BAB I
PENDAHULUAN
I.A. Pembukaan
Korupsi
bukanlah hal yang baru di negeri ini. Mulai dari rakyat kecil, kepala desa,
wakil rakyat, pejabat Negara bahkan hingga tingkat yang lebih tinggi mengenal
apa itu korupsi. Betapa tidak, korupsi telah menjadi santapan sehari hari
mereka, walaupun “mungkin” tidak semuanya terlibat.
Korupsi
belakangan ini telah menjadi hobi sebagian besar wakil rakyat. Para pejabat
tinggi DPR banyak yang tersandung kasus Korupsi jutaan, ratusan juta, hingga
milyaran rupiah. Itu bukanlah hal sepele bagi kita, apabila uang yang mereka
korup-kan milik mereka sendiri, tapi kalau milik kita semua bangsa Indonesia,
tentu hal itu telah menjadi sebuah kejahatan.
Korupsi
yang biasanya menyeret sebagian besar anggota para wakil rakyat ini telah
bermetamorfosa, dari hobbi menjadi suatu budaya yang turun temurun. Para wakil
rakyat yang terbukti korup akan diganti oleh wakil rakyat yang lebih bisa
dipercaya, walaupun tidak selamanya kita dipaksa percaya bahwa pengganti mereka
adalah pengganti yang lebih baik, padahal korup juga. Disinilah korupsi telah
menjadi hal yang membudaya.
Tidak
adanya lembaga hukum yang berperan penting tentang kasus korupsi di Indonesia
menyebabkan suburnya ladang korupsi bagi para koruptor. Mereka melakukan
korupsi mulai dari APBD, Dana Pembangunan Infrastruktur, dan masih banyak lagi.
Tak
banyak yang dapat kita lakukan dengan wabah ini. Yang perlu kita lakukan adalah
dengan tidak sekalipun mencoba yang namanya korupsi, walaupun dengan jumlah
yang sedikit. Kita juga tidak diharuskan hanya menonton wabah korupsi ini
menyebar dan merenggut kepercayaan kita terhadap para wakil rakyat. Yang perlu
kita lakukan adalah menunggu.
I.B. Tujuan Pembuatan Makalah
Makalah
ini disusun dengan tujuan sebagai berikut:
1. Memenuhi
tugas ..........................
2. Menambah
wawasan dan pengetahuan bagi penyusun.
I.C. Ruang Lingkup Bahasan
Adapun
ruang lingkup bahasan pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Pengertian
Korupsi
2. Faktor
Penyebab Korupsi
3. Dampak
dari korupsi
4. Korupsi
di Indonesia
5. Hukum
untuk koruptor
BAB II
PEMBAHASAN
II.A. Pengertian Korupsi
Korupsi
atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat
publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat
dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan
kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan
sepihak.
Dalam
arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan
korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling
ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima
pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik
ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para
pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi
yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,
terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal
seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu
sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini
dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan
kejahatan.
Tergantung
dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap
korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di
satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Menurut
Fockema Andreae, kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio = penyuapan
atau corruptus (Webster Student Dictionary : 1960). Kata corruptio itu berasal
pula dari kata asal corrumpore = merusak, suatu kata latin yang lebih tua. Dari
bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti dalam bahasa Inggris :
corruption, corrupt ; Perancis : corruption dan Belanda : corruptie.
Dapat
dikatakan bahwa dari bahasa Belanda inilah kata “korruptie” ini turun menjadi
bahasa Indonesia yaitu korupsi. Arti harafiah dari kata korupsi adalah dapat
berupa kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata – kata atau ucapan yang menghina
atau memfitnah. (The Lexicon Webster Dictionary). Black’s Law Dictionary
menyebutkan definisi korupsi sebagai berikut :
“Corruption
: The act of doing something with an intent to give some advantage inconsistent
wit an official duty and rigths of others ; a fiduciary’s or official’s use of
station or office to procure some benefit either personally or for someone
else, contrary to the rights of others”.
Poerwadarminta
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menyimpulkan bahwa korupsi ialah perbuatan
yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Soedarsono menyimpulkan bahwa korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan
uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk kepentingan
pribadi atau orang lain.
Dari
beberapa pengertian di atas baik secara etimologi maupun terminologi dapat
ditarik kesimpulan.
