Penulis saat ini sedang merasakan
kegalauan atas keadaan Indonesia saat ini, bagaimana tidak, dalam suasana
politik yang sedang panas-panasnya ini setiap orang menghalalkan segala cara
untuk menunaikan hasratnya, dan pada tulisan sederhana yang merupakan ungkapan
hati penulis tanpa membela atau memihak pada pihak manapun atau atas dasar
pandangan politik apapun penulis mencoba mencurahkan isi hati yang terdalam
ini, dan saat ini penulis akan menuangkan pandangannya dari sisi keilmuan islam
yang penulis fahami secara sederhana.
Mungkin perasaan yang penulis
rasakan sebagai seorang muslim yang pengetahuan keislamannya masih benar-benar
dangkal mungkin saat ini tidak jauh beda juga dirasakan oleh banyak muslim yang
memiliki pengetahuan yang masih minim lainnya.
Saat ini banyak tuduhan Ulama di
kriminalisasi, atau bahkan sebaliknya, ada sebagian pula yang berfikir bahwa
banyak ulama yang menekan atau menjatuhkan orang lain dengan menggunakan dalih
ke islamannya, terutama saat ini masalah tentang ulama yang banyak mencaci
pemimpin bangsa ini, untuk hal ini penulis akan mencoba menelaah kasus seorang
Habib yang saat ini sedang terjerat dalam beberapa kasus, dari mulai kasus
penghinaan dan ujaran kebencian, hingga kasus kekerasan, pasti sebagain
pembaca faham siapa yang penulis maksud
kan, dan penulis yakin ada banyak muslim yang memiliki perasaan dilema sama
seperti yang penulis rasakan saat ini, dan penulis harap tulisan ini bisa
bermanfaat bagi setiap pembacanya. Dan berikut beberapa kutipan yang penulis
ambil dari berbagai sumber, yang Insya Allah mudah-mudahan bisa menjadi
penambahan pandangan kita agar lebih terbuka dan bisa menjadikan kita manusia
yang lebih baik.
Walau penulis faham tulisan
sederhana ini bisa menuai kontrofersi dari berbagai pihak, namun penulis
berharap tulisan ini bisa dianggap sebagai tambahan ilmu bagi penulis pribadi
yang masih teramat bodoh ini, maupun bagi pembacanya yang mungkin lebih
memahami perkara ini, dan tidak ada maksud sedikitpun di hati penulis untuk
memecah belah atau memihak pada salah satu pihak, namun harapan agar pemikiran
kita bisa lebih terbuka.
Untuk bahasan awal penulis coba
membahas tentang perkara Habib dalam pandangan islam, dan bagaimana seharusnya
kita bersikap kepada para habait ini.
Perkara Habib Dalam Pandangan Islam
Habib dalam pandangan islam
adalah seseorang yang memiliki keturunan darah Nabi Muhammad S.A.W, dari
keturunan Hasan dan Husein yang
merupakan Cucu Nabi Muhammad.S.A.W, itu yang di fahami penulis secara
sederhana. (maaf apabila salah).
Dan menurut Wikipedia Indonesia pengertian
Habib atau Ahli Bait adalah:
Habib di kalangan Arab-Indonesia
adalah gelar bangsawan Timur Tengah yang merupakan kerabat Nabi Muhammad (Bani
Hasyim) dan secara khusus dinisbatkan terhadap keturunan Nabi Muhammad melalui
Fatimah az-Zahra (yang berputera Husain dan Hasan) dan Ali bin Abi Thalib.
Di dalam islam sendiri ada kewajiban
bagi setiap isam untuk menghargai dan menghormati Habib, dengan berbagai alasan
yang menurut penulis hal itu sangatlah wajar dan memang di haruskan, dalam
beberapa pendapat para ulama dan riwayat menyebutkan beberapa hal tentang
menghormati setiap turunan dari Nabi Muhammad S.A.W sebagai berikut:
“Katakanlah (hai Muhammad):
‘Kepada kalian aku tidak minta upah apa pun juga atas seruanku kecuali
kasih-sayang dalam kekeluargaan’. Barangsiapa berbuat kebajikan baginya Kami
tambahkan kebaikan pada kebajikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Membalas syukur”. [Asy-Syura: 23]
Imam Ahmad bin Hanbal, Thabraniy
dan Al-Hakim meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Ibnu ‘Abbas r.a yang
mengatakan, bahawa setelah turun ayat tersebut di atas, para sahabat bertanya:
“Ya Rasulullah, siapakah kerabat
anda yang wajib kita berkasih sayang kepada mereka?” Rasulullah s.a.w.
menjawap: “‘Ali, Fatimah dab dua orang anak mereka berdua”.
