DAMPAK KOLONIALISME
Kolonialisme
merupakan bentuk penjajahan yang dilakukan oleh negara-negara atau
bangsa-bangsa besar terhadap negara-negara atau bangsa-bangsa yang memiliki
kekuatan lebih kecil, bangsa Indonesia yang berabad-abad menjadi negara jajahan
dalam sejarahnya terus berusaha dan berjuang untuk lepas dari penjajahan
tersebut.
Ketika
bangsa Belanda berkuasa di Indonesia, sejak berdirinya VOC tahun 1602, kondisi
bangsa Indonesia yang berkaitan dengan pendidikan, ilmu pengetahuan, persatuan
dan kesatuan, serta jiwa nasionalisme masih relatif rendah. Fenomena tersebut
ditandai dengan mudahnya bangsa Indonesia untuk dihasut dan diadu domba antar
rakyat Indonesia sendiri. Contoh: suatu pertikaian antarkerajaan akibat dihasut
oleh kolonial Belanda hingga timbul perselisihan, perang saudara, pecahnya
persatuan, dan pada akhirnya dapat dikuasai atau dijajah Belanda.
Kekuasaan
kolonial Belanda atas bangsa Indonesia yang berlangsung sangat lama telah
membawa akibat buruk bagi rakyat Indonesia di berbagai segi kehidupan, seperti
di bidang ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan.
Berbagai
usaha bangsa Indonesia untuk lepas dari segala jenis penjajahan terus dilakukan
hingga lahirlah pergerakan nasional yang digagas oleh tokoh-tokoh bangsa, dan
para pemudapun bergerak demi kemerdekaan bangsa ini salahsatunya adalah dengan
lahirnya sumpah pemuda sebagai salah satu bukti semangat persatuan dan kesatuan
para pemuda Indonesia.
II.A.
Dampak politk, budaya, sosial, ekonomi,
dan pendidikan pada masa penjajahan bangsa eropa.
Kolonialisme
dan Imperialisme Barat di Indonesia pada hakikatnya merupakan bentuk penjajahan
dan eksploitasi terhadap sumber daya alam yang dimiliki oleh tanah air kita
yaitu Indonesia. Negara – Negara Barat yang pernah menjajah Indonesia yaitu :
·
Portugis
·
Inggris
·
Spanyol
·
Belanda
Tujuan
mereka pada awalnya hanya untuk mencari rempah – rempah. Namun, seiring
berjalannya waktu mereka mulai melakukan Kolonialisme dan Imperialisme ke
daerah – daerah yang kaya akan rempah – rempah untuk kepentingan Negaranya
sendiri.
Pada
abad ke – 18, Belanda hampir menguasai daerah – daerah yg ada di Indonesia, hal
ini jelas menguntungkan pihak Belanda karna mereka mengambil sumber daya alam
yang orang pribumi miliki dengan cara yg kejam.
Mereka
menggunakan tak – tik terjitunya yaitu Politik adu domba atau Devide et Impera,
untuk memperoleh Kekuasaan yang lebih luas. Kehidupan dibawah penjajahan bangsa
Barat memiliki dampak Positif dan Negatif.
Namun,
pada kenyataannya Dampak Negatif lebih
dominan dari pada Dampak Positifnya. Berikut dampak yg ditimbulkan oleh para
penjajahan bangsa Barat, khususnya Belanda baik dari segi Politik, Sosial,
Ekonomi, maupun Pendidikan.
Dampak di bidang
Politik
Kuatnya
pengaruh dibidang politik, Pemerintah Kolonial Belanda tidak sekedar
memengaruhi jalannya Pemerintahan Pribumi/Kekuasaan Kerajaan – Kerajaan yang
ada di Indonesia. akan tetapi, juga dapat mengambil wilayah kekuasaan Kerajaan,
dan tidak sedikit wilayah – wilayah kekuasaan Kerajaan yg ada di Indonesia
diambil alih oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Wilayah kekuasaan yang diduduki
oleh Kerajaan terus dipersempit, bahkan ada kerajaan yg hancur lebur akibat
ulah para Kolonial Belanda.
