Friday, November 30, 2018

MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB



MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB

Banyak tokoh-tokoh Islam yang tercatat didalam sejarah duniam dalah satunya adalah Muhammad Bin Abd Al-Wahab, dan berikut adalah kisah dari Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 – 1206 H/1701 – 1793 M) (bahasa Arab:محمد بن عبد الوهاب التميمى), beliau adalah seorang teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su’udiyyah yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi.

Para pendukung pergerakan ini sering disebut Wahhabi, namun mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafi atau Muwahhidun yang berarti “satu Tuhan”.

Genealogi
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb memiliki nama lengkap Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi.

Biografi
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah sosok yang sangat kontroversial. Menurut para pengikutnya yang menamakan dirinya sebagai kelompok Muwahhidun atau sekarang berganti nama Salafi (oleh lawannya disebut Wahabi) menyebut Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai Syaikhul Islam Pejuang Tauhid yang memurnikan agama Islam. Namun oleh lawannya, Muhammad bin Abdul Wahhab disebut sebagai sosok yang ekstrim yang menyesatkan.

Istilah Wahabi atau Wahhabi atau al-Wahabiyyah diambil dan dihubungkan dengan nama pendirinya yaitu Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb. Meskipun akhir-akhir ini nama Wahabi digugat oleh para pengikut Wahabi kontemporer, yang sekarang lebih dikenal dengan istilah Salafi/ pengikut Manhaj Salaf. Menurut mereka penamaan Wahabi saja sudah salah. Orang yang mempelopori gerakan tersebut adalah Muhammad bin Abdul Wahab mengapa dinisbatkan dengan nama Wahabi dan bukan Muhammadiyah karena yang mendirikan namanya adalah Muhammad bukan Abdul Wahab (bukan ayahnya)?

Boleh saja mereka bertanya demikian, tetapi pernyataan tersebut sebenarnya pertanyaan yang lucu dan menggelikan. Ingat, dalam tradisi Arab, penisabatan bukan pada nama pendiri sebuah madzhab/ golongan adalah hal yang biasa. Sebagai contoh pendiri madzhab Syafi’i adalah al-Imam Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin Abdi Manaf. Dari sini jelas, istilah madzhab Syafi’i tidak diambil dari nama pendirinya Muhammad bin Idris tetapi dari nama kakeknya Syafi’ bin as-Saib. Begitu juga istilah madzhab Hanbali yang diambil dari nama kakeknya Hambal bin Hilal sedangkan nama asli pendirinya adalah al-Imam Ahmad bin Muhammad Hambal bin Hilal. Lain lagi dengan istilah madzhab Hanafi yang diambil nama anak dari pendiri madzhab tersebut, padahal nama asli pendirinya adalah al-Imam Nu’man bin Tsabit bin Zautha. Dan masih banyak lagi contoh-contoh lain. Selain itu meninggalkan istilah Muhammadiyyah tidak lain bertujuan untuk membedakan di antara para pengikut Nabi Muhammad SAW dengan pengikut madzhab mereka.

Lebih menggelikan lagi, kelompok Wahabi kontemporer juga mengingatkan umat Islam agar jangan asal main-main dengan sebutan Wahabi. Menurutnya, nama Wahabi dinistbatkan dengan nama “Al Wahhab” yang merupakan salah satu nama Allah SWT. Sungguh ini pernyataan yang sangat dipaksakan. Karena tidak ada satu pun dari kaum muslimin yang bermaksud menisbatkan sekte yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab kepada Dzat Yang Maha Agung lagi Mulia, Allah SWT. Bahkan logika semacam ini pun tidak pernah dipakai oleh kelompok manapun selain kelompok Wahabi ini.

Penolakan demi penolakan terus digencarkan kelompok pengikut Muhammad bin Abdul Wahab tetapi terbantahkan dengan sendirinya. Penolakan ini terjadi dikarenakan istilah Wahabi sudah menjadi istilah umum yang mempunyai makna negatif mengingat sejarah kelam dulu. Selain itu, mereka juga tidak ingin terkesan berhenti pada satu sosok Muhammad bin Abdul Wahab karena sebagian mereka mengklaim bahwa dakwah mereka adalah dakwah Nabi SAW bukan dakwah Muhammad bin Abdul Wahab. Meski ada sebagian yang terang-terangan menyebut dirinya dengan Wahabi dan sebagian lagi masih malu-malu menggunakan nama tersebut.

Bagi mereka yang tidak suka memakai istilah Wahabi berusaha menggelari diri dengan istilah kelompok al-Muwahidun. Dikarenakan nama al-Muwahidun juga sama seperti Wahabi yang mempunyai sejarah hitam akhirnya beralih dengan istilah baru yaitu Salafi/ pengikut manhaj salaf/ pengikut kaum Salaf yang menurut mereka ingin mengembalikan ajaran-ajaran tauhid ke dalam Islam yang original dan kehidupan murni menurut Sunnah Rasulullah SAW.

Jika penamaan Wahabi ini berhasil mereka hapus dari ingatan kaum muslimin, maka dengan mudah mereka akan mampu mentasbihkan diri sebagai representasi yang paling absah dari generasi salaf, atau bahkan dari agama Islam itu sendiri. Oleh karenanya, saat ini, dengan penuh susah payah dan begitu gigihnya mereka berupaya sekuat tenaga untuk mempropagandakan nama baru bagi kelompok mereka dengan sebutan yang lebih elegan dan lebih Islami, yakni Salafi. Meskipun penggunaan istilah Salafi ini sendiri telah mendapat vonis bid’ah dari ulama ahlussunnah yang bernamma al-Allamah Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dalam kitab beliau yang berjudul “As-Salafiah Marhalah Zamaniyyah Mubarakah Laa Madzhabun Islamiyyun” (lihat hal: 221).

Sebenarnya kalau kita lacak lebih jauh, penamaan aliran ini dengan nama Wahabi sudah diterima dengan bangga oleh para pengikut Wahabi generasi awal. Bahkan Sulaiman bin Sahman an-Najdi yang juga salah satu pelopor kelompok ini menulis sebuah kitab dengan judul “al-Hadiyyah as-Saniyyah Wa at-Tuhfah al-Wahabiyyah an-Najdiyyah”. Judul kitab tersebut sudah sangat jelas menggunakan al-Wahabiyyah atau Wahabi. Hal ini juga diamini oleh para pengikut lainnya semisal Muhammad bin Abdul Lathif, Hamid al-Faqihi, Muhammad Rasyid Ridlo, Abdullah al-Qosimi, Sulaiman ad-Dakhil, Ahmad bin Hajar Abu Thami, Mas’ud  an-Nadawi, Ibrahim bin Ubaid dan lainnya. Hanya saja, Hamid al-Faqihi memberi tawaran istilah yang menurutnya lebih pas untuk para pengikut dakwah Muhammad Ibnu Abdil Wahab ini, yaitu dengan sebutan “ad-Dakwah al -Muhammadiyyah”. Tawaran ini pun diamini oleh Shaleh Fauzan saat mengkritik Syekh Abu Zahrah yang menggunakan istilah Wahabi dan memasukkannya dalam daftar kelompok-kelompok baru (al-Firaq al-Haditsah). Jadi, dari segi penerimaan istilah Wahabi ini telah terjadi perbedaan presepsi antara generasi awal dan akhir (kontemporer). Akan tetapi, kitab karangan Sulaiman bin Sahman adalah satu bukti nyata dan bantahan atas para pengikut dakwah Wahabi yang tidak mau dan tidak suka untuk disebut kelompok Wahabi.

Masa Kecil Ibnu Abdul Wahab
Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung Uyainah (Najed), lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang. Ibnu Abdul Wahab tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang ulama ahlussunnah di lingkungannya. Sedangkan kakaknya juga seorang ulama ahlussunnah yang menjabat sebagai qadhi (mufti besar), tempat di mana masyarakat Najed menanyakan segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama Islam.

Sebenarnya ulama dan ahli sejarah berselisih pendapat tentang kelahiran Muhammad Abdul Wahab. Ia dikatakan lahir tahun 1690M/1111H sebagaimana pendapat asy-Syaikh Zaini Dahlan Mufti Mekah yang juga ahli dan pakar sejarah Islam, sementara tahun 1694M/1115H adalah pendapat golongan Wahabi dan tahuun 1703M/1124H adalah menurut ahli sejarah Barat. Muhammad Iqbal mengatakan ia lahir pada 1700M/1121H.

Menurut seorang ulama Wahabi Husain Ibnu Ghunnam dalam kitabnya Tarikh Najd mengatakan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab sejak kecil sangat pintar dan cerdas. Sulaiman –saudaranya- meriwayatkan bahwa ayah mereka memiliki firasat yang baik padanya, dan kagum dengan kecerdasan anaknya tersebut. Bahkan dikatakan ayahnya banyak belajar hukum Islam kepada anaknya yang masih kecil itu. Ayahnya pun menulis surat kepada saudaranya dan menuturkan bahwa putranya ini telah dewasa (baligh) dan telah dijadikan imam dalam shalat jama’ah bersama masyarakat. Ayahnya kemudian menikahkannya pada umur 12 tahun –tidak lama setelah mencapai usia baligh-, lalu mengizinkannya untuk menunaikan ibadah haji. Maka Muhammad bin Abdul Wahab kecil pun berangkat haji bersama ayahnya.

Setelah selesai melaksanakan ibadah haji, ayahnya kembali ke Uyainah sementara Muhammad bin Abdul Wahab tetap tinggal di Mekah selama beberapa waktu dan menimba ilmu di sana. Setelah itu, ia pergi ke Madinah untuk untuk berziarah dan belajar agama berguru kepada ulama disana. Di Madinah, ia berguru kepada dua orang ulama yaitu Syeikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi (Lihat: Tarikh Najd Ibnu Ghunnam).

