku Asisten Bidang Pengawasan dan Pembinaan
Mahkamah Agung RI ( Surat Keputusan Panitera / Sekretaris Jenderal Mahkamah
Agung RI Nomor : UP.IV / 116/ PSJ / SK / 2003 tanggal 14 April 2003 Tentang
Pengangkatan Para Pejabat Struktural Eselon II di Lingkungan Sekretariat
Jenderal Mahkamah Agung RI ).
Sembilan
orang Hakim Tinggi Pengawas / Pejabat Fungsional Pengawasan.
Tiga
orang Pejabat Struktural Eselon III yaitu Kepala Bidang Peradilan Uum dan
Peradilan Tata Usaha Negara, Kepala Bidang Peradilan Agama dan Peradilan
Militer dan Kepala Bidang Peradilan Mahkamah Agung.
Enam
orang Pejabat Struktural Eselon IV yang masing-masing adalah Kepala Sub Bidang
Peradilan Umum, Tata Usaha Negara, Agama, Militer, Mahkamah Agung dan Tata
Operasional.
Sebelas orang Staff.
Asisten
Bidang Pengawasan dan Pembinaan Mahkamah Agung RI (Asbidwasbin) secara
struktural organisatoris berada dibawah Panitera / Sekretaris Mahkamah Agung RI
yang dalam pelaksanaan tugas berada di bawah koordinasi Ketua Mahkamah Agung RI
Urusan Pengawasan dan Pembinaan.
Dengan
diundangkannya Undang- Undang Nomor 4 dan 5 Tahun 2004 maka organisasi,
administrasi dan finansial seluruh badan peradilan berada di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung, hal mana juga membawa dampak terhadap fungsi pengawasan
Mahkamah Agung.
Pasal
46 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2004 memberikan tenggat waktu kepada Mahkamah
Agung paling lambat 12 bulan terhitung sejak undang – undang tersebut
diundangkan yaitu tanggal 15 Januari 2004 untuk menyusun organisasi dan tata
kerja yang baru di lingkungan Mahkamah Agung.
Pasal
5 ayat (2) Undang- nUndang Nomor 5 Tahun 2004 menentukan bahwa Wakil Ketua
Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Wakil Ketua
Yudisial dan Wakil Ketua Bidang Non-
Yudisial. Pada ayat (5) ditentukan bahwa Wakil Ketua Bidang Non-Yudisial
membawahi Ketua Muda Pembinaan dan Ketua Muda Pengawasan.
Selanjutnya
Pasal 25 ayat (1) Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 menentukan bahwa pada
Mahkamah Agung ditetapkan adanya Sekretariat yang dipimpin oleh seorang
Sekretaris Mahkamah Agung. Pada ayat (3) ditentukan bahwa pada Sekretariat
Mahkamah Agung dibentuk beberapa Direktorat Jenderal dan Badan yang dipimpin
oleh beberapa Direktur Jenderal dan Kepala Badan. Dan sejak saat itu terdapat
Badan yang bertugas untuk melakukan Pengawasan Fungsional di Mahkamah Agung RI
dan seluruh Badan Peradilan di bawahnya dengan nama “ Badan Pengawasan Mahkamah
Agung RI “.
II.B. Tugas dan wewenang
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang
ketua, 2 (dua) wakil ketua, dan beberapa orang ketua muda. Wakil Ketua Mahkamah
Agung terdiri atas wakil ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang
nonyudisial. Wakil ketua bidang yudisial yang membawahi ketua muda perdata,
ketua muda pidana, ketua muda agama, dan ketua muda tata usaha negara sedangkan
wakil ketua bidang nonyudisial membawahi ketua muda pembinaan dan ketua muda
pengawasan.
Dengan
adanya penerapan sistem kamar di Mahkamah Agung, pada tahun 2013 nomenklatur
unsur Pimpinan Mahkamah Agung RI berubah berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah
Agung RI Nomor 50A/KMA/SK/IV/2013. Berikut perubahan nomenklatur tersebut:
Mahkamah
Agung memiliki wewenang:
·
Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi
terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua
lingkungan peradilan
·
Mahkamah Agung menguji peraturan secara
materiil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang
·
Melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman
Kewenangan
Mahkamah Agung RI berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
meliputi: pertama, kewenangan memeriksa dan memutus permohonan kasasi, sengketa
tentang kewenangan mengadili, dan permohonan peninjauan kembali terhadap
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap; kedua, kewenangan menguji peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang; ketiga,
memberikan pertimbangan terhadap permohonan grasi. Selain itu, Mahkamah Agung
RI dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada
lembaga negara dan lembaga pemerintahan.
Sejak
Tahun 2011 melalui Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 142/KMA/SK/IX/2011,
Mahkamah Agung telah memberlakukan sistem kamar. Dengan sistem ini hakim agung
dikelompokkan ke dalam lima kamar yaitu perdata, pidana, agama,tata usaha
negara dan militer. Hakim agung masing-masing kamar pada dasarnya hanya
mengadili perkara-perkara yang termasuk dalam lingkup kewenangan masing-masing
kamar. Konsep Sistem Kamar ini diadopsi
dari Sistem Kamar yang selama ini diterapkan di Hoge Raad (Mahkamah Agung) Belanda.
Penerapan
sistem kamar sangat mempengaruhi produktivitas penanganan perkara di Mahkamah
Agung. Berdasarkan data sisa tunggakan perkara sejak enam tahun terakhir,
tercatat terus mengalami penurunan. Terlebih jika dibandingkan dengan sisa
tunggakan pada tahun 2012 yang mencapai 10.112 perkara sehingga dalam kurun
waktu enam tahun Mahkamah Agung telah mengurangi lebih dari 86 persen sisa
perkara. Bahkan sisa perkara pada 2017 menjadi yang terendah sepanjang sejarah,
yakni sebanyak 1.388 perkara.
II.C. Perbedaan MA, MK dan KY
Gedung
Mahkamah Agung (masa Hindia Belanda) dan Istana Daendels ("Het Grote
Huis") di Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng), Batavia.
Mahkamah
Agung Republik Indonesia (disingkat MA RI atau MA) adalah lembaga tinggi negara
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan
kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh
cabang-cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.
Dengan
beridinya Mahkamah Agung ini diharapkan bangsa kita lebih taat hukum dan
peraturan, dan sebagai generasi penerus maka sudah seharusnyalah kita berperan
serta menjunjung tinggi nilai keadilan bangsa.
No comments:
Post a Comment