Berikut
adalah pengaruh kolonialisme terhadap pemerintahan kerajaan :
·
Pemerintah kolonial ikut campur tangan
dalam pemerintahan Kerajaan.
·
Kedudukan raja terikat oleh struktur
pemerintahan kolonial.
·
Pemerintahan dibentuk dengan sistem
sentralisasi yang pusatnya di Batavia (sekarang Jakarta).
Selain
pemerintahan kerajaan, rakyat pribumi pun terkena dampak tersebut. Keberadaan
rakyat Indonesia pada masa itu dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Situasi
sebelum dijalankannya politik etis, dan
2. Situasi
sesudah dijalankannya politik etis.
Situasi
sebelum dijalankannya politik etis, kehidupan masyarakat terdiri atas tiga
golongan, yaitu :
·
Masyarakat kalangan bawah, yaitu
meliputi : kaum buruh, pedagang, petukang, dan pekerja rendah lainnya.
·
Masyarakat kalangan menengah, yaitu
meliputi : petani yang memiliki tanah dan para pegawai pemerintahan kolonial
Belanda.
·
Masyarakat kalangan atas, yaitu meliputi
: Pemuka agama dan para Bangsawan.
Sedangkan
keberadaan setelah dijalankannya politik etis, keberadaan masyarakat Indonesia
ditandai dengan adanya kalangan – kalangan pelajar.
Sistem
politk Adu Domba (Devide et Impera) yang digunakan pemerintah kolonial Belanda
mampu memperlemah, memperdaya bangsa Indonesia, dan bahkan dapat menghapus
kekuasaan pribumi. Beberapa kerajaan besar yang berkuasa di berbagai daerah di
Indonesia satu demi satu dapat dikuasai oleh Belanda.
Kedudukan para bupati dianggap sebagai
pegawai negeri yang digaji oleh pemerintah kolonial Belanda. Kewibawaan para
bupati telah jatuh di mata rakyat Indonesia, bahkan jabatan para bupati
dimanfaatkan untuk menekan dan memeras rakyat Indonesia. Perilaku para penguasa
pribumi selalu diawasi secara ketat sehingga mereka sulit untuk melakukan
tindakan yang menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan. Dengan demikian,
rakyat Indonesia saat itu tidak memiliki pemimpin yang dapat diharapkan untuk
menyalurkan aspirasi dan justru kehidupan berpolitik menjadi buntu.
Dampak di bidang
Ekonomi
Ketika
pemerintah kolonial Belanda berkuasa, para pengusaha pribumi kedudukannya
menjadi aparatur pemerintah kolonial, mereka tidak lagi mendapatkan penghasilan
dan upeti seperti sebelumnya. Pendapatan mereka diganti dengan gaji menurut
ketentuan pemerintah kolonial, akibatnya penghasilan mereka menurun drastis
dari sebelumnya.
Nasib
rakyat, terutama para petani menanggung beban yg amat berat. Petani harus
menanam tanaman yang diperintahkan pemerintah kolonial. Banyak barang dagangan
mereka yang dijadikan Monopoli pemerintah kolonial Belanda, dan banyak pula
rakyat yang bekerja sebagai kuli perkebunan. Rakyat juga mengalami hambatan di
bidang kerajinan tangan, karena banyaknya barang – barang yang datang dari
negeri Belanda.
Mereka
tidak bisa bergerak bebas di bidang perekonomian, karena pekerjaan mereka di
awasi dan di batasi oleh pemerintah kolonial Belanda.
Penderitaan
akibat politik pemerasan yang dilakukan kolonial Belanda terhadap rakyat
Indonesia telah mencapai puncaknya pada masa pelaksanaan sistem Tanam Paksa
(Cultuurstelsel) dan sistem Ekonomi Liberal (Politik Pintu Terbuka).
Keuntungan
dari pelaksanaan sistem Tanam Paksa dan Politik Pintu Terbuka tersebut tidak
ada satu pun yang digunakan untuk kepentingan Indonesia, namun digunakan
Belanda untuk membangun negerinya di Eropa dan untuk membayar utang luar negeri
pemerintah kolonial Belanda. Dengan demikian, kehidupan ekonomi rakyat
Indonesia pada zaman penjajahan Belanda sungguh memprihatinkan sehingga banyak
rakyat yang hidup dalam kemiskinan dan mati kelaparan.