Namun, catatan yang ditulis Ibnu Ghunnam bertentangan dengan apa yang dituturkan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah an-Najdi al-Hambali, seorang mufti madzhab Hambali di Mekkah (W 1295 H). Beliau mengatakan dalam kitabnya yang berjudul “as-Suhub al-Waabilah ‘Ala Dlaraaihil Hanaabilah” bahwa Muhammad bin Abdul Wahab baru berani memulai dakwahnya secara terang-terangan setelah orang tuanya wafat. Bahkan orang tuanya sangat marah kepadanya karena ia tidak mau belajar ilmu fikih sebagaimana para pendahulunya (Lihat: Al Maqaalaat As Sunniyyah, hal: 56).

Syekh Ahmad Zaini Dahlan, seorang mufti madzhab Syafi’i sekalugus pakar sejarah di Mekkah yang hidup pada era akhir kekhilafahan Turki Utsmaniyyah berkata “Awalnya Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang penuntut ilmu di Madinah Munawwarah. Ayah dan saudaranya Sulaiman bin Abdul Wahab adalah orang shaleh dan termasuk ulama. Ayah, saudara dan guru-gurunya mempunyai firasat buruk bahwa ia  akan tersesat. Hal itu setelah mereka melihat perkataan, perbuatan dan kecenderungannya di berbagai permasalahan agama” (al Futuhaat al Islamiyyah: 2/66).

Dikatakan demikian, karena memang ajaran-ajaran Muhammad bin Abdul Wahab tersebut banyak yang berseberangan dengan para ulama ahlussunnah saat itu. Bahkan dengan ajarannya itu, ia telah mengkafirkan orang-orang Islam itu sendiri. Ia berkata bahwa ziarah ke makam Rasulullah SAW, tawassul dengannya, atau tawassul dengan para nabi lainnya atau para wali Allah dan orang-orang shaleh, serta menziarahi kubur mereka untuk tujuan mencari berkah adalah perbuatan syirik. Menurutnya memanggil nama Nabi ketika bertawassul adalah perbuatan syirik. Demikian pula memanggil nabi-nabi lainnya, atau memanggil para wali Allah dan orang-orang shaleh untuk tujuan tawassul dengan mereka adalah perbuatan syirik. Dan masih banyak penyimpangan-penyimpangan dalam ajarannya yang berlawanan dengan ajaran ahlussunnah wal jama’ah.

Begitulah Muhammad bin Abdul Wahab, sosok yang independen dan tidak mau berkiblat pemahaman kepada siapa pun, bahkan kepada gurunya. Kalau pun ada yang mempengaruhi gaya berpikirannya bisa jadi itu adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim. Karena pandangannya dalam masalah tauhid dekat dengan kedua tokoh abad ke-7 tersebut. Akan tetapi saudaranya yang bernama Sulaiman bin Abdil Wahab nampaknya tidak setuju dengan hal ini. Oleh karenanya dalam menulis bantahan terhadap saudara kandungnya tersebut dalam kitab yang berjudul “Ash-Shawaiq Al Ilahiyyah Fi Roddi ‘Ala Wahabiyyah” Syekh Sulaiman memakai argumentasi-argumentasi Ibnu Taimiyah untuk mematahkan argumentasi saudaranya tersebut, khususnya dalam masalah takfir.

Independensi berpikir Muhammad bin Abdul Wahab ini bisa dilihat dari beberapa pernyataannya sendiri. Diantaranya ia berkata: “Alhamdulillah aku tidak mengajak kepada madzhab Sufi, ahli fikih, ahli kalam atau seorang imam dari imam-imam yang aku agungkan seperti Ibnu Qayyim, adz-Dzhabi, Ibnu Katsir dan lainnya. Akan tetapi aku mengajak kepada Allah yang tiada sekutu bagi-Nya dan kepada Sunnah Rasulullah SAW.” (Lihat: Da’awa Munaafi`iin, Abdul Aziz Muhammad bin Ali al Abd al Lathif, hal: 50).

Demikian juga, ia pernah berkata: “Aku telah mencari ilmu dan orang-orang yang mengenalku menyangka bahwa aku telah memiliki ilmu. Padahal saat itu aku tidak mengetahui makna “Laa Ilaaha Illallah” dan tidak mengetahui agama Islam, sebelum anugerah (pemahaman) yang telah dikaruniakan Allah kepadaku ini. Demikian juga guru-guruku, tidak ada seorang pun dari mereka mengetahui hal itu (makna Laa Ilaaha Illallah dan Islam). Barang siapa dari kalangan ulama sekarang mengira bahwa ia telah mengetahui maknaLaa Ilaaha Illallah, atau mengetahui makna Islam sebelum saat ini, atau mengira guru-gurunya atau seseorang mengetahui hal itu maka sungguh ia telah berdusta dan mengaku-ngaku, serta mengelabuhi manusia dan memuji dirinya dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya (ad Durar as Saniyyah: 10/51) . (Lihat: Daiyan Walaisa Nabiyyan, hal: 82).

Kehidupan  Ibnu Abdul Wahab di Madinah
Sesudah menunaikan ibadah haji di Baitulloh, Muhammad bin Abdul Wahab pergi ke kota Madinah. Selama di Madinah, Muhammad bin Abdul Wahab mempelajari ilmu-ilmu agama. Para guru yang mengajarinya tampak gelisah atas apa yang ada dalam diri Ibnu Abdul Wahab. Banyak sekali dari guru-guru Muhammad ibn Abdil Wahhab ketika di Madinah mengatakan bahwa dia akan menjadi orang yang sesat, dan akan banyak orang yang akan sesat karenanya.

Muhammad ibn Abdil Wahhab membantah dengan mengatakan bahwa ajaran yang ia serukannya ini adalah sebagai pemurnian tauhid (Aqidah Salafiyah) dan untuk membebaskan dari syirik. Ia berkeyakinan bahwa sudah sekitar enam ratus tahun ke belakang dari masanya seluruh manusia ini telah jatuh dalam syirik dan kufur. Ia mengaku bahwa dirinya datang untuk memperbaharui agama mereka, mengembalikan aqidah umat Islam di sana kepada aqidah Islam yang murni (tauhid), jauh dari sifat khurafat, takhayul, atau bid’ah.

Banyak pernyataan-pernyataan yang dibawa Muhammad bin Abdul Wahab bertentangan dan berlawan dengan ajaran ahlussunnah wal jama’ah. Tidak heran, bantahan dan sikap penolakan atas ajaran yang ditawarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab inipun mengalir deras dari para ulama Makkah dan Madinah saat itu, sampai akhirnya dia terusir ke daerah Najd pada tahun 1142 H, dan di daerah inilah dia berusaha mengatur siasat dakwah yang dia yakini (Lihat: Al Maqâlât Al Wafiyyah Syekh Hasan Khazbik, hal: 128).

Orang-orang yang menolak ajaran Muhammad bin Abdul Wahab dikatakan oleh pengikut kelompok Wahabi sebagai musuh-musuh dakwah yang ingin membendung dakwah tauhid. Musuh-musuh dakwah tauhid ini mereka kelompokan menjadi 3 golongan. Pertama, Golongan ulama khurafat yang mana mereka melihat yang haq (benar) itu batil dan yang batil itu haq. Wahabi menuduh golongan ini sebagai penyembah kuburan, yang lebih suka bersembahyang dan berdoa di kuburan dan mempersekutukan Allah dengan penghuni kubur itu. Dikatakan orang yang berziarah ke makam itu musyrik karena meminta-minta kepada penghuni kubur dan dikatakan juga itu adalah tradisi jahiliah yang menjadi adat tradisi nenek moyang yang harus diperangi menurut mereka.

Kedua, golongan ulama taashub yang mana mereka tidak banyak tahu tentang hakikat Muhammad bin `Abdul Wahab dan hakikat ajarannya. Dikatakan mereka hanya taqlid belaka dan percaya saja terhadap berita-berita negatif mengenai Muhammad bin `Abdul Wahab  yang disampaikan oleh golongan pertama di atas sehingga mereka terjebak dalam perangkap Ashabiyah (kebanggaan dengan golongannya) yang sempit tanpa mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari belitan ketaashubannya. Lalu menganggap  Muhammad bin `Abdul Wahab  dan para pengikutnya seperti yang diberitakan, yaitu; anti Auliya’ dan memusuhi orang-orang shaleh serta mengingkari karamah mereka.

Ketiga, golongan yang takut kehilangan pangkat dan jabatan, pengaruh dan kedudukan. Maka golongan ini dikatakan memusuhi Muhammad bin `Abdul Wahab  supaya dakwah Islamiyah yang dilancarkan oleh  Muhammad bin `Abdul Wahab  yang berpandukan kepada aqidah Salafiyah murni gagal karena ditelan oleh suasana hingar-bingarnya penentang beliau.

Sungguh tuduhan-tuduhan kelompok Wahabi di atas jelas tidak ada landasan, asal-asalan dan mengada-ada. Bagaimana mungkin orang yang berziarah kubur dikatakan sebagai penyembah kubur padahal itu adalah Sunnah Rasulullah SAW yang diteruskan oleh para sahabat, Salafus Sholeh, ulama-ulama ahlussunnah dan ummatnya hingga saat ini. Sebutan penyembah kubur atau orang Wahabi menyebut kaum Kuburiyyun adalah tuduhan keji yang menyakiti hati umat Islam. Apakah orang-orang Wahabi ini sudah membedah hati para peziarah sehingga tampak dalam hatinya kemusyrikan?