1. Korupsi
dalam pengertian tindakan penghianatan terhadap kepercayaan.
2. Korupsi
dalam pengertian semua tindakan penyalahgunaan kekuasaaan, walaupun pelakunya
tidak mendapatkan keuntungan material.
3. Korupsi
dalam pengertian semua bentuk tindakan penyalahgunaan dna bukan haknya.
Jadi,
korupsi merupakan suatu tindakan penyalahnyaan wewenang, kekyasaan yang dapat
merugikan dalam bidang ekonomi dan dapat merugikan d
II.B. Faktor Penyebab Korupsi.
Tindak
korupsi pada dasarnya bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri.Perilaku korupsi
menyangkut bebagai hal yang bersifat kompleks.Hampir semua segi kehidupan
terjangkit korupsi.Apabila disederhanakan penyebab korupsi meliputi dua faktor
yaitu faktor internal dan faktor eksternal.Faktor internal merupakan penyebab
korupsi yang datang dari diri pribadi,sedangkan faktor eksternal adalah faktor
penyebab terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari luar.
Dengan
demikian,secara garis besar penyebab korupsi dapat dikelompkkan menjadi dua
yaitu :
A
. Faktor Internal
1.
Aspek perilaku individu
Sifat
tamak/rakus manusia
Mempunyai
hasrat besar untuk memperkaya diri dan unsur penyebab korupsi para pelaku
semacam itu datang dari dalam diri sendiri.
Moral
yang kurang kuat
Yaitu
orang-orang yang moralnya mudah lemah sehingga mudah tergoda untuk melakukan
korupsi yang biasanya terpengaruh dari atasan,teman setingkat,bawahannya,atau
pihak lain.
Gaya
hidup yang konsumtif
Kehidupan
di kota-kota besar yang menimbulkan gaya hidup seorang konsumtif sehingga
prilaku konsmtif bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai,maka hal
seperti itu akan membuka peluang seseorang untuk melakukan tindakan korupsi.
2
. Aspek sosial
Yaitu
perilaku korupsi yang dapat terjadi karena dorongan dari kerabat dekat atau
keluarga.
B
. Faktor Eksternal
1
. Aspek ekonomi
Yaitu
pendapatan yang tidak mencukupi kebutuhan ekonomi, sehingga keterdesakan
membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas dengan cara korupsi.
2
. Aspek politis
Menurut
rahardjo (1983) bahwa kontrol sosial adalah suatu proses yang di lakukan untuk
mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat.
3
. Aspek organisasi
Yaitu
tidak berjalannya dengan baik suatu organisasi seperti organisasi masyarakat
yang di bentuk,sehingga akan timbul kurang adanya sikap keteladan
pimpinan,tidak adanya kultur organisasi,kurang memadainya sistem
akuntabilitas,kelemahan sistim pengendalian manajemen,dan lemahnya suatu
pengawasan.
Dari
kesimpulan diatas, dapat disimpulkan bahwa kita sebagai bangsa indonesia
marilah satukan langkah dan mari perangi korupsi dengan mengawali dari diri
sendiri dan dengan harapan besar pada kejayaan Indonesia serta kesejahteraan
bangsa yang ada didalamnya sehingga akan terbentuk suatu negara kesatuan yang
bebas dari korupsi.
II.C. Dampak dari Korupsi
Korupsi
memiliki pengaruh yang negatif bagi suau negara. Akibat dari tindak korupsi
tersebut memiliki dampak yang sangat berpengaruh bagi negara. Berikut dampak
dari korupsi.
Dampak
Terhadap Ekonomi
Ekonomi
berfunsi sebagai faktor terpenting bagi masyarakat. apabila korupsi sudah masuk
pada perekonomian negara mana mungkin bisa makmur masyaraktnya jikalau semua
proses ekonomi dijalankan oleh oknum yang korup. Hasil dari dampak korupsi
terhadp ekonomi yakni:
·
Lambatnya Pertumbuhan ekonomi dan
Investasi
·
Turunya Produktifitas
·
Rendahnya Kualitas Barang dan Jasa
·
Menurunnya Pendapatan Negara dari Sektor
Pajak
·
Meningkatnya Hutang Negara
2.