Perkembangan
ekonomi pada masyarakat kolonial sangat
besar pengaruhnya terhadap kegiatan-kegiatan
berikut:
Perdagangan
Kegiatan
perdagangan pada masa pemerintah kolonil
belanda dikuasi oleh penguasa swasta asing .masyarakat pada waktu itu tidak
memiliki kesempatan untuk memperdagangkan hasil buminya .hal tersebut terjadi
karena hasil bumi mereka terpaksa harus
dijual pada para pedagang asing yang
mendapat perlindungan dari pemerintah.
Pertanian dan perikanan
Sebelum
kedatangan bangsa barat ,bangsa
indonesia telah mengenal sistem
pertanian dan perikanan .pada masa kolonial banyak masyarakat indonesia yang
bergerak di bidang pertanian dan perikanan .namun ,mereka tidak menikmati
hasilnya sendiri karena di rampas oleh pemerintah kolonial belanda ,dan para petani dipaksa untuk menjualnya pada pedagang swasta
asing.
Infrastruktur
Untuk
menunjang kelancaran pengangkutan hasil-hasil perusahaan perkebunan dari daerah
pedalaman ke daerah pantai atau pelabuhan ,pemerinah kolonial belanda membangun infrastruktur seperti irigrasi ,jalan raya
,jembatan ,dan jalan rel kereta api
.pembangunan jalan ,jembatan dan rel
kereta api tersebut dilakukan dengan enggerakan tenaga rakyat secara paksa
(kerja rodi ).adanya penggerahan kerja
rodi tersebut membawa penderitaan bagi masyarakat indonesia.
Taraf hidup masyarakat indonesia
Sejak
bangsa barat datang keindonesia ,indonesia selalu dijadikan tempat pemerasan
oleh bangsa barat.walapun silih bergantisistem pemerintahan (dari VOC, pemerintahan
kerajaan belanda ,ingris,dan kembali pada pemerintahan koloniel belanda )bangsa
indonesia tetap menderita dan
sengsara.selama bangsa indonesia berada dibawah kekuasaan bangsa barat ,maka
selama itu pula taraf kehidupan bangsa indonesia di bawa garis kemiskinan dan hidup menderita .penderitaan hidup yang
dialami bangsa indonesia ini lah yang
menjadi pendorong semangat perjuang da
pergerakan bangsa indonesia menentang
penjajah.
Dampak di bidang Sosial
Nasib
rakyat Indonesia, khususnya para penguasa sangat buruk. Kedudukan mereka yang
sebelumnya menjadi penguasa, berubah menjadi aparatur pemerintah kolonial
Belanda. Derajat dan kehormatan mereka sebagai pemuka masyarakat pribumi
menurun, kedudukan mereka tidak diakui oleh pemerintah kolonial Belanda. Mereka
bukan lagi sebagai penguasa, melainkan pembantu dalam menjalankan pemerintahan
kolonial.
Sedangkan
derajat kehidupan rakyat biasa dinjak – injak. Martabat dan hak mereka tidak
mendapat pengakuan dan perlindungan. Keseharian mereka diliputi rasa takut,
cemas, tidak percaya diri, bodoh dan terhina. Kedudukan sosial bangsa Indonesia
dibagi menjadi 3 kelas, yaitu : kelas ke - satu diduduki oleh bangsa Barat,
kelas ke - dua oleh Timur Asing, dan kelas ke – tiga diduduki oleh masyarakat
pribumi.
Kehidupan
sosial yang dialami oleh rakyat Indonesia pada masa penjajahan Belanda antara
lain diskriminasi ras dan intimidasi yang diterapkan pemerintah kolonial
Belanda. Diksriminasi dan intimidasi itu didasarkan pada golongan dalam
kehidupan masyarakat dan suku bangsa. Penduduk berkulit putih dan kolonial
Belanda termasuk ke dalam golongan dengan status sosial yang lebih tinggi dan
memiliki hak-hak istimewa, sedangkan rakyat pribumi termasuk ke dalam golongan
rendah yang lebih banyak dibebani oleh kewajiban-kewajiban dan tidak diberikan
hak sebagai layaknya warga negara yang dilindungi oleh hukum. Kemudian, tidak
semua anak pribumi memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan seperti yang
diperoleh anak-anak kolonial Belanda.