Dan lihatlah siapa yang terjebak dengan berita-berita negatif tentang Muhammad bin Abdul Wahab. Penolakan justru datang dari ayahnya dan saudaranya sendiri. Siapa yang lebih tahu dan paham hakikat Muhammad bin Abdul Wahab dan ajarannya selain ayah dan saudaranya sendiri. Mereka yang membesarkan Muhammad bin Abdul Wahab, mereka hidup bersama Muhammad bin Abdul Wahab, dan mereka satu rumah dengan Muhammad bin Abdul Wahab. Ayahnya sendiri yang mengasuh dan mendidik sejak kecil sehingga pastinya paham betul siapa itu Muhammad bin Abdul Wahab dan bagaiman sifatnya. Tidak ada istilah ikut-ikutan apalagi terjebak dan membangga-banggakan golongan seperti yang Wahabi tuduhkan. Justru mereka kaum Wahabi yang terjebak dan berbangga diri akan golongannya sendiri, tidak mau mendengar penuturan para ulama dan hanya tunduk patuh taat kepada ulama kelompok mereka.

Mari kita lihat sejenak bagaimana saudaranya sendiri asy-Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab menolak dengan keras ajaran yang dibawa oleh adiknya. Syekh Sulaiman menulis sebuah risalah yang sangat terkenal yang bertajuk “As-Shawâiq al-Ilâhiyah Fi Raddi ‘Ala Wahâbiyah” untuk menolak ajaran Muhammad bin Abdul Wahab, adiknya. Bahkan beliau dan ayahnya telah mengetahui ajarannya yang meragukan sejak Muhammad bin Abdul Wahab belajar di Madinah. Keduanya memperingatkan akan bahaya pendapat dan pemahaman ajarannya.

Syeikh Sulaiman saudara kandungnya sendiri menulis dalam kitabnya itu sebagai berikut: “Sejak zaman sebelum Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu pada zaman para imam Islam, belum pernah ada yang meriwayatkan bahwa seorang imam kaum Muslimin mengkafirkan mereka, mengatakan mereka murtad dan memerintahkan untuk memerangi mereka. Belum pernah ada seorangpun dari para imam kaum Muslimin yang menamakan negeri kaum Muslimin sebagai negeri syirik dan negeri perang, sebagaimana yang anda Muhammad Abdul Wahhab katakan sekarang. Bahkan lebih jauh lagi, anda mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan perbuatan-perbuatan ini, meskipun dia tidak melakukannya. Kurang lebih telah berjalan delapan ratus tahun atas para imam kaum Muslimin, namun demikian tidak ada seorang pun dari para ulama kaum Muslimin yang meriwayatkan bahwa mereka (para imam kaum Muslimin) mengkafirkan orang Muslim. Demi Allah, keharusan dari perkataan anda ini ialah anda mengatakan bahwa seluruh umat setelah zaman Ahmad (Ahmad bin Hanbal) -semoga rahmat Allah tercurah atasnya- baik para ulamanya, para penguasanya dan masyarakatnya semua mereka itu kafir dan murtad, Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”. (Lihat Risalah Arba’ah Qawa’id, Muhammad bin Abdul Wahhab, hal.4). Untuk selengkapnya lihat bagian: Penentangan Terhadap Muhammad bin Abdul Wahab.

Dan lebih menggelikan lagi dikatakan bahwa yang menentang ajaran Muhammad bin Abdul Wahab adalah orang yang takut kehilangan jabatan, kedudukan dan kekuasaan. Pernyataan bodoh yang tidak perlu diperdebatkan lagi karena memang penolakan terhadap ajaran Muhammad bin Abdul Wahab justru datang dari keluarganya sendiri, para gurunya, dan para ulama Makah dan Madinah saat itu.

Pergerakan dan Serangan di Basrah
Akibat pendapat dan pandangan Muhammad bin Abdul Wahab yang ekstrim dan banyaknya penolakan ulama-ulama Makah dan Madinah saat itu membuat dia harus diusir dari kota tersebut dan pergi menuju Basrah, Iraq. Dia pun mulai lagi menyebarkan ajarannya di Basrah setelah tidak diterima di Makah dan Madinah. Di sana dia berbincang dengan beberapa ulama’ fuqaha’ lalu memberikan dan menyatukan beberapa pandangan baru dan lama, akan tetapi dia justru dimarahi dan diusir lagi. Dia pun mengungsi ke Mesir. Namun, keadaannya di Mesir pun tidak berbeda dengan di tempat-tempat sebelumnya. Akhirnya ia pun diusir lagi dan memutuskan pergi ke Syam. Lagi-lagi di Syam ia mengalami pengusiran serupa maka ia kembali lagi ke Najed melarikan diri ke Uyainah tempat kelahirannya. Saat itu Amir Uyainah yang bernama Ustman bin Mua’ammar sempat bersahabat dengannya dan bahkan menikahkan anak perempuannya dengannya. Meski begitu, Amir Uyainahah akhirnya mengusirnya dan terpaksa ia harus meninggalkan Uyainah.

Muhammad bin Abdul Wahab diusir oleh penduduk Uyainah karena sikap dan gagasan ekstrimnya yang terus menerus menyebarkan pandangan barunya. Ia tidak segan-segan mengkafirkan semua penduduknya, baik ulama’nya hingga kaum awamnya. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 8 halaman 57). Alhasil penolakan terjadi dimana-mana bahkan dengan ayahnya sendiri terjadi perselisihan hebat. Keadaan tersebut terus berlanjut hingga tahun 1153H/1740M, saat ayahnya meninggal dunia.

Penyebaran Ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab
Sejak Ayahnyya meninggal, Muhammad bin Abdul Wahab serasa mendapat angin segar karena ia tidak lagi mendapat tantangan dari orang terdekatnya yakni ayahnya. Ia pun tidak lagi terikat dan secara terang-terangan bebas mengemukakan akidah-akidahnya sekehendak hatinya, menolak dan mengesampingkan amalan-amalan agama yang dilakukan umat Islam saat itu.

Dia mulai merencanakan strategi baru guna menyebarkan ajarannya dengan menyusun sebuah gerakan atau barisan yang ia namakan ahli tauhid (Muwahhidin) yang diyakininya sebagai gerakan yang memurnikan dan mengembalikan akidah Islam. Oleh lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah.

Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman bin Muammar. Amir Usman menyambut ide dan gagasan Muhammad ibn Abdil Wahhab dan berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan tersebut meski mendapat penolakan dari penduduk setempat. menghancurkan sebuah bangunan yang dibuat di atas makam Zaid bin al-Khattab. Perlu diketahui, Zaid bin al-Khattab adalah saudara kandung sahabat Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Menurut pandangannya membuat bangunan di atas kubur dapat menjerumuskan umat kepada kemusyrikan.

Amir Usman menjawab “Silakan… tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi rencana yang mulia ini.”

Tetapi Muhamamd bin Abdul Wahab khawatir masalah itu kelak akan dihalang-halangi oleh penduduk yang tinggal berdekatan dengan makam tersebut. Lalu Amir menyediakan 600 orang tentara untuk tujuan tersebut bersama-sama Muhammad ibn Abdil Wahhab merobohkan makam suci itu. Makam itu kemudian dihancurkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab atas bantuan Amir Uyainah, Usman bin Muammar.

Pergerakan Muhammad bin Abdul Wahhab tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian menghancurkan beberapa makam lain yang dipandangnya berbahaya bagi ketauhidan. Hal ini menurutnya adalah untuk mencegah agar makam tersebut tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam setempat.

Sikap dan tindakan ekstrim Muhammad bin Abdul Wahab terdengar luas sampai keluar wilayah Uyainah dan tercium oleh pemerintah Ahsa. Mendengar berita tersebut, pemerintah Ahsa memerintahkan Amir Uyainah untuk menghentikan kelakuan ekstrim yang merusak yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab. Amir Uyainah kemudian memanggil Muhammad bin Abdul Wahhab dan memerintahkannya untuk meninggalkan daerah Uyainah.

Muhammad bin Abdul Wahhab terpaksa mengungsi ke daerah lain dan dia berhasil diusir oleh penduduk setempat karena dinilai ajarannya yang ekstrim dan sesat. Tidak segan-segan dia mengkafirkan semua penduduknya, baik ulamanya hingga kaum awamnya. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 8 halaman 57)

Muhammad bin `Abdul Wahab kemudian pergi ke wilayah Dir’iyyah. Dari Dir’iyah inilah ajaran Muhammad bin Abdul Wahab bak menemukan telaga di tengah gurun pasir yang panas.

Kehidupannya di Dir’iyyah
Sesampainya Muhammad bin Abdul Wahhab di sebuah kampung wilayah Dir’iyyah yang tidak jauh dari tempat kediaman Amir Muhammad bin Saud (penguasa Dir’iyyah),  dia menemui seorang penduduk di kampung itu, orang tersebut bernama Muhammad bin Suwailim al-`Uraini.

Peraturan di Dir’iyyah ketika itu mengharuskan setiap pendatang melaporkan diri kepada penguasa setempat, maka pergilah Muhammad bin Suwailim menemui Amir Muhammad bin Saud untuk melaporkan kedatangan Muhammad bin Abdul Wahab yang baru tiba dari Uyainah untuk mendapat perlindungan dan dukungan.

Pertemuan Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ibnu Saud ini adalah awal mala petaka pada umat Islam. Pertemuan tersebut telah menjalinkan kesepakatan dan persetujuan untuk membentuk agama baru secara resmi, di dalam ranah kekuatan politik, ketenteraan dan peperangan pada 1165H / 1744M. Pertemuan tersebut dirasa sangat tepat, karena keduanya saling membutuhkan; Ibnu Sa’ud membutuhkan agamawan untuk menguatkan basis dukungan politiknya, sementara Ibnu Abdil Wahab membutuhkan penguasa untuk menjamin proses penyebaran ideologinya (Lihat: Tarikh Ali Sa’ud, hal: 9.).

