Wednesday, November 21, 2018

makalah korupsi


BAB I
PENDAHULUAN
I.A. Pembukaan
Korupsi bukanlah hal yang baru di negeri ini. Mulai dari rakyat kecil, kepala desa, wakil rakyat, pejabat Negara bahkan hingga tingkat yang lebih tinggi mengenal apa itu korupsi. Betapa tidak, korupsi telah menjadi santapan sehari hari mereka, walaupun “mungkin” tidak semuanya terlibat.
Korupsi belakangan ini telah menjadi hobi sebagian besar wakil rakyat. Para pejabat tinggi DPR banyak yang tersandung kasus Korupsi jutaan, ratusan juta, hingga milyaran rupiah. Itu bukanlah hal sepele bagi kita, apabila uang yang mereka korup-kan milik mereka sendiri, tapi kalau milik kita semua bangsa Indonesia, tentu hal itu telah menjadi sebuah kejahatan.
Korupsi yang biasanya menyeret sebagian besar anggota para wakil rakyat ini telah bermetamorfosa, dari hobbi menjadi suatu budaya yang turun temurun. Para wakil rakyat yang terbukti korup akan diganti oleh wakil rakyat yang lebih bisa dipercaya, walaupun tidak selamanya kita dipaksa percaya bahwa pengganti mereka adalah pengganti yang lebih baik, padahal korup juga. Disinilah korupsi telah menjadi hal yang membudaya.
Tidak adanya lembaga hukum yang berperan penting tentang kasus korupsi di Indonesia menyebabkan suburnya ladang korupsi bagi para koruptor. Mereka melakukan korupsi mulai dari APBD, Dana Pembangunan Infrastruktur, dan masih banyak lagi.
Tak banyak yang dapat kita lakukan dengan wabah ini. Yang perlu kita lakukan adalah dengan tidak sekalipun mencoba yang namanya korupsi, walaupun dengan jumlah yang sedikit. Kita juga tidak diharuskan hanya menonton wabah korupsi ini menyebar dan merenggut kepercayaan kita terhadap para wakil rakyat. Yang perlu kita lakukan adalah menunggu.
I.B. Tujuan Pembuatan Makalah
Makalah ini disusun dengan tujuan sebagai berikut:
1.      Memenuhi tugas ..........................
2.      Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penyusun.
I.C. Ruang Lingkup Bahasan
Adapun ruang lingkup bahasan pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Pengertian Korupsi
2.      Faktor Penyebab Korupsi
3.      Dampak dari korupsi
4.      Korupsi di Indonesia
5.      Hukum untuk koruptor
BAB II
PEMBAHASAN
II.A. Pengertian Korupsi
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Menurut Fockema Andreae, kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio = penyuapan atau corruptus (Webster Student Dictionary : 1960). Kata corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpore = merusak, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti dalam bahasa Inggris : corruption, corrupt ; Perancis : corruption dan Belanda : corruptie.
Dapat dikatakan bahwa dari bahasa Belanda inilah kata “korruptie” ini turun menjadi bahasa Indonesia yaitu korupsi. Arti harafiah dari kata korupsi adalah dapat berupa kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata – kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. (The Lexicon Webster Dictionary). Black’s Law Dictionary menyebutkan definisi korupsi sebagai berikut :
“Corruption : The act of doing something with an intent to give some advantage inconsistent wit an official duty and rigths of others ; a fiduciary’s or official’s use of station or office to procure some benefit either personally or for someone else, contrary to the rights of others”.
Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menyimpulkan bahwa korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Soedarsono menyimpulkan bahwa korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
Dari beberapa pengertian di atas baik secara etimologi maupun terminologi dapat ditarik kesimpulan.
1.      Korupsi dalam pengertian tindakan penghianatan terhadap kepercayaan.
2.      Korupsi dalam pengertian semua tindakan penyalahgunaan kekuasaaan, walaupun pelakunya tidak mendapatkan keuntungan material.
3.      Korupsi dalam pengertian semua bentuk tindakan penyalahgunaan dna bukan haknya.
Jadi, korupsi merupakan suatu tindakan penyalahnyaan wewenang, kekyasaan yang dapat merugikan dalam bidang ekonomi dan dapat merugikan d
II.B. Faktor Penyebab Korupsi.