Dampak Sosial dan Kemiskinan Rakyat
Dari dampak sosial dan Kmiskinan Rakyat
akan menybabkan:
·
Mahalnya harga jasa dan pelayanan publik
·
Lambatnya pengentasan kemiskinan rakyat
·
Akses bagi masyarakat sangat terbatas
·
bertambahnya anka kriminalitas
3.
Runtuhnya Otoritas Pemerintahan
Penyebab dari runtuhnya otoritas
pemerintahan yakni:
Matinya
Etika Sosial Politik
Para
wakil rakyat sudah tidak dapat dipercaya sebagai pelindung rakyat, karna mereka
hanya memikirkan anak buah mereka jika salah satu dari mereka melakukan tindak
korupsi dengan kekuatan politiknya mereka akan melakukan berbagai cara untuk
menyelamatkannya.
Tidak
Berlakunya Peraturan dan Perundng Undangan
Peraturan
perundang undangan tidak lagi berlaku karna, kebanyakan para pejabat tinggi,
pemegang kekuasaan atau hakim sering kali dijumpai bahwa mereka mudah sekali
terbawa oleh hawa nafsu mereka. dan juga sering kali semua permasalahan selalu
diselesaikan dengan korupsi.
4. Dampak Terhadap Polittik dan Demokrasi
Dari dampak terhadap politik dan demokrasi
tersebut menghasilkan:
·
Munculnya kepemimpinan yang korup
·
Hilangnya kepercayaam publik pada
demokrasi
·
Menguatnya system politik yang dikuasai
oleh pemilik modal
·
Hancurnya kedaulatan rakyat.
5.
Dampak Terhadap Penegak Hukum
korupsii
terhadap penegak hukum dapat melemahkan suatu pemerintahan. bahwasanya setiap
pejabat atau pemegang kekusaan memiliki peran penting dalam membangun suatu
negara, apabila pejabat sudah melalaikan kewajibannya maka yang akan terjadi
yakni:
·
Fungsi pemerintahan tidak berjalan
dengan baik
·
Masyarakat akan kehilangan kepercayaan
kepada pemerintah
6.
Dampak terhadap Pertahanan dan keamanan
Dampak terhadap pertahanan dan keamanan
mengakibatkan:
·
Lemahnya alusistra (senjata) dan SDM
·
Lemahnya garis batas negara
·
Menguatnya kekerasan dalam masyarakat
7.
Dampak Terhadap Lingkungan
Dampak korupsi terhadap lingkungan dapat
menyebabkan:
·
Menurunya kualitas lingkungan
·
Menurunnya kualitas hidup
II.D. Korupsi di Indonesia
Korupsi
di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi
merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam
seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu
menempati posisi paling rendah. Keadaan ini bisa menyebabkan pemberantasan
korupsi di Indonesia semakin ditingkatkan oleh pihak yang berwenang.
Perkembangan
korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga
kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat
peringkat
dalam
perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan
dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia. Sebenarnya pihak yang berwenang,
seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah berusaha melakukan kerja
maksimal. Tetapi antara kerja yang harus digarap jauh lebih banyak dibandingkan
dengan tenaga dan waktu yang dimiliki KPK.
Penyelenggara
Negara mempunyai peran penting dalam konstelasi ketatanegaraan. Hal ini
tersirat dalam Amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan antara
lain bahwa tujuan dibentuknya ”Pemerintah Negara Indonesia dan yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”.
Dalam
implementasinya, penyelenggaraan Negara tidak boleh menyimpang dari
kaidah-kaidah yang digariskan. Namun demikian, dalam perkembangannya,
pembangunan di berbagai bidang berimplikasi terhadap perilaku penyelenggara
negara yang memunculkan rasa ketidakpercayaan masyarakat.
Stigma
yang menganggap penyelenggara negara belum melaksanakan fungsi pelayanan publik
berkembang sejalan dengan ”social issue” mewabahnya praktek-prakter korupsi sebagai
dampak adanya pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab pada jabatan
tertentu. Disamping itu masyarakat sendiri tidak sepenuhnya dilibatkan dalam
Kegiatan Penyelenggaraan Negara sehingga eksistensi kontrol sosial tidak
berfungsi secara efektif terhadap penyelenggara negara, terutama dalam hal
akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, sehingga rentan sekali untuk
menimbulkan penyimpangan dan korupsi.
