Saturday, December 22, 2018

makalah MONOGAMI, POLIGAMI DAN NIKAH MUT’AH DALAM HUKUM ISLAM


  MONOGAMI, POLIGAMI
DAN NIKAH MUT’AH




Manusia memiliki naluri untuk berpasang-pasangan, dan itu adlah salah satu tanda kebesaran dari Allah, namun ada banyak pula perbedaan pendapat masalah pelaksanaan fitrah manusia yang satu ini, muncul berbagai bahasan atas pelaksanaan fitrah manusia yang satu ini, diantaranya adalah  masalah   MONOGAMI, POLIGAMI DAN NIKAH MUT’AH.

Ketiga masalah diatas terdapat didalamnya hajat manusia secara biologis. Kebolehan seseorang untuk melampiaskan hajat yang tersebut terakhir itu menurut islam hanya boleh dipenuhi melalui pintu pernikahan dan ketiga macam bentuk pernikahan seperti tersebut diatas dapat dijadikan solusinya, tapi masing-masing memiliki permasalahan. Untuk monogami misalnya, seseorang dihadapkan oleh persoalan keadilan dan nikah mut’ah dihadapkan oleh masalah kelanggengan. Persoalan-persoalan inilah yang nantinya akan dijadikan pertimbangan hukum dari bentuk-bentuk pernikahan seperti dimaksud. Maraknya persoalan terkait di masyarakat diperlukan penjelasan hukum untuk dapat diindahkan sehingga seseorang tidak tergelincir kepada kebutuhan sesaat dalam memenuhi kebutuhan biologisnya.

A.    NIKAH MENURUT ISLAM

Tidak sedikit orang dimasa sekarang ini yang mencari jalan pintas untuk melampiaskan nafsu biologisnya. Padahal manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan oleh Allah SWT yang dilengkapi rohani dan akal. Dengan kesempurnaan tersebut manusia mampu untuk menerima dan menjalankan syariat agama. Diantara syariat agama adalah menikah.

Mengapa manusia harus nikah? Jawabannya karena manusia diciptakan oleh Allah berpasangan, yaitu laki-laki dan perempuan sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT:

Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhan oleh bumi dan diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (QS.Yaasiin (36):36)

Dari kehidupan berpasangan, manusia disyariatkan untuk menjalin hubungan yang mulia, mengembangkan keturunan, menegaskan hak dan kewajiban antara kesuanya. Untuk itu Allah menurunkan syariat yang bertujuan menjaga harkat dan martabat serta kehormatan manusia yang disebut dengan nikah.

Islam “Menyukai” pernikahan dengan menyebutnya sebagai prilaku para nabi dan memasukannya sebagai salah satu fitrah yang dimiliki oleh manusia. “Rasulullah SAW bersabda “Empat fitrah yang dimiliki manusia, yaitu memakai pacar, wangi-wangian, bersiwak (gosok gigi), dan nikah.”

Untuk dijadikan sebuah perbandingan, tampaknya sebelum pembahasan nikah menurut Islam secara lebih mendalam perlu diungkap tentang pernikahan sebelum islam (jahiliah). Pada zaman jahiliah telah dikenal beberapa praktik perkawinan yang merupakan warisan turun temurun dari perkawinan Romawi dan Persia. Pertama, perkawinan pacaran (khidn), yaitu berupa pergaulan bebas pria dan wanita sebelum perkawinan yang resmi dilangsungkan dengan tujuan masing-masing pasangan kedua, nikah badl, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki lain untuk saling menukar istrinya. Ketiga, nikah istibdha, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki kaya, bangsawan, atau orang pandai agar bersedia mengumpulkan istrinya yang dalam keadaan suci sampai ia hamil. Setelah itu baru si suami mengumpulkannya. Keempat, nikah raht (urunan), seorang wanita dikumpuli oleh beberapa pria sampai hamil. Ketika anaknya lahir, lalu wanita itu menunjuk salah satu pria yang telah mengumpulinya untuk mengakui bayi yang telah dilahirkannya sebagai anaknya. Nikah ini sama dengan nikah baghhaaya (nikah pelacur).