Tindak korupsi pada dasarnya bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri.Perilaku korupsi menyangkut bebagai hal yang bersifat kompleks.Hampir semua segi kehidupan terjangkit korupsi.Apabila disederhanakan penyebab korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang datang dari diri pribadi,sedangkan faktor eksternal adalah faktor penyebab terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari luar.

Dengan demikian,secara garis besar penyebab korupsi dapat dikelompkkan menjadi dua yaitu :
A . Faktor Internal
1. Aspek perilaku individu
Sifat tamak/rakus manusia
Mempunyai hasrat besar untuk memperkaya diri dan unsur penyebab korupsi para pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri.
Moral yang kurang kuat
Yaitu orang-orang yang moralnya mudah lemah sehingga mudah tergoda untuk melakukan korupsi yang biasanya terpengaruh dari atasan,teman setingkat,bawahannya,atau pihak lain.
Gaya hidup yang konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar yang menimbulkan gaya hidup seorang konsumtif sehingga prilaku konsmtif bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai,maka hal seperti itu akan membuka peluang seseorang untuk melakukan tindakan korupsi.
2 . Aspek sosial
Yaitu perilaku korupsi yang dapat terjadi karena dorongan dari kerabat dekat atau keluarga.
B . Faktor Eksternal
1 . Aspek ekonomi
Yaitu pendapatan yang tidak mencukupi kebutuhan ekonomi, sehingga keterdesakan membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas dengan cara korupsi.
2 . Aspek politis
Menurut rahardjo (1983) bahwa kontrol sosial adalah suatu proses yang di lakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat.
3 . Aspek organisasi
Yaitu tidak berjalannya dengan baik suatu organisasi seperti organisasi masyarakat yang di bentuk,sehingga akan timbul kurang adanya sikap keteladan pimpinan,tidak adanya kultur organisasi,kurang memadainya sistem akuntabilitas,kelemahan sistim pengendalian manajemen,dan lemahnya suatu pengawasan.
Dari kesimpulan diatas, dapat disimpulkan bahwa kita sebagai bangsa indonesia marilah satukan langkah dan mari perangi korupsi dengan mengawali dari diri sendiri dan dengan harapan besar pada kejayaan Indonesia serta kesejahteraan bangsa yang ada didalamnya sehingga akan terbentuk suatu negara kesatuan yang bebas dari korupsi.
II.C. Dampak dari Korupsi
Korupsi memiliki pengaruh yang negatif bagi suau negara. Akibat dari tindak korupsi tersebut memiliki dampak yang sangat berpengaruh bagi negara. Berikut dampak dari korupsi.
Dampak Terhadap Ekonomi
Ekonomi berfunsi sebagai faktor terpenting bagi masyarakat. apabila korupsi sudah masuk pada perekonomian negara mana mungkin bisa makmur masyaraktnya jikalau semua proses ekonomi dijalankan oleh oknum yang korup. Hasil dari dampak korupsi terhadp ekonomi yakni:
·         Lambatnya Pertumbuhan ekonomi dan Investasi
·         Turunya Produktifitas
·         Rendahnya Kualitas Barang dan Jasa
·         Menurunnya Pendapatan Negara dari Sektor Pajak
·         Meningkatnya Hutang Negara
2. Dampak Sosial dan Kemiskinan Rakyat
     Dari dampak sosial dan Kmiskinan Rakyat akan menybabkan:
·         Mahalnya harga jasa dan pelayanan publik
·         Lambatnya pengentasan kemiskinan rakyat
·         Akses bagi masyarakat sangat terbatas
·         bertambahnya anka kriminalitas
3. Runtuhnya Otoritas Pemerintahan
    Penyebab dari runtuhnya otoritas pemerintahan yakni:
Matinya Etika Sosial Politik
Para wakil rakyat sudah tidak dapat dipercaya sebagai pelindung rakyat, karna mereka hanya memikirkan anak buah mereka jika salah satu dari mereka melakukan tindak korupsi dengan kekuatan politiknya mereka akan melakukan berbagai cara untuk menyelamatkannya.
Tidak Berlakunya Peraturan dan Perundng Undangan
Peraturan perundang undangan tidak lagi berlaku karna, kebanyakan para pejabat tinggi, pemegang kekuasaan atau hakim sering kali dijumpai bahwa mereka mudah sekali terbawa oleh hawa nafsu mereka. dan juga sering kali semua permasalahan selalu diselesaikan dengan korupsi.