Demikian
pula, dalam lingkungan pemerintahan, tidak semua jabatan tersedia untuk
orang-orang pribumi. Dengan demikian, adanya diskriminasi ras dan segala bentuk
intimidasi, baik secara langsung maupun tidak langsung telah menimbulkan
kesenjangan antara orang-orang Belanda dan rakyat pribumi.
Dampak di bidang Budaya
Dalam
bidang ini, budaya Barat sangat berpengaruh dalam kehidupan rakyat Indonesia.
walaupun tidak serta merta, kehidupan Barat sedikit demi sedikit berkembang
menjadi tata kehidupan pribumi, mulai dari cara pergaulan, gaya hidup, bahasa
dan cara berpakaian Barat mulai dikenal oleh kalangan kraton maupun masyarakat,
dan terus berkembang mengikis tradisi – tradisi kraton maupun masyarakat.
Selain itu agama Kristen juga mulai berkembang di Indonesia. bangsa Barat mulai
memperkenalkan agama Kristen di Indonesia, mulai dari kerajaan – kerajaan
sampai masyarakat biasa.
Kebudayaan
barat (Eropa) yang dibawa masuk ke Indonesia oleh bangsa Belanda mulai dikenal
bangsa Indonesia sejak abad ke-15. Budaya-budaya barat tersebut diterapkan ke
dalam lingkungan kehidupan tradisional rakyat Indonesia, seperti cara bergaul,
gaya hidup, cara berpakaian, bahasa, dan sistem pendidikan.
Tidak
semua budaya barat yang masuk ke Indonesia dapat diterima oleh rakyat
Indonesia, karena adanya tata cara yang berlawanan dengan nilai budaya bangsa
Indonesia yang telah diwariskan secara turun-temurun. Contoh budaya barat yang
berlawanan dengan nilai luhur antara lain mabuk-mabukan, pergaulan bebas,
pemerasan, dan penindasan.
Dampak di bidang
Pendidikan
Usaha
– usaha yang dilakukan oleh kolonial Belanda dalam bidang pendidikan tidak lain
adalah untuk keuntungan pemerintahan Belanda, yaitu menghasilkan pegawai
administrasi Belanda yg murah, terampil, dan terdidik. Selain itu Pemerintah
Belanda menyusun kurikulum pendidikannya sendiri, akibatnya perkembangan
pendidikan dan pengajaran di Indonesia sampai abad ke – 19 menunjukkan
kecenderungan Politik dan Kebudayaan. Tidak semua masyarakat mendapatkan
pendidikan, masyarakat yang mempunyai jabatan lah yang dapat merasakan
pendidikan, seperti keturunan raja, keturunan bangsawan, pengusaha kaya, dan
yang lainnya.
Para
Pahlawan kita lah yang mengajarkan pendidikan kepada rakyat - rakyat jelata,
dengan tujuan agar masyarakat Indonesia tidak lagi dibodoh – bodohi oleh para
kolonial Belanda.
Dampak
penjajahan bangsa Barat di bidang pendidikan, antara lain :
·
Munculnya golongan - golongan terpelajar
di Indonesia.
·
Bangsa Indonesia bisa membaca dan
menulis sehingga dapat menjadi tenaga – tenaga kerja di perusahaan Belanda.
·
Bangsa Indonesia menjadi tahu
perkembangan yang terjadi di dunia luar.
II.B. PERGERAKAN NASIONAL
Istilah
“nasional” berarti bahwa pergerakan-pergerakan tersebut mempunyai cita-cita
nasional untuk mencapai kemerdekaan bagi bangsanya yang masih terjajah.
Disamping itu, sifat pergerakan pada masa ini lebih bersifat nasional bila
dibanding dengan sifat pergerakan sebelumnya yang bercorak kedaerahan.