Kedatangan Islam menghapus semua bentuk pernikahan diatas karena dipandang tidak sejalan dengan naluriah dan kehormatan manusia serta dapat dikatakan cara binatang yang tidak mengenal aturan. Nikah dalam syariat Islam diartikan sebagai sebuah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan Al-Qur’an menyebut nikah sebagai mitsaq (perjanjian) antara suami dan istri sejak terjadinya akad. Hal ini dipahami karena keduanya berjanji untuk menjalankan hak dan kewajiban masing-masing dengan sebaik-baiknya.

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS.an-Nisaa’(4):21)

Sepasang calom suami-istri yang ingin melangsungkan ikatan pernikahan diharuskan untuk memenuhi syarat dan rukun nikah. Terkait dengan rukun nikah, para ulama sepakat, terdapat lima hal yang menjadi rukun nikah:

1.      Adanya calon suami istri
2.      Wali dari calon istri
3.      Dua orang saksi
4.      Mahar (mas kawin)
5.      Ijab-kabul

B.     HIKMAH NIKAH

Setiap syariat yang diturunkan Allah dipastikan terdapat hikmah yang bermanfaat untuk kehidupan manusia. Nikah sebagai bagian dari syariat Allah mengandung hikmah didalamnya yang bermanfaat untuk orang yang melakukannya secara khusus dan untuk masyarakat pada umumnya. Sedikitnya terdapat lima poin penting yang penulis kutip dari pendapat Sayyid Sabi dalam kitabnya Fiqh Sunah berkaitan dengan hikmah dari sebuah pernikahan.

1.      Nafsu se termasuk tuntutan dan selalu meliputi kehidupan manusia, ketika tidak ada jalan keluar untuk melampiaskan  maka manusia akan dirundung kegelisahan dan dikhawatirkan melakukan prostitusi (perinahan). Maka pernikahan merupakan aturan yang paling baik dan jalan keluar yang menyejukan untuk memuaskan seks manusia. Dengan nikah jasad menjadi segar, jiwa menjadi tentram dan penglihatan akan menutupi sesuatu yang diharamkan. Ini semua terkandung dari petunjuk Allah dalam firman-Nya:


Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cendrung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. ar-Ruum (30):21)

2.      Pernikahan jalan terbaik untuk melahirkan anak, memperbanyak kelahiran, dan melestarikan kehidupan dengan selalu menjaga keturunan.

3.      Naluri kepakan dan keibuan akan tumbuh dan berkembang dalam menaungi anak pada masa kanak-kanak serta tumbuhnya rasa kasih-sayang. Semua kelebihan itu tidak sempurna tanpa adanya tali pernikahan.

4.      Rasa tanggung jawab dari pernikahan serta mengurus anak dapat membangkitkan semangat dan mencurahkan segala kemampuan dalam memperkuat potensi diri, maka bangkitlah untuk bekerja dengan segala kewajiban sehingga banyak kesibukan yang dapat menambah harta dan kesuksesan. Dan tergugah semangat untuk mengeluarkan kekayaan alam dan yang terpendam di dalamnya.

5.      Membagi-bagi pekerjaan dan membatasi tanggung jawab pekerjaan kepada suami dan istri. Istri mengurus rumah, hingga tertata dengan rapi, mendidik anak dan mempersiapkan “udara” segar untuk suami agar ia dapat beristirahat untuk menghilangkan kelelahannya dan menimbulkan semangat baru yang dapat membangkitkan semangat kerja untuk memperoleh harta dan nafkah yang dibutuhkan. Pembagian kerja yang adil terhadap istri sesuai dengan tugas alamiah mereka masing-masing ini karena diridhoi oleh Allah dan pujian manusia serta menghasilkan buah yang dberkahi.

C.    HUKUM PERNIKAHAN

Hukum nikah termasuk perkara yang selalu dikaitkan dengan kondisi yang akan melakukannya, dengan demikian kondisi tersebut dapat dijadikan sebagai illat (sebab) hukum. Hal yang dapat dimaklumi bahwa kondisi seseorang tidak sama dengan yang lainnya dalam kondisi gejolak seks dan kemampuan memberikan nafkah. Berangkat dari perbedaan kondisi tersebut maka para ulama menghukumi nikah sesuai dengan illat (sebab) yang ditemui dari seseorang yang akan melangsungkan pernikahan. Memperhatikan berbagai macam illat nikah para ulama merumuskan hukum nikah sebagai berikut:

1.      Wajib, hukum ini layak dibebankan kepada orang yang telah mampu memberi nafkah, jiwanya terpanggil untuk nikah dan jika tidak nikah dikhawatirkan terjerumus ke lembah perzinahan. Hal ini diperkuat oleh tuntunan agama bahwa menjaga diri dari perbuatan haram adalah wajib. Adapun bagi yang hanya memiliki keinginan yang kuat tapi belum mampu memberi nafkah, maka lebih baik ia menahan diri. Hal ini didasari oleh firman Allah SWT:

Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah ia menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya (QS.an-Nuur (24):33).