Amir Ibnu Saud yang kemudian menjadi pengikut dan pendukung penuh Muhamamd bin Abdul Wahhab, memanfaatkannya untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Dia sendiri sangat patuh pada perintah Muhammad bin Abdul Wahab. Jika disuruh untuk membunuh atau merampas harta seseorang, dia segera melaksanakannya dengan keyakinan bahwa kaum muslimin telah kafir dan syirik selama 600 tahun lebih, dan membunuh orang musyrik dijamin surga.

Sejak saat itu, Dir’iyyah telah menjadi penyebaran ajaran Muhammad ibn Abdil Wahhab. Para pengikutnya pun terus bertambah berkat dukungan politik kekuasan Amir Ibnu Saud, bahkan sampai di seluruh pelosok Dir’iyyah.

Setelah mendapat cukup dukungan dan kekuasaan, Muhammad bin Abdul Wahhab mulai melancarkan serangan bersama pengikutnya barisan Muwahidin dan dia namakan sebagai jihad. Dia pun menulis surat-surat ajakannya kepada tokoh-tokoh tertentu untuk bergabung dengan gerakan barisan Muwahhidin yang dipimpin oleh dia sendiri. Menurutnya, pergerakan ini merupakan pembaharuan tauhid demi membasmi syirik, bidah dan khurafat di negeri mereka masing-masing. Untuk langkah awal pergerakan itu, dia memulai di negeri Najed. Ia pun mula mengirimkan surat-suratnya kepada ulama-ulama dan penguasa-penguasa di sana.

Memulai Pergerakan Melalui Surat-menyurat

Muhammad bin Abdul Wahhab menempuh pelbagai macam dan cara, dalam menyampaikan ajarannya, bahkan bermacam-macam tindakan dihalalkan. Ia mulai dengan menulis surat kepada para ulama dan umara. Dalam surat yang ia kirimkan, Muhammad bin Abdul Wahhab tidak ragu menuduh syirik dan mengkafirkan para ulama dan umara tersebut.

Dalam sebuah surat yang dilayangkan kepada Syeikh Sulaiman bin Suhaim seorang ulama madzhab Hanbali pada zamannya, Muhamad bin Abdul Wahhab menuliskan: “Aku mengingatkan kepadamu bahwa engkau bersama ayahmu telah dengan jelas melakukan perbuatan kekafiran, syirik dan kemunafikan…! Engkau bersama ayahmu siang dan malam sekuat tenagamu telah berbuat permusuhan terhadap agama ini …! Engkau adalah seorang penentang yang sesat di atas keilmuan. Dengan sengaja melakukan kekafiran terhadap Islam. Kitab kalian itu menjadi bukti kekafiran kalian!” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 31/ Dâ’iyah Walaisa Nabiyyan, hal. 83)

Dalam surat yang dilayangkan kepada Ahmad bin Abdul Karim yang mengkritisinya. Muhamad bin Abdul Wahhab menuliskan: “Engkau telah menyesatkan Ibnu Ghonam dan beberapa orang lainnya. Engkau telah lepas dari millah (ajaran) Ibrahim. Mereka menjadi saksi atas dirimu bahwa engkau tergolong pengikut kaum musyrik” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 64)

Dalam sebuah surat yang dilayangkannya untuk Ibnu Isa yang telah melakukan argumentasi terhadap pemikirannya Muhamad bin Abdul Wahhab lantas memvonis sesat para pakar fikih (fuqoha’) secara keseluruhan. Muhamad bin Abdul Wahhab menyatakan: (Firman Allah); Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”. Rasul dan para imam setelahnya telah mengartikannya sebagai ‘Fikih’ dan itu yang telah dinyatakan oleh Allah sebagai perbuatan syirik. Mempelajari hal tadi masuk kategori menuhankan hal-hal lain selain Allah. Aku tidak melihat terdapat perbedaan pendapat para ahli tafsir dalam masalah ini.” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 2 halaman 59)

Berkaitan dengan Fakhrur Razi pengarang kitab Tafsir al-Kabir, yang bermadzhab Syafi’i Asy’ary, Muhamad bin Abdul Wahhab mengatakan: “Sesungguhnya Razi tersebut telah mengarang sebuah kitab yang membenarkan para penyembah bintang” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 355).

Betapa kedangkalan ilmu Muhamad bin Abdul Wahhab terhadap karya Fakhrur Razi. Padahal dalam karya tersebut, Fakhrur Razi menjelaskan tentang beberapa hal yang menjelaskan mengenai fungsi gugusan bintang dalam kaitannya dengan fenomena yang berada di bumi, termasuk berkaitan dengan bidang pertanian. Namun Muhamad bin Abdul Wahhab dengan keterbatasan ilmu dan kebodohannya terhadap ilmu perbintangan telah menvonisnya dengan julukan yang tidak layak, tanpa didasari ilmu yang cukup.

Tuduhan sesat, musyrik dan kafir yang dilontarkan dari Muhammad bin Abdul Wahhab tidak hanya ditujukan terhadap mereka yang berbeda paham bahkan mereka yang se-manhaj dengannya tidak luput dari tuduhan. Apalagi terhadap mereka yang berseberangan paham. Tidak heran, jika Muhammad bin Abdul Wahhab atas nama dakwah pemurnian tauhid sampai memerintahkan (baca: mewajibkan) orang lain untuk mengkafirkan Ibnu Arabi yang bermadzhab Maliki. Dia menyatakan: “Barangsiapa yang tidak mengkafirkannya (Ibnu Arabi) maka iapun tergolong orang yang kafir pula”.

Dan bukan hanya orang yang tidak mau mengkafirkan yang divonis Muhamad bin Abdul Wahhab sebagai orang kafir, bahkan yang ragu dalam kekafiran Ibnu Arabi pun divonisnya sebagai orang kafir. Ia mengatakan: “Barangsiapa yang meragukan kekafirannya (Ibnu Arabi) maka ia tergolong kafir juga”. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 25)

Pengkafiran Terhadap Kaum Muslimin
Sikap menuduh sesat, musyrik, dan kafir yang dilontarkan Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap kaum muslimin yang tidak mengikut ajarannya semakin meraja lela. Vonis ini pun tidak luput mengarah dan tertuju kepada guru-gurunya.

Di dalam kitab ad-Durar as-Saniyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah disebutkan peristiwa, suatu saat seseorang berkata kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab: ”Ajaran agama yang engkau bawa ini apakah ini bersambung (hingga Rasulullah) atau terputus?”.

Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab: ”Seluruh guru-guruku, bahkan guru-guru mereka hingga enam ratus tahun lalu, semua mereka adalah orang-orang musyrik”.
Orang tadi kemudian berkata: ”Jika demikian ajaran yang engkau bawa ini terputus! Lantas dari manakah engkau mendapatkannya?”
Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab: ”Apa yang aku serukan ini adalah wahyu ilham seperti Nabi Khadlir”.

Kemudian orang tersebut berkata: ”Jika demikian berarti tidak hanya kamu yang dapat wahyu ilham, setiap orang bisa mengaku bahwa dirinya telah mendapatkan wahyu ilham. Sesungguhnya melakukan tawassul itu adalah perkara yang telah disepakati di kalangan Ahlussunnah, bahkan dalam hal ini Ibn Taimiyah memiliki dua pendapat, ia sama sekali tidak mengatakan bahwa orang yang melakukan tawassul telah menjadi kafir” (ad-Durar as-Saniyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, hal. 42-43).

Yang dimaksud oleh Muhammad ibn Abdil Wahhab bahwa orang-orang terdahulu dalam keadaan syirik hingga enam ratus tahun ke belakang dari masanya ialah hingga tahun masa hidup Ibn Taimiyah, yaitu hingga sekitar abad tujuh dan delapan hijriyah ke belakang. Menurut Muhammad ibn Abdil Wahhab dalam rentang masa antara hidup Ibn Taimiyah, yaitu di abad tujuh dan delapan hijriyah dengan masa hidupnya sendiri yaitu pada abad dua belas hijriyah, semua orang di dalam masa tersebut adalah orang-orang musyrik. Ia memandang dirinya sendiri sebagai orang yang datang untuk memperbaharui tauhid. Dan ia menganggap bahwa hanya Ibn Taimiyah yang selaras dengan jalan dakwah dirinya. Menurutnya, Ibn Taimiyah di masanya adalah satu-satunya orang yang menyeru kepada Islam dan tauhid di mana saat itu Islam dan tauhid tersebut telah punah. Lalu ia mengangap bahwa hingga datang abad dua belas hijriyah, hanya dirinya seorang saja yang melanjutkan dakwah Ibn Taimiyah tersebut.

Klaim Muhammad ibn Abdil Wahhab ini sebenarnya sangat aneh, bagaimana ia dengan sangat berani mengakafirkan mayoritas umat Islam Ahlussunnah yang jumlahnya ratusan juta.