Korupsi
tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara negara, antar penyelenggara negara,
tetapi juga melibatkan pihak lain seperti keluarga, kroni dan para pengusaha,
sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
yang dapat membahayakan eksistensi atass fungsi penyelenggaraan negara.
Antara
1951–1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti Indonesia Raya
yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan
Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel.
Kasus
14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang
pertama di Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali Sastroamidjoyo, Ruslan
Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer.
Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada
Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam
kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet
sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de
Queljoe berhasil ditangkap.
Mochtar
Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena dianggap
sebagai lawan politik Sukarno.
Nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958 dipandang
sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia. Upaya Jenderal AH
Nasution mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaan-perusahaan hasil
nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan korupsi di
tubuh TNI. Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada
masa ini, namun kurang berhasil.
Kolonel
Soeharto, panglima Diponegoro saat itu, yang diduga terlibat dalam kasus
korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo
dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima Diponegoro
diganti oleh Letkol Pranoto, Kepala Staffnya. Proses hukum Suharto saat itu
dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian mengirim Suharto ke Seskoad
di Bandung. Kasus ini membuat DI Panjaitan menolak pencalonan Suharto menjadi
ketua Senat Seskoad.
Setelah
itu korupsi di Indonesia semakin menjamur danterus berkembang, terlebih pada
masa pemerintahan orde baru, hingga Indonesia terjerumus dalam kondisi darurat
kepercayaan publik atas kejujuran.
Sampai
saat ini korupsi belum dapat dihapuskan dimuka bumi pertiwi ini, memalukan dan
semakin membuat masyarakat semakin kecewa, seperti halnya kasus mega korupsi
e-KTP, yang meibatkan puluhan pejabat negara dan pejabat tinggi negara.
Koruptor
di Indonesia semakin berani dan semakin tebal muka, berbagai cara mereka lakukan
untuk lolos dari jeratan hukum, dari mulai berpura-pura sakit, berpura-pura
kecelakaan atau bahkan ada juga yang berpura-pura hilang ingatan, “negeri macam
apa ini”.
Dari
hari kehari dimedia masa selalu saja kita lihat berbagai kasus korupsi yang
semakin merajalela, para koruptor berjalan angkuh dibumi pertiwi, berjalan
menengadah dengan menegakkan dada selayaknya seorang pahlawan, sedangkan
disekelilingnya banyak rakyat kelaparan, takmampu membeli makanan yang layak,
tak mampu memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya, tak mampu
membayar biaya rumah sakit hingga tak jarang banyak yang kehilangan nyawa
karena di tolak oleh rumah sakit, semua itu karena apa? Karena “MISKIN” dan
salah satu penyebab kemiskinan di Indonesia adalah karena
II.E. Hukum untuk koruptor
Dasar
Hukum: UU 31 tahun 1999, UU 20 tahun 2001, Pemberantasan korupsi di Indonesia
saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:
·
Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi)
·
Komisi Pemberantasan Korupsi
·
Kepolisian
·
Kejaksaan
·
BPKP
Di era reformasi, usaha usaha
pemberantasan korupsi dimulai oleh BJ. Habibie dengan mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Berikut pembentukan berbagai
komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara
(KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid,
membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun ditengah semangat menggebu-gebu
untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah
Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Nasib serupa tetapi tak sama dialami oleh
KPKPN, dengan dibentuknya komisi pemberantasan korupsi, tugas KPKPN melebur
masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah
lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.
DASAR HUKUM
PEMBERANTASAN KORUPSI
Pemberantasan tindak
pidana korupsi berdasarkan ketentuan-ketentuan berikut :
1.
Undang-Undang RI No. 3 tahun 1971 tentang
Pemberantasan Korupsi
2.
Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN
3.
Undang-undang RI No. 28 tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi Kolusi dan
Nepotisme (KKN)
4.
Undang-undang RI No. 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
5.
Peraturan Pemerintahan RI No. 71 tahun
2000 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian
penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
6.
Undang-undang Ri No, 20 tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-undang RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
7.
Undang-undang RI No. 15 tahun 2002
Tindak Pidana Pencucian Uang
8.
Undang-Undang RI No. 30 tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
9.