Salah satu cara untuk menjaga diri ketika gejolak nafsu biologis yang memuncak bagi orang yang belum layak nikah karena belum mampu menafkahi seperti tersebut diatas disarankan agar ia memperbanyak puasa. Hal ini diperkuat oleh khadist Rasulullah SWA berikut ini:

“Hai para pemuda siapa diantara kalian yang sudah mampu untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah dapat menahan pandangan dari maksiat dan dapat menjaga kemaluan dari berbuat zina. Namun bagi siapa yang belum mampu maka hendaklah ia berpuasa karena puasa dapat membentengi dorongan sahwat.” (HR.Bukhari).

2.      Sunah, hukum ini pantas bagi orang yang merindukan pernikahan dan mampu memberi nafkah tapi ia masih mampu menahan dirinya dari perbuatan zina. Maka bagi orang seperti ini hukum nikah menjadi sunah. Akan tetapi jika demikian kondisinya, nikah lebih baik baginya daripada membujang karena dalam nikah terdapat ibadah yang banyak. Sedangkan membujang (tidak nikah) itu seperti para pendeta nasrani yang dilarang oleh Rasulullah.

“Nikah kamu sekalian karena aku akan berbanyak-banyak umat pada hari kiamat dan janganlah kamu seperti pendeta Nasrani.”
Memperkuat anjuran nikah, Umar pernah berkata kepada Abi Zawid, hanya sifat lemah atau melacurlah yang mencegahmu dari nikah. Berkata Ibnu Abbas, tidak akan sempurna ibadah seseorang sampai ia nikah.

3.      Haram, hukum ini layak bagi orang yang tidak mampu memberikan nafkah dan jika ia memaksakan diri untuk menikah akan mengkhianati istrinya atau suaminya, baik dalam pemberian nafkah lahiriah maupun bathiniah sehingga dengan perkawinan itu hak-hak istri / suami tidak terpenuhi.

D.    HUKUM MONOGAMI DAN POLIGAMI

Dalam kamus bahasa Indonesia, monogami berarti sistem yang memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu. Dari ta’rif tersebut dapat difahami bahwa seorang suami yang beristrikan satu istri saja tidak dua atau tiga maka suami itu menganut monogami.

Asas momogami telah ditetapkan oleh islam sejak lima belas abad yang lalu sebagai salah satu asas perkawinan dalam islam. Tujuannya untuk memberikan landasan dan modal utama dalam pembinaan kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Oleh karena itu, hukum  asal perkawinan dalam islam adalah monogami. Hukum ini sangatlah beralasan karena dengan monogami tujuan pernikahan untuk menghantarkan keluarga bahagia akan lebih mudah karena tidak terlalu banyak beban. Selain dengan bermonogami juga akan lebih mudah untuk menetralisir dan meredam sifat cemburu, iri hati, dan perasaan mengeluh dalam kehidupan sehari-hari. Islam memerintahkan kepada laki-laki untuk nikah dengan seorang perempuan yang dicintainya. Bagi laki-laki, selayaknya sikap monogami ini dipertahankan jika tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk beristri lebih dari satu, seperti si istri ternyata mandul. Sekali lagi pada asalnya hukum islam menetapkan kepada laki-laki untuk beristri satu saja. Isyarat Alqur’an untuk bermonogami bagi laki-laki dapat kita fahami dari berbagai ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kepada laki-laki untuk menikah jika sudah mampu. Sikap membujang berkepanjangan tanpa alasa adalah sikap yang tidak dibenarkan, karena dalam nikah terdapat banyak kebaikan. Hal ini dapat dilihat dalam Al-Qur’an antara lain:

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak ((berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunianya. Dan Allam maha luas (pemberi – Nya) lagi maha mengetahui. (QS. An-nuur (24.32).