Dan berikut adalah contoh sebagian kecil pengkafiran yang dikemukan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab:
1.       Pengkafiran Penduduk Makkah. Dalam hal ini Muhamad bin Abdul Wahhab menyatakan: “Sesungguhnya agama yang dianut penduduk Makkah (pada zamannya .red) sebagaimana halnya agama yang karenanya Rasulullah diutus untuk memberi peringatan” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 86, dan atau pada jilid 9 halaman 291)
2.       Pengkafiran Penduduk Ihsa’ . Berkaitan dengan ini, Muhamad bin Abdul Wahhab menyatakan: “Sesungguhnya penduduk Ihsa’ di zaman (nya) adalah para penyembah berhala (baca: Musyrik)” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 113)

3.       Pengkafiran Penduduk ‘Anzah. Berkaitan dengan ini, Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan: “Mereka telah tidak meyakini hari akhir ’ (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 113)

4.       Pengkafiran Penduduk Dhufair. Penduduk Dhufair merasakan hal yang sama seperti yang dialami oleh penduduk wilayah ‘Anzah, dituduh sebagai “pengingkar hari akhir (kiamat)”. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 113)

5.       Pengkafiran Penduduk Uyainah dan Dar’iyah. Hal ini sebagaimana yang pernah disinggung terdahulu bahwa, para ulama wilayah tersebut terkhusus Ibnu Sahim al-Hanbali beserta para pengikutnya telah dicela, dicaci dan dikafirkan. Dikarenakan penduduk dua wilayah itu (Uyainah dan Dar’iyah) bukan hanya tidak mau menerima doktrin ajaran Muhamad bin Abdul Wahhab, bahkan ada usaha meng- kritisinya dengan keras. Atas dasar ini maka Muhamad bin Abdul Wahhab tidak segan-segan mengkafirkan semua penduduknya, baik ulama’nya hingga kaum awamnya. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 8 halaman 57)

6.       Pengkafiran Penduduk Wasym. Berkaitan dengan ini, Muhamad bin Abdul Wahhab telah menvonis kafir terhadap semua penduduk Wasym, baik kalangan ulama’nya hingga kaum awamnya. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 2 halaman 77)

7.       Pengkafiran Penduduk Sudair. Berkaitan dengan ini, Muhamad bin Abdul Wahhab telah melakukan hal yang sama sebagaimana yang dialami oleh penduduk wilayah Wasym. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 2 halaman 77)

Sikap ekstrim yang ditujukan Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap umat Islam dengan tuduhan-tuduhan yang tidak mendasar tersebut menimbulkan pertentangan kaum muslimin, ulama, umara, dan masyarakat. Pertentangan dan perlawahan hebat pun terjadi baik dari mereka yang memuji dakwahnya maupun yang menentangnya, bahkan aksi perlawanan itu banyak memakan korban manusia maupun harta benda. Ulama Wahabi Ibnu Ghannam dalam tarikhnya menyebutkan ada sekitar 300 perang lebih yang terjadi. Di setiap perang tersebut Ibnu Ghannam berkata, “Di tahun ini kaum muslimin memerangi kaum kafir”. Perlu dicatat bahwa itu sebenarnya adalah perang antara kaum Wahabi dengan kaum muslimin yang tidak seideologi dengan mereka.

Penentangan Terhadap Muhammad Ibnu Abdul Wahhab
Kecaman demi kecaman terhadap ajaran Muhammad bin Abdul Wahab terus berdatangan dari berbagai kalangan ulama. Asy-Syaukani dan Manzur al-Hazimi adalah salah satu ulama yang mendukung dakwah Muhammad bin Abdul Wahab sekaligus mengkritik sifat ekstrimnya. Asy-Syaukani berkata: “Akan tetapi mereka berpendapat bahwa orang yang tidak tunduk kepada pemimpin Najed dan mematuhi segala perintahnya maka orang tersebut telah keluar dari agama Islam” (Lihat al Badr ath Thaali’: 2/ 5). Sedangkan Manshur al Hazimi, meskipun ia memuji dakwahnya secara umum, tetapii a mengkritisinya dalam dua hal; (1) pengkafiran terhadap kaum muslimin hanya karena adanya perbedaan, (2) memerangi kaum muslimin tanpa dibarengi hujjah dan burhan (lihat Abjadul Ulum: 3/ 194). Syekh Shiddiq Hasan Khan juga menyatakan bahwa para ahli hadits berlepas diri dari pemahaman Wahabiyyah karena yang mereka tahu hanyalah pertumpahan darah (Lihat: Daa’iyan Walaisa Nabiyyan, hal. 133).

Para ulama al-Hanbali dimana Muhammad Ibnu Abdul Wahhab mengaku dirinya sebagai pengikut madzhab Hanbali juga ikut menolak ajarannya dan mengeluarkan hukum bahwa akidahnya adalah sesat, menyeleweng dan batil. Tokoh pertama yang mengumumkan tantangan terhadapnya adalah ayah Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri, asy-Syaikh `Abd al-Wahhab, dan diikuti oleh saudaranya, asy-Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab. Kedua-duanya adalah ulama madzhab al-Hanabilah.

Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab menulis kitab yang berjudul ash-Shawa’iq al-Ilahiyyah fi ar-Radd ‘ala al-Wahabiyyah untuk menentang dan memerangi ajaran adiknya. Di samping itu tantangan juga datang dari sepupunya `Abdullah bin al-Husain. Mufti Makkah Zaini Dahlan mengatakan: “Abdal-Wahhab, ayah Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang sholih dan merupakan seorang tokoh ahli ilmu, begitulah juga dengan saudaranya asy-Syaikh Sulaiman. Asy-Syaikh `Abdal-Wahhab dan asy-Syaikh Sulaiman, kedua-duanya dari awal ketika Muhammad Abdul Wahhab mengikuti pengajarannya di Madinah al-Munawwarah telah mengetahui pendapat dan pemikiran Muhammad yang meragukan. Kedua-duanya telah mengeritik dan mencela pendapatnya dan mereka berdua turut memperingatkan banyak orang mengenai bahayanya pemikiran Muhammad…” (lihat al-Futuhat al-Islamiyah, Vol. 2, hal.357 ).

Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab didalam kitabnya ash-Shawa’iq al-Ilahiyyah fi ar-Radd ‘ala al-Wahabiyyah menulis sebagai berikut: “Sejak zaman sebelum Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu pada zaman para imam Islam, belum pernah ada yang meriwayatkan bahwa seorang imam kaum Muslimin mengkafirkan mereka, mengatakan mereka murtad dan memerintahkan untuk memerangi mereka. Belum pernah ada seorangpun dari para imam kaum Muslimin yang menamakan negeri kaum Muslimin sebagai negeri syirik dan negeri perang, sebagaimana yang anda Muhammad Abdul Wahhab katakan sekarang. Bahkan lebih jauh lagi, anda mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan perbuatan-perbuatan ini, meskipun dia tidak melakukannya. Kurang lebih telah berjalan delapan ratus tahun atas para imam kaum Muslimin, namun demikian tidak ada seorang pun dari para ulama kaum Muslimin yang meriwayatkan bahwa mereka (para imam kaum Muslimin) mengkafirkan orang Muslim. Demi Allah, keharusan dari perkataan anda ini ialah anda mengatakan bahwa seluruh umat setelah zaman Ahmad (Ahmad bin Hanbal) -semoga rahmat Allah tercurah atasnya- baik para ulamanya, para penguasanya dan masyarakatnya semua mereka itu kafir dan murtad, Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”. (Lihat Risalah Arba’ah Qawa’id, Muhammad bin Abdul Wahhab, hal.4)

Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab juga berkata di dalam halaman 4 ini sebagai berikut: “Hari ini umat mendapat musibah dengan orang yang menisbahkan dirinya kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, menggali ilmu keduanya, tetapi tidak memperdulikan orang yang menentangnya. Jika dia diminta untuk memperlihatkan perkataannya kepada ahli ilmu, dia tidak akan melakukannya. Bahkan, dia mengharuskan manusia untuk menerima perkataan dan pemahamannya. Barangsiapa yang menentangnya, maka dalam pandangannya orang itu seorang yang kafir. Demi Allah, pada dirinya tidak ada satupun sifat seorang ahli ijtihad. Namun demikian, begitu mudahnya perkataannya menipu orang-orang yang bodoh. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Ya Allah, berilah petunjuk orang yang sesat ini, dan kembalikanlah dia kepada kebenaran.”

Ada salah seorang pengikut Wahabi menyatakan bahwa di akhir hayat Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab –saudara tua dan sekandung Muhammad bin Abdul Wahhab– telah bertaubat dan menyesali segala yang telah dilakukannya yaitu penentangan keras terhadap ajaran adiknya, Wahabisme. Penentangan itu dilakukannya dengan berupa nasehat kepada Sang adik, baik melalui lisan maupun dengan menulis surat (risalah) yang selama ini dilakukannya atas keyakinan ajaran Sang adik. Bukti-bukti konkrit, kuat dan ilmiah telah beliau sampaikan ke Sang adik, namun apa daya, ikhtiyar menerima kebenaran bukan terletak pada tangan Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab.

Begitu juga Khairuddin az-Zarkali yang bermadzhab Wahabi asal Syria. Dalam kitab “al-A’lam” jilid 3 halaman 130 dia menyatakan dalam karyanya tersebut; “Ada yang menyatakan (?) bahwa Syeikh Sulaiman bin Abdul- Wahhab telah bertaubat dalam menentang pemikiran adiknya, Muhammad bin Abdul-Wahhab”. Namun sayangnya dalam buku ini dia (az-Zarkali) tidak berani memberi isyarat tentang kebenaran pernyataan tobatnya Syeikh Sulaiman, apalagi meyakininya dengan menyebut bukti-bukti konkrit. Hal itu karena memang ketiadaan bukti yang konkrit serta otentik akan ke-taubat-an Syeikh Sulaiman dalam penentangannya atas ajaran adiknya.

Ada seorang penulis Wahabi lain asal Syria yang juga menjelaskan tentang pribadi Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Dia adalah Umar Ridho Kahhalah pengarang kitab “Mu’jam al-Mu’allifin” (lihat jilid 4 halaman 269, tentang Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab). Hanya saja terjadi perbedaan di antara kedua penulis diatas itu yaitu sewaktu menyebut tahun wafat Syeikh Sulaiman. Al-Kahhalah menyebutkan bahwa Syeikh Sulaiman wafat tahun 1206 Hijriyah. Sedangkan az-Zarkali menyebutkannya pada tahun 1210 Hijriyah. Bagaimana mereka berdua bisa membuktikan secara konkrit tentang tobatnya Syeikh Sulaiman, untuk mengetahui kapan wafatnya saja mereka masih berbeda pendapat !