Hadits yang diriwayatkan oleh
Thabraniy, bahawasanya Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
“Allah menciptakan keturunan
setiap Nabi dari tulang sulbinya sendiri, namun Allah menciptakan keturunanku
dari tulang sulbi ‘Ali bin Abi Thalib”. Abulkhair dan Al-Hakim meriwayatkan
sebuah hadits berasal dari Al-‘Abbas, paman Nabi, bahawa pada suatu hari ‘Ali
bin Abi Thalib r.a datang menghadap Rasulullah s.a.w., dan di tempat
itu hadir Al-‘Abbas. Setelah Rasulullah s.a.w. menjawap ucapan salam ‘Ali bin
Abi Thalib r.a beliau berdiri, kemudian merangkulnya dan mencium keningnya,
lalu dipersilakan duduk di sebelah kanan beliau. Ketika itu Al-‘Abbas bertanya:
‘Ya Rasulullah, apakah anda mencintai dia’? Beliau menjawap: “Paman, demi
Allah, Allah lebih mencintai dia daripada aku. Allah Azza wa Jalla menjadikan
keturunan setiap Nabi dari tulang sulbinya sendiri, namun Allah menjadikan
keturunanku dari tulang sulbi orang ini”.
Al-Bukhariy di dalam ‘Shahih’nya
meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Abu Bikrah Ats-Tsaqafiy r.a yang
mengatakan sebagai berikut:
“Saya mendengar Rasulullah s.a.w.
berkata dari atas mimbar – al-Hasan (cucu Nabi) di samping beliau, beliau
sebentar melihat kepadanya dan sebentar melihat kepada hadirin – ‘Puteraku ini
adalah sayyid. Mudah-mudahan dengan dia Allah kelak akan mendamaikan dua
golongan kaum Muslimin” (Baginda Nabi sudah mengetahui akan segera datang
perpecahan islam antara sunni dan si’ah. Maka dari itu beliau berdoa untuk kerukunan
Sayyidina Hasan dan Husain. Wallohu’alam)
Tirmudziy mengetengahkan sebuah
hadits berasal dari Usamah bin Zaid r.a yang mengatakan sebagai berikut:
“Saya melihat Rasulullah s.a.w. duduk memangku
al-Hasan dan al-Husein, kemudian beliau berkata: Dua orang anak ini anak-anakku
dan anak-anak Fatimah. Ya Allah, aku mencintai dua anak ini, maka cintailah
mereka berdua dan cintailah pula orang yang mencintai kedua-duanya”.
Ahmad dan Al-Hakim meriwayatkan
sebuah hadits berasal dari Musawwar bin Makhramah radhiyallahu ‘anhuma;
bahawasanya Rasulullah s.a.w. telah berkata:
“Fatimah adalah sebahagian dari
diriku, apa yang membuatnya marah membuatku marah dan apa yang melegakannya
melegakan aku. Sesungguhnya bahawa semua nasab akan terputus pada hari kiamat,
selain nasabku, sebabku dan menantuku”.
Thabraniy meriwayatkan sebuah
hadits dari Siti Fatimah r.a, bahawasanya Rasulullah s.a.w. pernah menegaskan:
“Semua anak yang dilahirkan oleh
ibunya bernasab kepada ayah mereka kecuali anak Fatimah; akulah wali mereka,
akulah nasab mereka dan akulah ayah mereka”.
Al-Baihaqiy, Thabraniy dan
lain-lainnya meriwayatkan, bahawa ketika Umar Ibnul-Khatthab r.a meminang
puteri Imam ‘Ali r.a yang bernama Ummu Kaltsum (puteri Siti Fatimah Az-Zahra
r.a), ia berkata dan Lebih lanjut Umar r.a berkata.
“Aku tidak menginginkan kedudukan, tetapi saya
pernah mendengar Rasulullah s.a.w. berkata: ‘Semua sebab dan nasab akan
terputus pada hari kiamat kecuali sebabku dan nasabku. Semua anak yang
dilahirkan ibunya bernasab kepada ayah mereka kecuali anak Fatimah, akulah ayah
mereka dan kepadaku mereka bernasab’. Umar r.a berkata lebih lanjut: ‘Aku
adalah sahabat beliau, dan dengan hidup bersama Ummu Kaltsum aku ingin
memperoleh hubungan sebab dan nasab (dengan Rasulullah s.a.w.)’.
Al-Bazar, Abu Ya’la, Thabraniy
dan Al-Hakim meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Mas’ud r.a, bahawasanya
Rasulullah s.a.w. telah berkata:
“Fatimah telah menjaga
kehormatannya, kerana itu Allah mengharamkan dia dan keturunannya dari neraka”.
Dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Rasulullah berkata:
“Apabila bintang-bintang lenyap,
lenyaplah langit; dan apabila ahlulbait lenyap, lenyaplah penghuni bumi”.
Ibnu Adiy dan Ad-Dailamiy
meriwayatkan sebuah hadits berasal dari ‘Ali bin Abi Thalib r.a, bahawasanya
Rasulullah s.a.w. berkata:
“Di antara kalian yang paling
mantap (tidak goyah) di atas shirath ialah yang paling besar kecintaannya
kepada ahlulbaitku”.
Tirmudziy, Ibnu Majah dan
Al-Hakim meriwayatkan, bahawa Rasulullah s.a.w. berkata:
“Aku memerangi orang yang
memerangi mereka (ahlulbaitku) dan berdamai dengan orang yang berdamai dengan
mereka”.
Ibnu Ma’jah meriwayatkan sebuah hadits
yang berasal dari Al-‘Abbas bin Abdul Mutthalib, bahawasanya Rasulullah s.a.w.
berkata:
“Kepada ada orang-orang yang
sedang bercakap-cakap kemudian jika didatangi seorang dari ahlulbait lalu
memutuskan pembicaraan? Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, iman
tidak akan masuk ke dalam hati seorang sebelum ia mencintai mereka
(ahlulbaitku) demi kerana Allah dan kerana kerabatku”.
Menurut riwayat lain beliau berkata:
“Seseorang (hamba Allah) tidak beriman
kepadaku sebelum ia mencintaiku, dan ia tidak mencintaiku sebelum mencintai
ahlulbaitku”.
Thabraniy dan Al-Baihaqiy
meriwayatkan sebuah hadits, bahawa dalam salah satu khutbah di atas mimbar
Rasulullah s.a.w. berkata:
“Kepana ada orang-orang yang
menggangguku mengenai nasab dan kaum kerabatku? Bukankah orang yang mengganggu
nasabku dan kaum kerabatku bererti ia telah menggangguku dan siapa yang
menggangguku bererti ia mengganggu Allah s.w.t.?”
Ad-Dailamiy meriwayatkan sebuah
hadits dari Ibnu Sa’id Al-Khudhariy bahawasanya Rasulullah s.a.w. berkata:
“Allah sangat murka terhadap
orang yang menggangguku melalui ahlulbaitku (itrahku)”. Ad-Dailamiy mengatakan,
benarlah bahawa Rasulullah s.a.w. telah berkata: “Barangsiapa yang ditangguhkan
ajalnya (dipanjangkan umurnya) dan ingin mendapat kebahagiaan dengan kebajikan
yang dikurniakan Allah kepadanya, hendaklah berlaku baik terhadap keluargaku
sepeninggalanku. Barangsiapa tidak berlaku baik terhadap keluargaku
sepeninggalku, ia akan dipendekkan umurnya, dan pada hari kiamat ia akan
dihadapkan kepadaku dalam keadaan mukanya berwarna hitam”.
Masih banyak lagi khadis-khadis
ataupun riwayat-riwayat yang menggambarkan keutamaan seorang Habib atau Ahli
Bait namun tidak dapat penulis sampaikan keseluruhannya, dan berdasarkan semua
itu maka jelas-jelas posisi Habib sangatlah di muliakan di dalam Islam, karena
di dalam darahnya mengalir darah Nabi karena keturunannya.
Dan yang jadi pertanyaan besar
saat ini adalah:
“Bagaimana sikap kita terhadap
Habib (ahli Bait) yang sudah melanggar aturan pemerintah dan berprilaku tidak
santun atau memiliki prilaku yang tidak
mencerminkan seorang muslim?”
Untuk menjawab pertanyaan ini dan
supaya bisa lebih mudah di fahami oleh para pembaca maka penulis akan
memberikan link yang memuat berbagai pendapat para ulama yang menjawab
pertanyaan itu dengan gamblang dan lebih kompeten dalam menjawab pertanyaan
tersebut, dan supaya terhindar dari kesalahan penulis dalam menjawab pertanyaan
tersebut, untuk jawabannya bisa dibuka di:
dan secara sederhana maka dapat
penulis simpulkan bahwa kita sebagai umat islam diwajibkan menghormati dan
menghargai seorang Habib, karena di darahnya mengalir darah turunan Nabi Besar
Muhammad S.A.W.
yang jadi pertanyaan kita
selanjutnya adalah:
“Bagaimana apabila ada seorang
Habib yang mudah mengucapkan kata-kata kasar, mengucapkan kata-kata yang
mengjina seseorang atau bahkan melakukan kekerasan yang tidak mencerminkan
seorang muslim, atau bahkan tidak mencerminkan sikap dan prilaku Rosulullah
S.A.W?” apakah masih pantas yang seperti ini menyandang predikat habib?”