Adapun
faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya pergerakan nasional, antara lain
adalah :
a. Faktor
yang berasal dari luar negeri (eksternal), antara lain: pada waktu itu pada
umumnya bangsa-bangsa di Asia sedang menghadapi imperialisme Barat. Hal inilah
yang mendorong bangkitnya nasionalisme Asia. Selain itu kemenangan Jepang dalam
perang melawan Rusia tahun 1905 juga membuktikan bahwa ternyata Bangsa Timur
dapat juga mengalahkan Bangsa Barat. Disamping adanya gerakan Turki Muda yang
bertujuan mencari perbaikan nasib.
b.Faktor
yang berasal dari dalam negeri (internal), yaitu adanya rasa tidak puas,
penderitaan, rasa kesedihan dan kesengsaraan dari bangsa Indonesia terhadap
penjajahan dan penindasan kolonial. Ketidakpuasan itu sebenarnya sudah lama
mereka ungkapkan melalui perlawanan bersenjata melawan Belanda di berbagi
daerah, antara lain: perlawanan yang dipimpin oleh Pattimura, Teuku Umar, Imam
Bonjol, Pangeran Diponegoro dll. Namun perlawanan-perlawanan itu menemui
kegagalan karena di antara mereka masih belum ada rasa persatuan nasional.
Kegagalan demi kegagalan inilah yang menyadarkan para pemimpin bangsa atau
dalam hal ini kaum pergerakan nasional untuk merubah taktik dan strategi
perjuangan melawan penjajah dalam mewujudkan cita-cita mereka, yaitu mencapai
“Indonesia Merdeka” dengan mendirikan organisasi-organisasi modern.
Masa awal ditandai
dengan berdirinya organisasi-organisasi modern antara lain adalah :
a.
Budi Utomo (BU, 20 Mei 1908)
Gagasan pertama
pembentukan Budi Utomo berasal dari dr. Wahidin Sudirohusodo, seorang dokter
Jawa dari Surakarta. Ia menginginkan adanya tenaga-tenaga muda yang terdidik
secara Barat, namun pada umumnya pemuda-pemuda tersebut tidak sanggup membiayai
dirinya sendiri. Sehubungan dengan itu perlu dikumpulkan beasiswa (study fond)
untuk membiayai mereka.
Pada tahun 1908 dr.
Wahidin bertemu dengan Sutomo, pelajar Stovia. Dokter Wahidin mengemukakan
gagasannya pada pelajar-pelajar Stovia dan para pelajar tersebut menyambutnya
dengan baik. Secara kebetulan para pelajar Stovia juga memerlukan adanya suatu
wadah yang dapat menampung kegiatan dan kehidupan budaya mereka pada umumnya.
Sehubungan dengan itu pada tanggal 20 Mei 1908 diadakan rapat di satu kelas di
Stovia. Rapat tersebut berhasil membentuk sebuah organisasi bernama Budi Utomo
dengan Sutomo ditunjuk sebagai ketuanya.
b.
Serikat Islam (SI, Agustus 1911)
Berbeda dengan Budi
Utomo yang mula-mula hanya mengangkat derajat para priyayi khususnya di Jawa,
maka organisasi Serikat Islam mempunyai sasaran anggotanya yang mencakup
seluruh rakyat jelata yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Pada tahun
1909 R.M. Tirtoadisuryo mendirikan perseroan dalam bentuk koperasi bernama
Sarekat Dagang Islam (SDI). Perseroan dagang ini bertujuan untuk menghilangkan
monopoli pedagang Cina yang menjual bahan dan obat untuk membatik. Persaingan
pedagang batik Bumiputra melalui SDI dengan pedagang Cina juga nampak di
Surakarta. Oleh karena itu Tirtoadisuryo mendorong seorang pedagang batik yang
berhasil di Surakarta, Haji Samanhudi untuk mendirikan Serikat Dagang Islam.