Mengenai karya-karya Syeikh Sulaiman yang menangkal ajaran adiknya (Muhammad bin Abdul Wahhab), Al-Kahhalah dalam kitab “Mu’jam al-Mu’allifin” (jilid 4 halaman 269) menyebutkan judul kitab “As-Showa’iq al-Ilahiyah fi Madzhab al-Wahabiyah” (Petir-Petir Ilahi pada Madzhab Wahabisme). Begitu juga yang dinyatakan dalam kitab “Idhoh al-Maknun” (lihat jilid 2 halaman 72). Dan di dalam kitab Idhoh al-Maknun ini juga menyinggung kitab karya Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab lainnya yang berjudul “Fashlul Khitab fi Madzhab Muhammad bin Abdul Wahhab” (Seruan Utama pada Madzhab Muhammad bin Abdul Wahhab). Namun, surat panjang yang kemudian dicetak menjadi kitab yang sudah beberapa kali dicetak itu memiliki judul panjang; “Fashlul Khitab min Kitab Rabbil Arbab, wa Hadits Rasulallah al-Malak al-Wahhab, wa kalaam Uli al-Albab fi Madzhab Muhammad bin Abdul Wahhab” (Seruan Utama dari Kitab Penguasa dari segala penguasa Allah SWT, dan hadits utusan Maha Kuasa dan Maha Pemberi anugerah Muhammad SAW dan ungkapan pemilik akal sehat pada madzhab Muhammad bin Abdul Wahhab). Kitab ini telah dicetak di beberapa negara; di India pada tahun 1306 H, di Turki pada tahun 1399 H, di Mesir, Lebanon dan beberapa negara lainnya. Padahal kalau kita baca, kitab “As-Showa’iq al-Ilahiyah fi Madzhab al-Wahabiyah” adalah merupakan surat teguran Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab terhadap adiknya (Muhammad bin Abdul Wahhab) secara langsung, namun kitabnya beliau yang berjudul “Fashlul Khitab fi Madzhab Muhammad bin Abdul Wahhab” adalah surat yang ditujukan kepada “Hasan bin ‘Idan”, salah satu sahabat dan pendukung setia nan fanatik Muhammad bin Abdul Wahhab (pencetus Wahabisme). Jadi ada dua karya yang berbeda dari Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab, yang kedua-duanya berfungsi sama yaitu mengeritik ajaran Wahabisme, walaupun keduanya berbeda dari sisi obyek yang diajak bicara. Dan tidak benar jika dikatakan bahwa terjadi perubahan judul dari karya beliau tadi, karena adanya dua buku dengan dua judul yang berbeda tersebut. Kedua surat itu walaupun memiliki perbedaan dari sisi obyek yang diajak bicara (satu buat sang adik, dan satu lagi buat pendukung fanatik buta adiknya), tetapi memiliki kesamaan dari sisi kekuatan dan keilmiahan argumentasinya, baik argument dari al-Qur’an, Hadits maupun dari para Salaf Sholeh.

Tentu sebagai seorang kakak, Syeikh Sulaiman tahu betul sifat dan watak adiknya yang hidup bersamanya dari semenjak kecil. Dia paham bahwa apa yang dilakukannya akan sia-sia, tetapi apa yang dilakukannya itu tidak lain hanya sebagai argumentasi pamungkas (Itmam al-Hujjah) akan segala perbuatan adiknya. Sehingga ia berpikir, dengan begitu ia tidak akan dimintai pertanggung-jawaban lagi oleh Allah SWT kelak di akherat, sebagai seorang kakak dan seorang ulama yang dituntut harus sigap dalam melihat dan menyikapi segala penyimpangan, berdasarkan konsep “Amar Makruf Nahi Munkar” yang diperintahkan (diwajibkan) Islam. Namun secara realita, usaha Syeikh Sulaiman tidak memberi hasil. Muhammad bin Abdul Wahhab tetap menjadi Muhammad bin Abdul Wahhab Sang pencetus Wahabisme, Syeikhul Wahabiyah.

Dari keterangan diatas jelas sekali bahwa, kebenaran pernyataan yang menyatakan bahwa Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab telah bertobat merupakan pernyataan yang tidak berdasar, karena tidak ada bukti konkrit dan otentik akan kebenaran hal itu, seperti bukti tertulis karya Syeikh Sulaiman sendiri atau paling tidak orang yang sezaman dengan beliau. Yang ada hanya pengakuan-pengakuan dari para ulama Wahabi kontemporer sendiri (yang tidak mengetahui ihwal meninggalnya Syeikh Sulaiman, apalagi hidupnya) yang menyatakan bahwa Syeikh Sulaiman telah tobat dan bahkan telah mengikuti bahkan menyokong sekte ajaran adiknya. Ini adalah pembohongan yang diatas namakan Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Semua itu mereka lakukan tidak lain hanya untuk membersihkan pengaruh negatif akibat pengingkaran kakak kandung pencetus Wahabisme yang akan memberikan image buruk terhadap perkembangan sekte Wahabi ini.

Selain dari pendukung, juga ayah dan saudara kandungnya, penolak terhadap ajaran Muhammad bin Abdul Wahab juga datang dari kalangan ulama yang berseberangan pemikiran dengannya, sebut saja asy-Syekh Ibnu Afaliq al-Hanbali yang pernah mengomentari sosok Muhammad bin Abdul Wahab dengan berkata, “Dia telah bersumpah dengan sumpah yang keji bahwa orang-orang Yahudi dan kaum musyrikin lebih baik dari pada umat ini”(Lihat: Da’aawa al Munaawi`iin, hal: 163). Komentar Ibnu Afaliq ini sekiranya tidak berlebihan mengingat dalam “Al Qawaaid Al Arba’ah” Muhammad Ibn Abdil Wahab pernah menyatakan pada kaedah yang keempat, “Sesungguhnya kaum musyrikin di zaman kita lebih parah kesyirikannya dibandingkan kaum musyrikin terdahulu” (al-Qawaaid Al Arba’ah: 47). Perlu dicatat bahwa yang ia maksud dengan kaum musyrikin di zamannya itu adalah kaum muslimin yang tidak seideologi dengannya.

Asy-Syeikh Saulaiman bin Suhaim al-Hanbali pernah berkomentar, “Barang siapa yang tidak sepakat dengan segala apa yang ia (Muhammad bin Abdul Wahab) katakan dan bersaksi bahwa perkataannya itu benar, maka pasti akan divonis kafir. Dan barang siapa yang sepakat dan membenarkan segala perkataannya maka ia akan berkata kepada orang tersebut, “Kamu orang yang bertauhid”. Meskipun orang tersebut jelas-jelas fasiq”.

Ustman bin Manshur al-Hanbali as-Salafy an-Najdi yang merupakan salah satu hakim pada pemerintahan para amir Daulah Su’udiyyah II, ia pernah berkata, “Allah telah memberi ujian kepada penduduk Najed, bahkan kepada penduduk Jazirah Arab, dengan adanya orang yang keluar kepada mereka dan melakukan pengkafiran atas umat Islam, baik yang khusus (ulama) maupun orang awam, dan memerangi mereka secara umum, kecuali orang yang sepakat dengan perkataannya”. Dia juga berkata, “Akan tetapi lelaki ini (Muhammad bin Abdul Wahab) telah menjadikan ketaatan kepadanya sebagai rukun keenam dalam rukun Islam”. Bahkan saudaranya sendiri, Syekh Sulaiman bin Abdul Wahab pernah berkata, “Wahai Muhammad ibn Abdil Wahab, berapa rukun Islam?”. Ia menjawab, “Lima”. Syekh Sulaiman berkata, “Kamu menjadikannya enam. Yang keenam: orang yang tidak mengikutimu maka tidak dihukumi sebagai muslim. Ini menurutmu adalah rukun Islam yang keenam” (Lihat: Da’aawa al Munaawi`iin, hal: 164, 166, 167). Silahkan lihat juga pendapat para Ulama 4 Madzhab tentang paham Wahabi.

Ungkapan beberapa ulama di atas mengenai sosok Muhamamd bin Abdul Wahab bukanlah isapan jempol belaka. Pernyataan-pernyataan takfiri dengan mudah dapat dijumpai di dalam kitab atau risalah-risalah yang ia tulis. Agar hal ini tidak dianggap sebagai tuduhan belaka, maka sebaiknya kita simak langsung pernyataan Muhammad bin Abdul Wahab yang dinukil dari kitab karangannya sendiri maupun dari beberapa kitab yang menukilnya. Dan silahkan disimak dan dicermati dengan baik-baik diikuti oleh hati terbuka.


Kasyfu Asy-Syubhaat Karya Muhammad bin Abdul Wahab
Kitab “Kasyfu asy Syubhaat” adalah salah satu kitab karya Muhammad Ibnu Abdil Wahab yang menjelaskan secara detail doktrin ideologinya kepada para pengikutnya. Secara umum buku kecil ini didiktekan kepada para pengikutnya agar mereka memahami sifat-sifat kaum musyrikin dan sifat-sifat kaum muslimin menurut versinya sendiri. Dalam buku tersebut ia berusaha mensejajarkan kaum muslimin yang mengamalkan tabarruk, tawasul dan sejenisnya dengan kaum musyrikin di era Nabi SAW. Pensejajaran ini merupakan langkah awal untuk menghalalkan darah dan harta kaum muslimin, sebagaimana halalnya darah dan harta kaum musyrikin yang menentang dakwah Nabi SAW. Oleh karena itu, Muhammad bin Abdul Wahab tidak segan-segan memakai jalur kekerasan atau perang untuk menyebarkan dakwahnya ini di kalangan kaum muslimin.