Sesungguhnya penulis merasa tidak
pantas untuk menjawab pertanyaan ini, namun secara sederhana penulis akan
menyampikan pendapat penulis dan untuk kesimpulan silahkan para pembaca
menyimpulkan masing-masing menurut pemahaman dari para pembaca.
Menurut penulis Habib juga
merupakan manusia, yang tidak pernah luput dari salah dan hilaf, sehingga
kitapun harus memahami fitrah dari manusia tersebut, namun karena masalah ini
muncul di tengah-tengah suasana politik yang sedang memanas maka terasa lebih
mengguncang, dan sebagai seorang muslim maka kitapun harus fahami itu,
sedangkan untuk masalah hukum tetaplah hukum, apabila beliau melanggar hukum
maka sudah selayaknya Beliau mempertanggung jawabkan perbuatannya di hadapan
hukum yang berlaku di negeri ini, dengan tanpa menghilangkan atau pengingkaran
ke habibannya seperti pada khadist-khadist yang sudah kita bahas sebelumnya.
Saat ini muncul tuduhan
pengkriminalisasian ulama, menurut penulis sendiri ada beberapa hal yang harus
di telaah dengan bijak oleh siapapun tentang masalah ini, kita harus bisa
bedakan antara kriminalisasi dan penegakan hukum, menurut penulis dua hal ini
pada keadaan tertentu bisa menjadi sesuatu yang memiliki perbedaan yang teramat
tipis dan malah nyaris sulit di bedakan, jadi kita harus ekstra hati-hati dalam
menilai hal ini.
Dalam beberapa kejadian kita
harus akui bahwa benar ada beberapa kejadian yang mengarah pada kriminalisasi
ulama, namun pada beberapa hal yang terjadi bukan lah merupakan kriminalisasi
tapi merupakan tindakan yang penegakan hukum yang diberlakukan pada ulama yang
melanggar aturan yang berlaku, apabila kita tidak bijaksana dalam menyikapi
masalah ini maka ancaman kehancuran dan perpecahan bangsa ini semakin terihat
jelas.
Saran dari penulis untuk
permasalahan yang satu ini adalah kita harus lebih bijaksana dan berfikir luas
dan mencoba menempatkan diri pada posisi yang netral agar kita bisa menilai
semua lebih jelas, ibarat kita melihat sebuah lukisan, saat kita melihat pada
jarak yang terlalu dekat maka hanya sebagian bidang atau gambar lukisan
tersebut yg bisa terlihat, dan saat kita melihat gambar atau lukisan tersebut
dalam jarak yang cukup maka akan lebih luas lagi bidang yang bisa kita lihat
pada lukisan tersebut.
Akhir dari tulisan ini penulis
mengajak siapapun kita dan apapun kita juga apapun pilihan kita nanti hendaknya
tetap bsia menjaga persatuan dan kesatuan bangsa juga ukhuwah islamiyyah kita,
jangan gadaikan keimanan kita hanya demi obsesi keduniawian, jangan gelapkan
mata kita untuk melihat kebenaran, sekecil apapun kebenaran itu, dan mari belajar
terus memperbaiki diri.
Dan tulisan sederhana ini penulis
tutup dengan do’a yang berdasarkan pada
salah satu hadist sebagai berikut:
Ya Allah, satukanlah hati-hati
kami, perbaikilah hubungan di antara sesama kami, tunjukkanlah kami kepada
jalan-jalan keselamatan, selamatkanlah kami dari kegelapan menuju cahaya,
jauhkanlah kami dari perbuatan-perbuatan keji
yang nampak maupun yang tersembunyi.
Ya Allah, berkahilah untuk kami
pendengaran-pendengaran kami, penglihatan-penglihatan kami, hati-hati kami,
istri-istri kami, dan anak keturunan kami! Ampunilah kami karena sesungguhnya
Engkau Maha Menerima Taubat lagi Maha Penyayang! Jadikanlah kami orang-orang
yang bersyukur atas nikmat-Mu, memujinya, menerimanya, dan sempurnakanlah
nikmat-Mu tersebut untuk kami.”
(HR. Abu Daud no. 969 dan
Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Awsath no. 5769, Al-Mu’jam al-Kabir no. 10426,
dan Ad-Du’a no. 1429 dan 1430. Al-Hafizh Nuruddin Ali bin Abi Bakr al-Haitsami
menyatakan sanadnya baik)
No comments:
Post a Comment