Setahun setelah berdiri, Serikat Dagang Islam tumbuh dengan cepat menjadi
organisasi raksasa. Sekitar akhir bulan Agustus 1911, nama Serikat Dagang Islam
diganti menjadi Serikat Islam (SI). Hal ini dilakukan karena adanya perubahan
dasar perkumpulan, yaitu mencapai kemajuan rakyat yang nyata dengan jalan
persaudaraan, persatuan dan tolong-menolong di antara kaum muslimin. Anggota SI
segera meluas ke seluruh Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Sebagian besar
anggotanya adalah rakyat jelata. Serikat Islam ini dapat membaca keinginan
rakyat, dengan membantu perbaikan upah kerja, sewa tanah dan perbaikan sosial
kaum tani. Perkembangan yang cepat ini terlihat pada tahun 1917 dengan jumlah
anggota mencapai 450.000 orang yang tersebar pada 84 cabang.
Meningkatnya anggota
Serikat Islam secepat ini, membuat pemerintah Hindia Belanda menaruh curiga.
Gubernur Jenderal Idenburg berusaha menghambat pertumbuhannya. Kebijakan yang diambil
antara lain dengan cuma memberikan izin sebagai badan hukum pada tingkat lokal.
Sebaliknya pada tingkat pusat tidak diberikan izin sebab dianggap membahayakan,
jumlah anggota yang terlalu besar diperkirakan akan dapat melawan pemerintah.
Dalam kongres
tahunannya pada tahun 1916, H.O.S Cokroaminoto mengusulkan kepada pemerintah
untuk membentuk Komite Pertahanan Hindia. Hal itu menunjukkan bahwa kesadaran
politik bangsa Indonesia mulai meningkat. Dalam kongres itu diputuskan pula
adanya satu bangsa yang menyatukan seluruh bangsa Indonesia.
c.
Muhammadiyah (18 November 1912)
Pada tanggal 18
November 1912 Muhammadiyah didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta.
Organisasi Muhammadiyah bergerak di bidang pendidikan, sosial dan budaya.
Muhammadiyah bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam dalam pelaksanaan hidup
sehari-hari agar sesuai dengan Al-Qur‟an dan Hadits. Muhammadiyah berusaha
memberantas semus jenis perbuatan yang tidak sesuai dengan al-Qur‟an dan
hadits.
Dan masih banyak lagi
organisasi-organisasi yang lahir sebagai wujud dari pergerakan nasional bangsa
Indonesia.
Sejak tahun-tahun
1930-an peranan lembaga politik kolonial (Volksraad) makin meningkat. Lembaga
itulah yang satu-satunya alat yang dibenarkan pemerintah kolonial untuk menyuarakan
kepentingan-kepentingan pelbagai golongan. Sebab itu suara yang muncul dalam
volksraad yang berasal dari golongan cooperatie itu sangat penting untuk
mengetahui pemikiran-pemikiran bangsa Indonesia sejak sekitar tahun 1930 sampai
1942. Dalam masa dari tahun 1935 sampai 1942, partai-partai politik bangsa
Indonesia menjalankan taktik-taktik parlementer yang moderat. Hanya
organisasi-organisasi nonpolitik dan partai-partai yang bersedia bekerjasama
dan setuju punya wakil dalam dewan-dewan ciptaan Belanda yang terjamin mendapat
sedikit kekebalan dari gangguan pengawasan polisi. Dan satu-satunya forum yang
secara relatif bebas menyatakan pendapat politik adalah dewan perwakilan
ciptaan pemerintah kolonial Belanda itu. Dengan demikian, satu-satunya cara bagi
gerakan nasionalis untuk mengusahakan perubahan ialah dengan jalan mempengaruhi
pemerintah kolonial Belanda secara langsung melalui dewan tersebut, tidak dengan
mengatur dukungan massa.
Tokoh-tokoh pergerakan
mulai memunculkan ide tentang pembentukan Fraksi Nasional di dalam volksraad.
Akhirnya fraksi ini dapat didirikan tanggal 27 Januari 1930 di Jakarta
beranggotakan 10 orang yang berasal dari daerah Jawa, Sumatera, Sulawesi dan
Kalimantan.
1.