Dalam permulaan kitab “Kasyfu Syubhaat”, Muhamamd bin Abdul Wahab berkata: “Ketahuilah –semoga Allah merahmatimu- bahwa tauhid adalah meng-Esakan Allah dalam beribadah. Itu adalah agama para rasul yang telah diutus oleh Allah kepada para hamba-Nya. Rasul pertama adalah Nuh a.s. yang telah Allah utus kepada kaumnya tatkala kaumnya ghuluww (berlebihan) pada kaum shalihin; Waddan, Suwa’an, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr” (Lihat Kasyfu asy Syubhat, hal. 49).

Pernyataan pembuka di atas, ia berusaha memberikan sebuah doktrin perdana kepada para pengikutnya bahwa Nabi Nuh a.s. mendakwahkan tauhid kepada suatu kaum yang berbuat “ghuluww” kepada kaum shalihin. Dari doktrin perdana ini ia berharap tercipta sebuah gambaran yang sama di benak setiap pengikutnya bahwa keberadaanya di tengah kaum muslimin (yang tidak seideologi) saat itu sama persis dengan keberadaan Nuh a.s. di tengah kaum musyrikin di masanya. Jika harapan itu terwujud maka dengan sangat mudah sekali para pengikutnya dapat digerakkan untuk memerangi kaum muslimin yang tidak sepaham dengannya, karena kaum muslimin saat itu akan secara otomatis tervonis musyrik dan halal untuk diperangi. Kondisi kaum Nabi Nuh a.s. saat itu tentunya sangat berbeda 180% dengan kaum muslimin yang hidup di jaman Muhammad bin Abdul Wahab. Karena kaum Nabi Nuh a.s. saat itu tidak hanya sekedar ghuluww terhadap kaum shalihin. Akan tetapi mereka secara terang-terangan telah menyatakan menyembah berhala-berhala kaum shalihin yang mereka pahat sendiri. Pernyataannya Muhammad bin Abdul Wahab di atas secara tidak langsung merupakan “takfir” terhadap kaum muslimin yang berseberangan dengan pola pikirnya.

Muhammad bin Abdul Wahab kembali berkata; “Dan rasul yang terakhir adalah Muhammad SAW, dialah yang menghancurkan gambar-gambar kaum shalihin itu. Allah mengutusnya kepada suatu kaum yang beribadah, menunaikan haji, bersedekah dan banyak berdzikir kepada Allah. Akan tetapi mereka (kaum kafir Quraisy) menjadikan sebagian makhluk sebagai perantara antara mereka dengan Allah” (Lihat Kasyfu asy Syubhat, hal. 49 dan 50).

Dari sini ia ingin menggiring pemahaman para pengikutnya agar berkesimpulan bahwa kaum muslimin tak ubahnya seperti kaum musyrikin. Dan jika Nabi Muhammad SAW memerangi kaum musyrikin dengan sifat-sifat yang telah disebutkan maka kita pun harus memerangi kaum muslimin yang telah musyrik karena memiliki kesesuaian sifat dengan kaum musyrikin di zaman Nabi. Padahal secara tinjauan historis klaim sifat-sifat tersebut tidak dapat dibenarkan. Tidak ditemukan catatan sejarah yang menyatakan bahwa kaum musyrikin beribadah, banyak berdzikir dan menunaikan haji sebagaimana cara kaum muslimin di era Muhamamd bin Abdul Wahab menunaikannya. Yang kita temukan justru kaum musyrikin tersebut menyembah berhala, tidak mengimani hari kiamat dan hari kebangkitan, serta mengingkari risalah para nabi secara keseluruhan. Bagaimana bisa disejajarkan antara kaum muslimin yang mengimani nubuwwah (kenabian) dengan kaum musyrikin yang tidak mengimaninya sama sekali?!. Adakah sifat-sifat pengingkaran tersebut dalam diri kaum muslimin yang menyelisihi ajaran Muhammad bin Abdul Wahab?. Tentu jawabannya tidak ada. Permasalahan khilafiyyah semisal tabarruk, istighatsah dan tawassul menjerumuskan Muhammad bin Abdul Wahab ke dalam jurang yang sama dengan apa yang ia tuduhkan kepada lawan ideologinya; ghuluww. Ia sangat berlebihan dalam menyikapi permasalahan ini. Padahal seluruh permasalahan yang ia ingkari terhadap kaum muslimin saat itu telah menjadi amalan mayoritas umat ini dan memiliki landasan argumentasi yang kuat, baik secara historis maupun empiris.

Setelah mencoba mensejajarkan sifat kaum muslimin dengan sifat kaum musyrikin, Muhamad bin Abdul Wahab menutupnya dengan pernyataan demikian: “Jika telah terbukti bahwa mereka (kaum musyrikin) mengakui semua ini, namun tidak menjadikan mereka masuk dalam tauhid yang didakwahkan oleh Rasulullah SAW, maka kamu telah mengetahui bahwa tauhid yang mereka ingkari adalah tauhid ibadah (uluhiyyah) yang disebut oleh kaum musyrikin di zaman kita dengan sebutan i’tiqad” (Lihat Kasyfu asy Syubhat, hal. 53).

Pernyataan di atas begitu jelas bahwa Muhammad bin Abdul Wahab telah memvonis kaum muslimin yang berseberangan dengannya sebagai kaum musyrikin. Karena kata i’tiqad sering dipakai oleh para ulama dalam mengarang kitab tauhid, seperti kitab I’tiqaad wal Hidaayah ila Sabiil ar Rasyaad karya Imam Baihaqi, al-Iqtishaad fil I’tiqaad karya Imam al-Ghazali dan masih banyak lagi.

Lebih jelas lagi, Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan: “Wahai orang musyrik! Aku tidak mengetahui makna al-Quran dan Hadits Nabi SAW yang kamu gunakan untuk berdalil kepadaku” (Lihat Kasyfu asy Syubhat, hal. 66-67).

Dari pernyataan di atas kita patut mempertanyakan: Adakah kaum musyrikin yang menentang ajaran Muhammad bin Abdul Wahab dengan berdalil dari al-Quran dan Sunnah?. Pernyataan di atas semakin mempertegas bahwa yang ia maksud dengan orang-orang musyrik itu adalah kaum muslimin yang tidak mau mengikuti dakwah yang ia tawarkan. Tentunya sudah jamak diketahui bahwa benturan ideologi yang terjadi antara Muhammad bin Abdul Wahab dan lawan-lawannya sebenarnya benturan pemahaman ideologi antara sesama kaum muslimin. Bukan benturan antara Muhammad bin Abdul Wahab dengan kaum non-muslim. Hanya saja Muhammad bin Abdul Wahab terlalu berlebihan dalam memvonis syirik kaum muslimin yang berseberangan dengannya.

Sebenarnya masih banyak pernyataan-pernyataan Muhammad bin Abdul Wahab yang secara langsung maupun tidak langsung menuduh musyrik dan kafir terhadap muslim lain yang berbeda pandangan terhadapnya. Asy-Syekh Hasan bin Farhan, menemukan banyak sekali pernyataan pengkafiran dalam beberapa risalah Muhammad bin Abdul Wahab yang terkumpul dalam sebuah kitab yang berjudul “Ad-Durar As-Sunniyyah”. Diantara pernyataan tersebut ada yang langsung disematkan kepada orang tertentu, ada juga yang dipukulkan secara merata. Silahkan lihat kembali tulisan bagian: Pengkafiran Terhadap Kaum Muslimin sebelumnya.

Meski begitu, Muhammad bin Abdul Wahab membantah sikap “takfiri” yang disematkan pada dirinya. Bahkan ia menuduh balik bahwa itu hanyalah propaganda lawan ideologinya. Muhammad bin Abdul Wahab mengingkari bahwa ia telah memberhangus kitab-kitab empat madzhab (Ad Durar As Sunniyah: 1/ 34, 10/ 13), padahal di tempat yang lain ia mengatakan bahwa kitab-kitab tersebut adalah “’ainus syirk” (wujud kesyirikan) (Ad Durar: 2/ 59), juga mengingkari bahwa ia telah mengkafirkan orang-orang yang bertawassul dengan orang-orang shaleh (Ad Durar: 10/ 13). Juga mengingkari telah mengkafirkan Imam al-Busyiri sebab perkataannya dalam“nida’” (memanggil) Nabi SAW dengan sebutan “Yaa akramal khalq” (Ad Durar: 9/ 34), padahal ia mengkafirkan orang yang menyakini hal itu meskipun tidak menyebutkan nama Imam al-Busyiri. Juga mengingkari pengkafiran terhadap Ibnu Farid (Ad Durar: 9/ 34), Ibnu Arabi (Ad Durar: 9/ 34) padahal di tempat yang lain ia mengatakan bahwa Ibnu Arabi adalah lebih kafir dari pada Fir’aun. Bahkan dia juga mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan Ibnu Arabi dan kelompoknya (Ad Durar: 10/ 2, 25/ 45). Dia juga mengingkari bahwa telah mengkafirkan orang yang bersumpah (al-half) dengan selain Allah (Ad Durar: 9/ 34, 10/ 13). Juga mengingkari bahwa telah membakar kitab “Dalaailul Khairat” (9/ 80, 34), padahal tatkala mereka (orang-orang Wahabi) memasuki kota Makkah mereka membakar kitab tersebut (1/ 228) (Lihat: Daa’iyah Walaisa Nabiyyan, hal. 108- 111).

Penentangan Al-Haramain Terhadap Muhammad bin Abdul Wahhab
Ketika mana Muhammad Abdul Wahab bersama pengikutnya mengkafirkan kaum muslimin, dia telah mengutuskan sekumpulan pengikutnya untuk merusak aqidah Ulama’ al-Haramain serta memasukkan beberapa syubhat dan muslihat. Kemudian Ulama’ al-Haramain (diantara mereka ialah as-Shaikh Ahmad al-Ba Alawi, as-Shaikh Umar Abdul Rasul, as-Shaikh Aqail bin Yahya al-’Alawi, as-Shaikh Abdul Malik dan as-Shaikh Hussin al-Maghribi) bangkit lantas menolak dengan memberikan beberapa keterangan dan hujjah sehingga melemahkan mereka. Akhirnya Ulama’ al-Harmain menegaskan bahwa golongan Wahabi ini adalah jahil dan sesat, setelah meneliti bahwa aqidah yang dibawanya adalah mengkafirkan umat Islam.