 4. Dampak Terhadap Polittik dan Demokrasi
     Dari dampak terhadap politik dan demokrasi tersebut menghasilkan:
·         Munculnya kepemimpinan yang korup
·         Hilangnya kepercayaam publik pada demokrasi
·         Menguatnya system politik yang dikuasai oleh pemilik modal
·         Hancurnya kedaulatan rakyat.
5. Dampak Terhadap Penegak Hukum 
korupsii terhadap penegak hukum dapat melemahkan suatu pemerintahan. bahwasanya setiap pejabat atau pemegang kekusaan memiliki peran penting dalam membangun suatu negara, apabila pejabat sudah melalaikan kewajibannya maka yang akan terjadi yakni:
·         Fungsi pemerintahan tidak berjalan dengan baik
·         Masyarakat akan kehilangan kepercayaan kepada pemerintah
6. Dampak terhadap Pertahanan dan keamanan
    Dampak terhadap pertahanan dan keamanan mengakibatkan:
·         Lemahnya alusistra (senjata) dan SDM
·         Lemahnya garis batas negara
·         Menguatnya kekerasan dalam masyarakat
7. Dampak Terhadap Lingkungan
    Dampak korupsi terhadap lingkungan dapat menyebabkan:
·           Menurunya kualitas lingkungan
·           Menurunnya kualitas hidup
II.D. Korupsi di Indonesia
Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah. Keadaan ini bisa menyebabkan pemberantasan korupsi di Indonesia semakin ditingkatkan oleh pihak yang berwenang.
Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat
dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia. Sebenarnya pihak yang berwenang, seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah berusaha melakukan kerja maksimal. Tetapi antara kerja yang harus digarap jauh lebih banyak dibandingkan dengan tenaga dan waktu yang dimiliki KPK.
Penyelenggara Negara mempunyai peran penting dalam konstelasi ketatanegaraan. Hal ini tersirat dalam Amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan antara lain bahwa tujuan dibentuknya ”Pemerintah Negara Indonesia dan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”.
Dalam implementasinya, penyelenggaraan Negara tidak boleh menyimpang dari kaidah-kaidah yang digariskan. Namun demikian, dalam perkembangannya, pembangunan di berbagai bidang berimplikasi terhadap perilaku penyelenggara negara yang memunculkan rasa ketidakpercayaan masyarakat.
Stigma yang menganggap penyelenggara negara belum melaksanakan fungsi pelayanan publik berkembang sejalan dengan ”social issue” mewabahnya praktek-prakter korupsi sebagai dampak adanya pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab pada jabatan tertentu. Disamping itu masyarakat sendiri tidak sepenuhnya dilibatkan dalam Kegiatan Penyelenggaraan Negara sehingga eksistensi kontrol sosial tidak berfungsi secara efektif terhadap penyelenggara negara, terutama dalam hal akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, sehingga rentan sekali untuk menimbulkan penyimpangan dan korupsi.
Korupsi tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara negara, antar penyelenggara negara, tetapi juga melibatkan pihak lain seperti keluarga, kroni dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang dapat membahayakan eksistensi atass fungsi penyelenggaraan negara.
Antara 1951–1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel.
Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap.
Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan politik Sukarno.
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958 dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia. Upaya Jenderal AH Nasution mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan korupsi di tubuh TNI. Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini, namun kurang berhasil.
Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro saat itu, yang diduga terlibat dalam kasus korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima Diponegoro diganti oleh Letkol Pranoto, Kepala Staffnya. Proses hukum Suharto saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian mengirim Suharto ke Seskoad di Bandung. Kasus ini membuat DI Panjaitan menolak pencalonan Suharto menjadi ketua Senat Seskoad.
Setelah itu korupsi di Indonesia semakin menjamur danterus berkembang, terlebih pada masa pemerintahan orde baru, hingga Indonesia terjerumus dalam kondisi darurat kepercayaan publik atas kejujuran.
Sampai saat ini korupsi belum dapat dihapuskan dimuka bumi pertiwi ini, memalukan dan semakin membuat masyarakat semakin kecewa, seperti halnya kasus mega korupsi e-KTP, yang meibatkan puluhan pejabat negara dan pejabat tinggi negara.