Hukum dalam islam tidak terlepas dari ilat-nya. Asal perintah monogami dalam pernikahan dapat berubah menjadi perintah dan poligami jiga benar-benar ditemukan ilat yang dapat dibenarkan. Maka munculnya permasalahan baru setelah islam membolehkan monogami yaitu permasalahan poligami. Namun sebelum lebih jauh membahas tentang hukum poligami, tampaknya perlu diluruskan terlebih dahulu pemakaian istilah poligami. Jika merujuk kepada makana seorang suami beristri lebih dari satu sebenarnya istilah poligami yang sudah populer di masyarakat tidak tepat untuk istilah itu. Karena poligami dalam kamus bahasa bisajuga berarti disamping suami punya istri lebih dari satu juga berarti istri punya suami lebih dari satu. Maka secara kebahasaan yang lebih tepat adalah poligini yang dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai “sitem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya diwaktu yang bersamaan.” Namun dalam tulisan ini, selanjutnya penulis cendrung untuk menggunakan istilah poligami untuk pembahasan dimaksud, yaitu poligami yang bermakna poligini (suami beristri lebih dari satu) karena selain bisa dibenarkan secara kebahasaan juga istilah tersebut sudah populer penyebutannya di masyarakat untuk laki-laki beristri lebih dari satu.

Memasuki tulisannya tentang diperbolehkannya poligami dalam Islam, Yusuf Qardhawi menulis, bahwa islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah manusia, mengakui fakta yang dapat membimbing dan menjauhkan manusia dari perbuatan dungu. Inilah kenyataan yang “memaksa” islam memperbolehkan poligami. Sebelum islam datang, agama-agama terlebih dahulu lebih dahulu memperbolehkan praktek poligami sampai seratus istri tanpa adanya syarat dan aturan. Itulah kultur yang terjadi pada masyarakat dahulu. Islam datang tidak menghapus secara sertamerta sistem poligami “jahiliyah”’ yang sudah mendarah daging namun membangun peraturan poligami, yaitu dengan adanya pembatasan jumlah istri tidak boleh lebih dari empat disamping adanya syarat-syarat lain yang berhubungan dengan keadilan. Tercatat dalam sejarah bahwa seorang sahabat bernama Ghailan al-Tsaqafi, ketika ia masuk Islam beristrikan sepuluh orang. Lalu Nabi berkata kepadanya “pilih empat dan sisanya ceraikan”. Lalu banyak orang bertanya, bagaimna dengan Rosulullah yang punya istri lebih dari empat? Ini adalah sebuah keistimewaan dari Allah karena keperluan dakwah Rasul dan kebutuhan kehadiran para istri Nabi setelah Nabi wafat.

E.     KEBOLEHAN POLIGAMI

Dimasyarakat seperti sekarang ini, sikap poligami bagi sebagian laki-laki seakan menjadi suatu yang dianggap mudah untuk dilakukan karena hanya semata mengikuti nafsu biologis dan tidak mengikuti aturan yang sebenarnya. Memang pada awalnya hukum poligami itu diperbolehkan jika seorang suami tiadak dikhawatirkan berbuat zhalim terhadap istri-istrinya. Jika dipastikan akan berlaku zhalim, maka seorang suami lebih baik beristri satu saja.

Islam diperuntukan untuk semua jenis dan golongan manusia serta memelihara kepentingan dan ka-maslahat-an yang bersifat peribadi dan umum. Tampaknya dan ke-maslahat-an yang bersifat pribadi dan umum. Tampaknya kebolehan poligami itu karena untuk mewujudkan ke-maslahat-an bagi manusia agar tidak berlaku zina dan tidak terjatuh kedalam pintu kemaksiatan. Dengan kata lain menurut Mahmud Syaltut, bahwa pada asalnya Islam memerintahkan laki-laki untuk beristri satu, boleh beristri lenih dari satu jika dipandang darurat. Apa yang dimaksud dengan darurat tersebut? Menurut Yusuf Qardhawi, kondisi darurat yang dengannya seorang laki-laki dibolehkan berpoligami adalah sebagai berikut:

1.      Ditemukan seorang suami yang menginginkan keturunan, akan tetapi ternyata istrinya tidak dapat melahirkan anak disebabkan karena mandul atau suatu penyakit.
2.      Diantara suami ada yang memiliki orversesks, akan tetapi istrinya memiliki kelemahan seks, memiliki penyakit atau masa haidnya terlalu panjang sedangkan seorang suami tidak sabar menghadapi kelemahan istri tersebut..
3.      Jumlah wanita lebih banyak dibanding jumlah laki-laki, khususnya setelah terjadi peperangan. Disitu terdapat ke-maslahat-an yang harus didapat oleh sebuah masyarakat dan para wanita yang tidak menginginkan hiduptanpa suami dan keinginan hidup tenang, cinta dan terlindungi serta menikmati sifat keibuan.

Namun permasalahan yang  harus dihadapi bahwa diperbolehkannya seorang suami untuk beristri lebih dari satu bukan hanya dikarenakan kondisi mendesak sebagaimana tersebut di atas. katakanlah itu adalah pasal yang harus dimiliki seorang suami sebelum berpoligami. Namun ada pasal penting lainnya yang wajib dipenuhi setelah poligami itu terealisasi, yaitu seorang suami harus berlaku adil dalam memberikan nafkah terhadap istri-istrinya adalah konsekuensi dari tindakan berpoligami dalam Islam. Sikap adil dimaksud berarti seorang suami harus dapat memenuhi hak dan kewajibannya terhadap istri-istrinya secara proposional sesuai dengan kebutuhan secara wajar.

Nafkah itu ada yang bersifat lahiriah, yaitu nafkah yang bersifat materi dan ada yang bersifat batiniah (imateril). Sehubungan dengan pembagian nafkah tersebut, maka keadilanpun terbagi menjadi dua yaitu keadilan dalam memberikan nafkah lahiriah dan keadilan dalam memberi nafkah batiniah. Pada keadilan bentuk pertama, seorang suami dituntut untuk berlaku adil pada istri-istrinya dalam memberikan makan, minum, pakaian, rumah, serta waktu giliran. Pemenuhan rasa keadilan bentuk pertama ini sangat mungkin dapat dilakukan oleh seorang suami terhadap iatri-istrinya. Maka jika seorang suami tidak dapat berlaku adil dalam nafkah lahir yang mengakibatkan istri-istri teralimi, maka haram bagi laki-laki untuk berpoligami. Allah SWT berfirman:

..... Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau em[at, kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisaa’ (4):3).
Rasulullah bersabda:

“Siapa yang memiliki dua orang ostri tapi ia lebih berpihak pada salah satunya, maka dihari kiamat ia berjalan delam keadaan menarik pundaknya (miring).” (HR.Abu Daud)
Yang dimaksud perbuatan “lebih berpihak” dalam hadis diatas adalah ketidak adlan seorang suami dalam memenuhi hak-hak istri yang dipandang kuasa bagi suami untuk memenuhinya, seperti nafkah lahir dan waktu gilir.

Terkait dengan keadilan bentuk kudua yakni keadilan yang bersifat batin kecendrungan hati/cinta. Usaha untuk berlaku adil dalam membagi cinta kepada istri-istri inilah yang sesungguhnya sangat berat bagi seorang suami. Dan hal ini sudah dipastikan tidak dapat dilakuakn oleh seorang suami untuk berlaku adil sebagaimana yang di isyaratkan

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cendrung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (darikecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-nisaa’ (4):129).

Seandainya keadilan membagi cinta ini menjadi syarat yang mutlak bagi seorang suami, maka akan tertutup hukum kebolehan bagi seorang suami untuk berpoligami meskipun sudah berada pada kondisi yang darurat. Oleh karena sulitnya berlaku adil dalam membagi cinta, maka menurut Yusuf Qardhawi ini adalah keadilan yang dimaafkan dan diberikan toleransi, namun termaakan untuk nafkah lahir.

Dijelaskan dalan sebuat Hadist bahwa Rasulullah adalah orang yang selalu berusaha untuk berlaku adil sampai kepada masalah bepergian dan untuk memenuhi rasa keadilan tersebut, Rasulullah mengundi di antara istri-istrinya. Bagi yang keluar undiannya, maka dialah yang menjadi teman pergi bagi Rasulullah, hal ini dilakukan oleh Rasulullah supaya tidak melukai oerasaan dan meminta kerelaan dari istri-istri yang tidak pergi bersama Rasul.