Undang-undang RI No. 7 tahun 2006
tentang Pengesahan United Convention Against Corruption , 2003 (Konvensi
Perserikatan PBB Anti Korupsi , 2003)
10.
Instruksi Presiden Republik Indonesia
No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
11.
Undang-undang RI No. 46 tahun 2004
tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
12.
Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2005
tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK
Upaya pemerintah dalam
pemberantasan korupsi dilaksanakan melalui berbagai kebijakan berupa peraturan
perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai
dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seperti
tersebut diatas. Selain itu pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan
langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti
Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)
Upaya pencegahan
praktek korupsi juga dilakukan di lingkungan aksekutif atau penyelenggara
Negara, dimana masing-masing instansi memiliki internal Control Unit (Unit
Pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa Inspektorat. Fungsi
inspektorat mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di
instansi masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara agar kegiatan
pembangunan berjalan secara efektif,
efisien dan ekonomis sesuai sasaran. Disamping pengawasan internal, ada
juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh
instansi eskternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas
Keuangan Pembangunan (BPKP).
LEMBAGA PEMBERANTAS
KORUPSI
KPK dibentuk karena
adanya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi sebagaimana dalam pasal 43. KPK merupakan lembaga negara yang dibentuk
dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, serta lembaga
yang mempunyai tujuan pencegahan atas tindak pidana korupsi.
- Pasal 43
1)
Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun
sejak Undang-Undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
2)
Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) mempunyai tugas dan wewenang
melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3)
Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) terdiri atas unsur
Pemerintah dan unsur masyarakat.
4)
Ketentuan mengenai pembentukan, susunan
organisasi, tata kerja, pertanggung jawaban, tugas dan wewenang, serta
keanggotaan komisi sebagaimana dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
dengan Undang-Undang.
Lembaga yang menangani
perbuatan korupsi ada 2 :
1. Formal (resmi), yaitu Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)
a. Tugas KPK :
·
Koordinasi dengan Instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
·
Supervisi terhadap Instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
·
Melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana korupsi
·
Melakukan tindakan-tindakan pencegahan
tindak pidana korupsi
·
Melakukan monitor terhadap
penyelenggaraan pemerintah Negara
b. Wewenang KPK :
·
Mengordinasi penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan tindak pidana korupsi
·
Menetapkan system pelaporan dalam
kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi
·
Meminta informasi tentang kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait
·
Melaksanakan dengan pendapat atau
pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi
·
Meminta laporan instansi terkait
mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
2. Lembaga Non Formal (tidak resmi)
Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) juga ikut berperan dalam melakukan
pengawasan kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi yang dilakukan
oleh penyelenggara Negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar mengawasi dan
melaporkan praktek korupsi yang dilakukan penyelenggara negara antara lain
adalah :
- ICW
Indonesian Corruption
Watch atau disingkat ICW adalah sebuah organisasi non-pemerintah (NGO) yang
mempunyai misi untuk mengawasi dan melaporkan kepada publik mengenai aksi
korupsi yang terjadi di Indonesia. ICW adalah lembaga nirlaba yang terdiri dari
sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui
usaha-usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat/berpartisipasi aktif melakukan
perlawanan terhadap praktik korupsi.
- GOWA (Government Watch)
- MTI ( Masyarakat Transparansi
Indonesia)
Upaya Penanggulangan
Kejahatan (Korupsi) dengan Hukum Pidana
Kebijakan
penanggulanagn kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah politik
kriminal (criminal politics) oleh G. Peter Hoefnagels dibedakan sebagai berikut
(Arief, 2008):
a)
Kebijakan penerapan hukum pidana
(criminal law application)
b)
Kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana
(prevention without punishment)
c)
Kebijakan untuk mempengaruhi pandangan
masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing
views of society on crime and punishment/mass media) ataupun melalui media
lainnya seperti penyuluhan dan pendidikan.
Melihat perbedaan
tersebut, secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dapat dibagi
menjadi dua yaitu jalur penal (menggunakan hukum pidana) dan jalur non-penal
(diselesaikan di luar hukum pidana dan sarana-sarana non-penal). Secara kasar
menurut Arief upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal lebih
menitikberatkan pada sifat repressive (penumpasan/penindasan/pemberantasan)
sesudah kejahatan terjadi. Sedangkan jalur non-penal lebih menitikberatkan pada
sifat preventif (pencegahan). Dikatakan secara kasar, karena tindakan represif
juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.