Koruptor di Indonesia semakin berani dan semakin tebal muka, berbagai cara mereka lakukan untuk lolos dari jeratan hukum, dari mulai berpura-pura sakit, berpura-pura kecelakaan atau bahkan ada juga yang berpura-pura hilang ingatan, “negeri macam apa ini”.
Dari hari kehari dimedia masa selalu saja kita lihat berbagai kasus korupsi yang semakin merajalela, para koruptor berjalan angkuh dibumi pertiwi, berjalan menengadah dengan menegakkan dada selayaknya seorang pahlawan, sedangkan disekelilingnya banyak rakyat kelaparan, takmampu membeli makanan yang layak, tak mampu memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya, tak mampu membayar biaya rumah sakit hingga tak jarang banyak yang kehilangan nyawa karena di tolak oleh rumah sakit, semua itu karena apa? Karena “MISKIN” dan salah satu penyebab kemiskinan di Indonesia adalah karena
II.E. Hukum untuk koruptor
Dasar Hukum: UU 31 tahun 1999, UU 20 tahun 2001, Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:
·         Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi)
·         Komisi Pemberantasan Korupsi
·         Kepolisian
·         Kejaksaan
·         BPKP
            Di era reformasi, usaha usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh BJ. Habibie dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun ditengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Nasib serupa tetapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya komisi pemberantasan korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.
DASAR HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI
Pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan ketentuan-ketentuan berikut :
1.      Undang-Undang RI No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi
2.      Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN
3.      Undang-undang RI No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN)
4.      Undang-undang RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
5.      Peraturan Pemerintahan RI No. 71 tahun 2000 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
6.      Undang-undang Ri No, 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
7.      Undang-undang RI No. 15 tahun 2002 Tindak Pidana Pencucian Uang
8.      Undang-Undang RI No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
9.      Undang-undang RI No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Convention Against Corruption , 2003 (Konvensi Perserikatan PBB Anti Korupsi , 2003)
10.  Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
11.  Undang-undang RI No. 46 tahun 2004 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
12.  Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK
Upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi dilaksanakan melalui berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seperti tersebut diatas. Selain itu pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Upaya pencegahan praktek korupsi juga dilakukan di lingkungan aksekutif atau penyelenggara Negara, dimana masing-masing instansi memiliki internal Control Unit (Unit Pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa Inspektorat. Fungsi inspektorat mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansi masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara agar kegiatan pembangunan berjalan secara efektif,  efisien dan ekonomis sesuai sasaran. Disamping pengawasan internal, ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh instansi eskternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP).
LEMBAGA PEMBERANTAS KORUPSI
KPK dibentuk karena adanya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam pasal 43. KPK merupakan lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, serta lembaga yang mempunyai tujuan pencegahan atas tindak pidana korupsi.
-        Pasal 43
1)      Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2)      Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai  tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3)      Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas  unsur Pemerintah dan unsur masyarakat.
4)      Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggung jawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan komisi sebagaimana dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Undang-Undang.
Lembaga yang menangani perbuatan korupsi ada 2 :
1.      Formal (resmi), yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
a.       Tugas KPK :
·         Koordinasi dengan Instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
·         Supervisi terhadap Instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
·         Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi
·         Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi
·         Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah Negara
b.      Wewenang KPK :
·         Mengordinasi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi
·         Menetapkan system pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi
·         Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait
·         Melaksanakan dengan pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
·         Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
2.      Lembaga Non Formal (tidak resmi)
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)  juga ikut berperan dalam melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara Negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar mengawasi dan melaporkan praktek korupsi yang dilakukan penyelenggara negara antara lain adalah :
-        ICW
Indonesian Corruption Watch atau disingkat ICW adalah sebuah organisasi non-pemerintah (NGO) yang mempunyai misi untuk mengawasi dan melaporkan kepada publik mengenai aksi korupsi yang terjadi di Indonesia. ICW adalah lembaga nirlaba yang terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha-usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat/berpartisipasi aktif melakukan perlawanan terhadap praktik korupsi.
-        GOWA (Government Watch)
-        MTI ( Masyarakat Transparansi Indonesia)
Upaya Penanggulangan Kejahatan (Korupsi) dengan Hukum Pidana
Kebijakan penanggulanagn kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah politik kriminal (criminal politics) oleh G. Peter Hoefnagels dibedakan sebagai berikut (Arief, 2008):
a)      Kebijakan penerapan hukum pidana (criminal law application)
b)      Kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention without punishment)
c)      Kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media) ataupun melalui media lainnya seperti penyuluhan dan pendidikan.