Ulama’ Haramian pun menulis sepucuk surat lalu diajukan perkara tersebut kepada Qadhi as-Syar’i Mekah, yang akhirnya menjatuhkan hukuman kepada mereka yang mulhid ini ke penjara, sayangnya ada segelintir dari mereka telah berhasil meloloskan diri ke ad-Dariyah (sekarang ibu kota Wahabi yang pertama di Riyad) dengan perasan sombong dan angkuh. Peristiwa tersebut terjadi di bawah pemerintahan as-Syarif Masud bin Said bin Saad bin Zaid yang wafat pada 1153H/1732M. Muhammad bin Abdul Wahab pun meninggal pada tahun 1206H/1792M ketika berumur 90 tahun. Seterusnya gerakan ini diteruskan oleh Sulaiman bin Abdullah bin Abdul Wahab.

Di bawah Sulaiman bin Abdullah bin Abdul Wahhab, ajaran Wahabi terus disebarluaskan. Bahkan sejak 1205H-1217H, pengikut Wahabi berkali-kali mencoba menguasai Semenanjung Arabia tetapi selalu gagal. Barulah pada tahun 1217H/ 1802M Wahabi berhasil menguasai Thaif dan mengepungnya pada bulan Dzulqa’idah 1217H, lalu menawan dan membunuh laki-laki dan wanita termasuk anak-anak, sehingga tiada seorang pun yang terlepas dari kekejaman Wahabi. Setelah itu mereka merampas dan merusak segala harta benda dan melakukan perusakan yang tidak terkira dan seterusnya menuju kota Mekah. Pada akhirnya, Wahabi berhasil memasuki Mekah tahun 1218 Hijriah dan menghancurkan semua bangunan dan kubah suci, termasuk kubah yang menaungi sumur Zamzam.

Amir Mekah as-Syarif Galib saat itu tidak mampu menghalau pengrusakan yang dilakukan pengikut Wahabi yang pada waktu itu telah tiba di Jeddah. Penduduk Mekah pun ketakukan kalau-kalau apa yang menimpa penduduk Thaif akan terjadi pada mereka. Namun demikian, penduduk Mekah tidak dapat berbuat banyak untuk menghadapi mereka.

Kelompok Wahabi kemudian melantik seorang Amir as-Syarif Abdul Mu’ain yakni saudara as-Syarif Ghalib. Pada tahun 1220H Wahabi mengepung penduduk Mekah dan memutuskan segala perbekalan makanan sehingga menyebabkan penduduk Mekah kelaparan yang mengakibatkan mereka terpaksa memakan daging anjing. Melihatkan keadaan ini, Amir Mekah terpaksa mengadakan perjanjian dan perdamaian untuk menyelamatkan penduduk Mekah. Setelah masa perdamaian berakhir pada akhir bulan Dzulqa’idah tahun 1220H, Wahabi berusaha memasuki kota Mekah dan Madinah kembali.

Awal tahun 1221H Wahabi berhasil memasuki kota Madinah. Mereka kelompok Wahabi melakukan serangan terhadap kaum muslimin, merampas semua harta benda termasuk lampu dan bekas air daripada emas dan perak, permata, zamrud yang tidak ternilai harganya, lalu melakukan beberapa perbuatan keji dan buruk, sehingga menyebabkan banyak dari kalangan ulama di sana melarikan diri, diantaranya asy-Syaikh Ismail al-Barzanji, asy-Syaikh Dandrawi, dan lain sebagainya. Saat itu, ribuan Muslim melarikan diri dari Mekah dan Madinah untuk menghindari kejaran Kaum Wahabi yang bekerja sama dengan dinasti Saud.

Al-Baqi yang ada di Madinah pun jadi sasaran empuk, Jannat al-Baqi diratakan dengan tanah tanpa menyisakan apapun, termasuk nisan atau pusara. Kubah di pemakaman Baqi seperti kubah ahli bait Nabi, istri-istri, dan anak-anak Nabi tidak luput dari serangan Wahabi. Kubah-kubah tersebut dihancurleburkan. Bahkan kelompok Wahabi mencoba menghancurkan kubah pusara baginda Rasulullah SAW, namun entah dengan alasan apa usaha mereka tersebut itu dibatalkan. Sesungguhnya Maha Suci Allah yang telah memalingkan mereka daripada perbuatan keji dan melampau batas itu. Kota Madinah akhirnya di tinggalkan dalam keadaan sepi selama beberapa hari tanpa adzan, iqamah dan sholat. (Lihat Nuzhatul an-Nazirin fi Tarikh Masjid al-aw’walin wal akhirin oleh Jaafar bin Syaid Ismail al-Madani al-Barzanji).

2 comments:

  1. WAHABI atau salafy di Indonesia dan SYIAH ada6lah 2 tanduk syetan produk yahudi yg masuk langsung ke jantung islam.
    Banyak yang mengetahui kalau wahabi itu bagian dari Yahudi. Walaupun para Ulama Lulusan dari Arab dan Mesir yg #dikibuliwahabi menyebut wahabi sebagai bagian dari penegak Islam tauhid sebagaimana dikampanyekan oleh pengikut2nya di Indonesia padahal menggiring kpd aqidah tajsim dan tasybih ibnu taimiyyah.

    Sejarawan Yahudi Ishaq bin Zafi mengakui kalau wahabi itu bagian dari sekte Yahudi. Dalam buku Ensiklopedia Sekte-Sekte Yahudi tahun 1957 M dituliskan :
    "Ishaq ibn Zafi (Yitzhak Ben Zvi), mantan presiden ke 2 Israel menerbitkan buku tentang Dunamah (salah satu Sekte Yahudi) dalam Bahasa Ibrani, lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh seorang berkebangsaan Yahudi bernama Yitzhak Abade. Buku terjemah ini diterbitkan Penerbit Yahudi di Amerika thn 1957. dicetak ulang thn 1961. Yitzhak Ben Zvi berkata: “Terdapat beberapa kelompok keagamaan yang senantiasa menganggap diri mereka bagian dari Bani Israel, meski ada perbedaan tradisi dengan Bangsa Yahudi mainstream, mereka secara terus menerus mempraktikkan syiar-syiar Agama Yahudi. Di antara kelompok2 itu adalah -Samiriyyun. Dan di antara mereka ada sebuah kelompok penting lain, yaitu Wahhabiyyah. Kelompok ini secara lahiriah muslim, tapi secara sembunyi2 mempraktekkan ritual-Yahudi."
    Wahabi memiliki sifat yang sama dengan satu sekte nya, bangsa Yahudi, menghalalkan segala cara (meski dengan dalih sunnah), memfitnah, mengubah isi kitab kuning, menuduh orang lain kafir, syirik, sesat, bid'ah dll.
    Wahabiyyah adalah nama yg disematkan oleh Sulaiman bin Abdul Wahab kepada saudaranya yakni Muhammad bin Abdul Wahab. Terdapat pembohongan oleh para ulama salafy mengatakan wahabiyyah adalah kelompok yg didirikan oleh Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum pada abad ke 2 H. Padahal Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum adalah pengikut wahbiyyah. Dalam kitab Tarikh Ibnu Khaldun dijelaskan bahwa :
    وكان يزيد قد أذل الخوارج ومهد البلاد فكانت ساكنة أيام روح ، ورغب في موادعة عبد الوهاب بن رستم وكان من الوهبية فوادعه Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum adalah pengikut Wahbiyyah. Pendirinya bernama Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi.
    http://www.muslimoderat.net/2015/09/abdul-wahhab-bin-rustum
    Islam adalah copy paste dari Al-Qur’an dan Sunnah. Adapun dalam berfiqih mengikuti 4 madzhab atau salah satunya. Beraqidah ahlussunnah waljamaah asy'ariah ataupun maturidiah. Bertasawuf seperti Al Ghazali ataupun Abdul Qodir Jaelani ataupun ulama-ulama thasawwuf yg telah masyhur. Shalat 5 wkt berjamaah di masjid bagi laki2 yg sdh baligh kecuali udzur. Yg wanita jg laksanakan sholat dan tutup aurat. Jangan berpaham wihdatul wujud, jangan berpaham mu'tazilah, jahmiah, takfiri, sekuralisme, kapitalisme, materialisme, marxisme, leninisme, komunisme, maoisme, dalam bentuk apa pun dan cara bagaimana pun, sesuai amanat TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966, UU Nomor 77 Tahun 1999 junto KUHP Pasal 107a, 107b, 107c, 107d dan 107e, jangan menyembah kuburan serta perbuatan syirik lainnya, jangan mengikuti syi'ah, jangan mengikuti ibnu taimiyyah dan murid2nya yg musyabbih dan mujassim, jangan mengikuti Mr. Hempher dan Muhammad bin Abdul wahab beserta murid muridnya yg musyabbih & mujassim + khawarij, sekte yahudi berkedok ahlussunnah wal jamaah.

    ReplyDelete
  2. Dalam poto ini?

    Berdiri no. 2 dari kanan disinyalir seorang MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB, akan tetapi, Pada tahun 1826, Joseph Nicepore Niepce memublikasikan gambar dari bayangan yang dihasilkan kameranya, yang berupa gambaran kabur atap-atap rumah pada sebuah lempengan campuran timah yang dipekakan yang kemudian dikenal sebagai foto pertama.

    Sedang Muhammad bin Abduk Wahab itu meninggal tahun 1792 M

    Jadi? Itu siapa?

    ReplyDelete

POSTER PLANTAE