Petisi Soetardjo
Gagasan dari petisi ini
dicetuskan oleh Sutardjo Kartohadikusumo, Ketua Persatuan Pegawai Bestuur/
Pamongpraja Bumiputera dan wakil dari organisasi ini di dalam sidang Volksraad
pada bulan Juli 1936. Isi petisi itu secara garis besar adalah tentang
permohonan supaya diadakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan
Negeri Belanda di mana anggota-anggotanya mempunyai hak yang sama. Tujuannya
adalah untuk menyusun suatu rencana yang isinya adalah pemberian kepada
Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri dalam batas pasal 1 Undang-undang
Dasar Kerajaan Belanda. Petisi itu ada yang menyetujui dan ada yang tidak.
Kalau dari pihak Indonesia ada yang tidak setuju, maka alasannya bukanlah soal
isi petisi itu tetapi seperti yang diajukan oleh Gesti Noer ialah caranya
mengajukan seperti menengadahkan tangan. Antara tokoh-tokoh Indonesia terjadi
pro-kontra tentang petisi itu. Tetapi akhirnya petisi Soetardjo ditolak oleh
Ratu Belanda pada bulan November 1938.
2.
Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
Meskipun akhirnya
Petisi Soetardjo itu ditolak, petisi itu ternyata mempunyai pengaruh juga yaitu
membantu membangkitkan gerakan masionalis dari sikap mengalah yang apatis yang
telah menimpanya sejak gerakan nonkooperasi dilumpuhkan. Suatu gagasan untuk
membina kerjasama diantara partai-partai poltik dalam bentuk federasi timbul
kembali pada tahun 1939. Pada tanggal 21 Mei 1939 di dalam rapat pendirian
konsentrasi nasional di Jakarta berhasilah didirikan suatu organisasi yang
merupakan kerjasama partai-partai politik dan organisasi-organisasi dengan
diberi nama Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
Tujuan GAPI adalah
memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri dan persatuan nasional. Kemudian
tujuan itu dirumuskan dalam semboyan “Indonesia Berparlemen”. Sikap kurang
menentukan kemerdekaan itu disebabkan adanya keprihatinan atas kemungkinan
meletusnya Perang Pasifik. GAPI melakukan berbagai kampanye yang bertujuan
menarik simpati rakyat untuk mendukung perjuangannya di dalam ketatanegaraan.
Pada tanggal 14 September 1940 dibentuklah komisi untuk menyelidiki dan
mempelajari perubahan-perubahan ketatanegaraan (Commissie tot bestudeering van
staatsrechtelijke). Komisi ini diketuai oleh Dr. F.H Visman, selanjutnya
dikenal dengan nama Komisi Visman. Pada awal pembentukannya, kalangan
pergerakan mempertanyakan keberadaan kegunaan komisi itu. Akhirnya Komisi
Visman menghasilkan laporan yang cukup tebal tentang berbagai tuntutan dan
harapan-harapan rakyat Indonesia. Laporan itu terbit pada tahun 1942 hanya
beberapa minggu sebelum kedatangan tentara Jepang ke Indonesia, sehingga
laporan tersebut tidak jelas nasibnya.
3.
Mosi Thamrin
Pergerakan nasional terus
berkembang dengan semakin meningkat dan mendalamnya kesadaran akan
identitasnya. Dalam keadaan yang demikian, istilah-istilah Hindia Belanda
(Nederlandsch Indie), pribumi (Inlander), atau kepribumian (Inlandsch) sangat
sensitif di mata kaum pergerakan yang kesadaran akan identitasnya sudah
mendalam. Mosi Thamrin mengusulkan agar istilah-istilah tersebut diganti dengan
Indonesie (Indonesia), Indonesier (bangsa Indonesia) dan keindonesiaan
(Indonesisch), khususnya di dalam dokumen-dokumen pemerintah. Keberatan
pemerintah terhadap mosi ini adalah bahwa perubahan istilah itu membawa
implikasi politik dan ketatanegaraan, seperti apa yang termaktub dalam UUD
Kerajaan Belanda. Di samping itu ada argumentasi “ilmiah” ialah bahwa Indonesia
bukan nama geografis, dan bangsa Indonesia juga tidak menunjukan pengertian
etnologis.