Melihat perbedaan tersebut, secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dapat dibagi menjadi dua yaitu jalur penal (menggunakan hukum pidana) dan jalur non-penal (diselesaikan di luar hukum pidana dan sarana-sarana non-penal). Secara kasar menurut Arief upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive (penumpasan/penindasan/pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi. Sedangkan jalur non-penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan). Dikatakan secara kasar, karena tindakan represif juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.
Sifat preventif memang bukan menjadi fokus kerja aparat penegak hukum. Namun untuk pencegahan korupsi sifat ini dapat ditemui dalam salah satu tugas dari KPK yang memiliki Deputi Bidang Pencegahan yang di dalamnya terdapat Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat.
Salah satu amanat dari UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor adalah pembentukan pengadilan tipikor di setiap ibukota provinsi. Terkait dengan usaha menjalankan amanat UU tersebut, KPK, Polri, serta Kejaksaan Agung berencana menyusun nota kesepahaman (Memorandum of Understanding). Intinya adalah kerja sama dalam pengelolaan penanganan perkara korupsi di pengadilan tipikor. Seperti apa yang disampaikan oleh wakil ketua KPK Busyro Muqoddas, “Akan dilakukan koordinasi antara Polri, MA, Kejaksaan, KPK dan Kemenkumham berkaitan dengan pembentukan pengadilan tipikor di daerah,” kata Ketua KPK Busyro Muqoddas usai pertemuan dengan Kapolri dan Jaksa Agung di Gedung KPK Jakarta, Dalam pertemuan tersebut, lanjut Busyro, terjadi kesepakatan antara aparat penegak hukum untuk meningkatkan kualitas dan percepatan kerjasama dalam menegakkan hukum. Maka itu, MoU lanjutan untuk menentukan mekanismenya secara rinci akan segera dilakukan. “Pengadilan Tipikor ini agenda bersama yang dalam prakteknya perlu ada sistem yang dikembangkan secara terperinci,” ujarnya. Sambutan hangat mengenai MoU ini juga datang dari Jaksa Agung Basrief Arief. Menurutnya, salah satu poin yang penting mengenai pengawasan, pengawalan terdakwa ke pengadilan atau ke rumah tahanan negara, penghadapan saksi dan pembawaan barang bukti. Semua ini harus dilakukan secara baik sehingga tak terjadi hal-hal tidak yang diinginkan. “Yang menjadi pembicaraan kita bagaimana peradilan ini bisa berjalan lancar sehingga tak ada hal yang mengganggu,” katanya. Sesuai amanat UU Pengadilan TIpikor, kata Basrief, harus dibentuk sebanyak 33 pengadilan tipikor yang tersebar di seluruh Indonesia. Rencana ini bukan hal gampang. Maka itu, pembicaraan dengan MA menjadi keharusan karena menyangkut dengan anggaran dalam pembentukan pengadilan tipikor. “Ini pertemuan harus diperluas dengan Ketua MA dan Menkumham.”


BAB III
PENUTUP
III.A. Kesimpulan
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak, prilaku ini jelas merugikan.
Tindak korupsi pada dasarnya bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri.Perilaku korupsi menyangkut bebagai hal yang bersifat kompleks.Hampir semua segi kehidupan terjangkit korupsi.Apabila disederhanakan penyebab korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang datang dari diri pribadi,sedangkan faktor eksternal adalah faktor penyebab terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari luar.
III.B. Saran
Dengan semakin menjamurnya tindak korupsi, maka pemerintah seharusnya semakin memperkuat peran Komisi Pemberantasn Korupsi agar lebih kuat dan kokoh, serta lepas dari segala interpensi.
Untuk kita sebagai generasi penerus bangsa, belajar dari sejarah akan jauh lebih baik, kita bisa belajar dari sejarah hancurnya suatu negara karena prilaku korup para pejabat negaranya, dan kita bisa rasakan efek dari prilaku korupsi di negeri kita ini pada saat sekarang, oleh karena itu kita harus putuskan mata rantai korupsi sejak saat ini, jauhkan diri kita dari bibit-bibit prilaku korupsi, dimulai dari hal yang paling kecil, dimulai dari diri sendiri dan dimulai saat ini.




No comments:

Post a Comment

POSTER PLANTAE