Sifat preventif memang
bukan menjadi fokus kerja aparat penegak hukum. Namun untuk pencegahan korupsi
sifat ini dapat ditemui dalam salah satu tugas dari KPK yang memiliki Deputi
Bidang Pencegahan yang di dalamnya terdapat Direktorat Pendidikan dan Pelayanan
Masyarakat.
Salah satu amanat dari
UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor adalah pembentukan pengadilan
tipikor di setiap ibukota provinsi. Terkait dengan usaha menjalankan amanat UU
tersebut, KPK, Polri, serta Kejaksaan Agung berencana menyusun nota kesepahaman
(Memorandum of Understanding). Intinya adalah kerja sama dalam pengelolaan
penanganan perkara korupsi di pengadilan tipikor. Seperti apa yang disampaikan
oleh wakil ketua KPK Busyro Muqoddas, “Akan dilakukan koordinasi antara Polri,
MA, Kejaksaan, KPK dan Kemenkumham berkaitan dengan pembentukan pengadilan
tipikor di daerah,” kata Ketua KPK Busyro Muqoddas usai pertemuan dengan
Kapolri dan Jaksa Agung di Gedung KPK Jakarta, Dalam pertemuan tersebut, lanjut
Busyro, terjadi kesepakatan antara aparat penegak hukum untuk meningkatkan
kualitas dan percepatan kerjasama dalam menegakkan hukum. Maka itu, MoU
lanjutan untuk menentukan mekanismenya secara rinci akan segera dilakukan.
“Pengadilan Tipikor ini agenda bersama yang dalam prakteknya perlu ada sistem
yang dikembangkan secara terperinci,” ujarnya. Sambutan hangat mengenai MoU ini
juga datang dari Jaksa Agung Basrief Arief. Menurutnya, salah satu poin yang
penting mengenai pengawasan, pengawalan terdakwa ke pengadilan atau ke rumah
tahanan negara, penghadapan saksi dan pembawaan barang bukti. Semua ini harus
dilakukan secara baik sehingga tak terjadi hal-hal tidak yang diinginkan. “Yang
menjadi pembicaraan kita bagaimana peradilan ini bisa berjalan lancar sehingga
tak ada hal yang mengganggu,” katanya. Sesuai amanat UU Pengadilan TIpikor,
kata Basrief, harus dibentuk sebanyak 33 pengadilan tipikor yang tersebar di
seluruh Indonesia. Rencana ini bukan hal gampang. Maka itu, pembicaraan dengan
MA menjadi keharusan karena menyangkut dengan anggaran dalam pembentukan
pengadilan tipikor. “Ini pertemuan harus diperluas dengan Ketua MA dan
Menkumham.”
BAB
III
PENUTUP
III.A. Kesimpulan
Korupsi
atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat
publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat
dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan
kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan
sepihak, prilaku ini jelas merugikan.
Tindak
korupsi pada dasarnya bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri.Perilaku korupsi
menyangkut bebagai hal yang bersifat kompleks.Hampir semua segi kehidupan
terjangkit korupsi.Apabila disederhanakan penyebab korupsi meliputi dua faktor
yaitu faktor internal dan faktor eksternal.Faktor internal merupakan penyebab
korupsi yang datang dari diri pribadi,sedangkan faktor eksternal adalah faktor
penyebab terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari luar.
III.B. Saran
Dengan
semakin menjamurnya tindak korupsi, maka pemerintah seharusnya semakin
memperkuat peran Komisi Pemberantasn Korupsi agar lebih kuat dan kokoh, serta
lepas dari segala interpensi.
Untuk
kita sebagai generasi penerus bangsa, belajar dari sejarah akan jauh lebih
baik, kita bisa belajar dari sejarah hancurnya suatu negara karena prilaku
korup para pejabat negaranya, dan kita bisa rasakan efek dari prilaku korupsi
di negeri kita ini pada saat sekarang, oleh karena itu kita harus putuskan mata
rantai korupsi sejak saat ini, jauhkan diri kita dari bibit-bibit prilaku
korupsi, dimulai dari hal yang paling kecil, dimulai dari diri sendiri dan
dimulai saat ini.
No comments:
Post a Comment