II.C. SUMPAH PEMUDA
Peristiwa
sejarah Sumpah Pemuda merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah
pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ikrar ini menjadi satu tonggak utama
bangkitnya semangat para pemuda Indonesia untuk menegaskan cita-cita berdirinya
negara Indonesia.
Sumpah
Pemuda adalah sebuah “produk” yang muncul dari pelaksanaan Kongres Pemuda Kedua
yang dilangsungkan 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Kongres tersebut
dilaksanakan di dalam tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali
rapat. Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil
organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong
Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun,
PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll.
Di
antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu
Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie namun sampai saat ini
tidak diketahui latar belakang organisasi yang mengutus mereka. Sementara Kwee
Thiam Hiong hadir sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond. Turut hadir
juga 2 perwakilan dari Papua yakni Aitai Karubaba dan Poreu Ohee.
Rapat
pertama berlangsung pada hari Sabtu, 27 Oktober 1928. Diadakan di Gedung
Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng).
Pada saat itu ketua PPPI Sugondo Djojopuspito berharap jika kongres yang
digelar tersebut dapat memperkuat semangat persatuan para pemuda Indonesia. Di
rapat ini juga salah satu sastrawan bernama Muhammad Yamin memaparkan uraian
tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya terdapat lima
faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia, yaitu sejarah, bahasa, hukum
adat, pendidikan, dan kemauan.
Rapat
kedua diselenggarakan satu hari setelahnya. Pada hari Minggu, 28 Oktober 1928,
kongres diadakan di Gedung Oost-Java Bioscoop. Di kongres kali ini, para
peserta membahas masalah pendidikan. Pada saat itu kedua pembicara yang merupakan
tokoh pendidikan Indonesia pada saat itu, Poernomowoelan dan Sarmidi
Mangoensarkoro mengatakan jika seorang anak harus mendapatkan pendidikan
kebangsaan, dan harus mendapat keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di
rumah. Selain itu, mereka juga menyoroti jika seorang Anak harus dididik secara
demokratis.
Pada
rangkaian rapat terakhir yang sekaligus menjadi penutup Kongres Pemuda Kedua,
para peserta berkumpul di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya
106. Pada saat itu, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi
selain gerakan kepanduan. Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa
dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik
anak-anak disiplin dan mandiri: hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Sebelum
kongres ditutup, lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman
diperdengarkan. Atas saran Sugondo kepada Supratman, lagu tersebut dimainkannya
hanya dengan alat musik biola saja. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah
oleh peserta.
Kongres
akhirnya ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres yang ditulis oleh
Moehammad Yamin pada secarik kertas yang disodorkan kepada Soegondo ketika Mr.
Sunario tengah berpidato pada sesi terakhir kongres (sebagai utusan kepanduan)
sambil berbisik kepada Soegondo: Ik heb een eleganter formulering voor de
resolutie (Saya mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan untuk keputusan
Kongres ini), yang kemudian Soegondo membubuhi paraf setuju pada secarik kertas
tersebut, kemudian diteruskan kepada yang lain untuk paraf setuju juga.
Sumpah
tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar
oleh Yamin. Istilah “Sumpah Pemuda” sendiri tidak muncul dalam putusan kongres
tersebut, melainkan diberikan setelahnya. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan
itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.
Berikut
ini adalah bunyi tiga keputusan kongres tersebut sebagaimana tercantum pada
prasasti di dinding Museum Sumpah Pemuda. Penulisan menggunakan ejaan van
Ophuysen.
Pertama:
Kami
poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah
Indonesia.
Kedoea:
Kami
poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga:
Kami
poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Dalam
peristiwa sumpah pemuda yang bersejarah tersebut diperdengarkan lagu kebangsaan
Indonesia untuk yang pertama kali yang diciptakan oleh W.R. Soepratman. Lagu
Indonesia Raya dipublikasikan pertama kali pada tahun 1928 pada media cetak
surat kabar Sin Po dengan mencantumkan teks yang menegaskan bahwa lagu itu
adalah lagu kebangsaan. Lagu itu sempat dilarang oleh pemerintah kolonial
hindia belanda, namun para pemuda tetap terus menyanyikannya.
Daftar Pustaka
No comments:
Post a Comment