F.     HUKUM DARI POLIGAMI

Berpoligami bagi sebagian orang terkadang tidak terlalu sulit untuk dilakukan. Permasalhannya adalah tidak mudah untuk berlaku adil dalam memenuhi sesuatu yang menjadi hak para istri. Terlihat, banyak suami yang beristri lebih dari satu tapi sebenarnya mereka tidak mampu untuk memberikan nafkah. Motif mereka berpoligami bukan karena masalah darurat, tapi karena ingin menurunkan hawa nafsu seksual. Kalaupun mereka mampu memberikan nafkah, namun terkadang perlakuan suami kepada istri-istrinya banyak berlaku tidak adil dalam pemenuhan kebutuhan seperti makan, pakaian, tempat tinggal dan waktu bergilir.

Oleh karena itu, alasan kebolehan berpoligami bagi sang suami dikarenakan terdapat kondisi darurat dan syarat berlaku adil akan mengandung hikmah. Hikmah tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Rasyid Ridha:

1.      Untuk mendapatkan anak bagi suami yang subur dan istri yang mandul.
2.      Menjaga keutuhan keluarga tanpa harus mencerai istri pertama meski ia tidak berungsi semestinya sebagai istri karena cacat fisik dan sebagainya.
3.      Untuk menyelamatkan suami yang hiperseks dari perbuatan free sex. Tercatat dibeberapa negara barat yang melarang poligami mengakibatkan merajalelanya praktik Prostitusi dan free sex (kumpul kebo) dan lahirnya anak zina yang mencapai jumlah cukup tinggi.
4.      Menyelamatkan harkat dan martabat wanita dari krisis ahlak (melacur), terutama bagi mereka yang tinggal di negara yang jumlah wanitanya lebih banyak dibanding laki-laki akibat  peperangan misalnya.

Adapun hikmah kebolehan Rasulullah beristri lebih dari empat bukanlah karena dorongan hawa nafsu sebagaimna yang dituduhkan oleh kaum orientalis, tapi mengandung hikmah yang besar, yaitu kepentingan dakwah Islam sebagaimana dikemukakan oleh Abbas Mahmud ai-Aqqad sebagai berikut:

1.      Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. Semua istri nabi yang berjumlah sembilan itu dapat dijadikan sumber informasi bagi umat islam yang hendak mengetahui ajaran-ajaran nabi dan praktik kehidupan beliau dalam berkeluarga, bermasyarakat, terutama masalah rumahtangga.
2.      Untuk kepentingan politik, yaitu mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan sekaligus menarik mereka masuk Islam. Seperti perkawinan nabi dengan Juwariyah putri al-Harist, kepala suku bani al-Musthaliq dan Shafiyah, seorang tokoh dari Bani Quraizhah dan Bani  al-Nadhir.
3.      Untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Seperti perkawinan beliau dengan janda dermawan bernama Khadijah dan janda pahlawan Islam seperti Saudah binti Zuma’ah (suaminya meninggal setelah kembali dari hijrah ke Absenia), Hafsah binti Umar (suaminya gugur pada perang Badar), Hindun Ummu Salamah (suaminya gugur di perang Uhud).

Seandainya saja motif Rasul kawin lebih dari satu karena dorongan seks, mungkin yang dinikahi adalah gadis-gadis cantik bangsa Arab. Tapi hal itu sama sekali tidak dilakukan oleh Rasulullah, justru dengan Siti Khadijah yang umurnya lebih tua 15 tahun dibandingkan umur beliau. Demikian dengan istri-istri beliau yang lain, semua dinikahi bukan karena tuntutan hawa nafsu, tapi bermotif dakwah yang ternyata motif tersebut dapat membantu keberhasilan tugas beliau sebagai utusan Allah. Dengan demikian, pada pernikahan Rasul terdapat hikmah yang tinggi yang bernilai dakwah, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan. Argumentasi logis seperti telah tersebut dapat meruntuhkan segala tuduhan negatif yang dilontarkan oleh kaum orientalis terhadap kebolehan Rasulullah beristri lebih dari satu.


No comments:

Post a Comment

POSTER PLANTAE