MONOGAMI, POLIGAMI
Manusia memiliki naluri untuk berpasang-pasangan, dan itu adlah salah satu tanda kebesaran dari Allah, namun ada banyak pula perbedaan pendapat masalah pelaksanaan fitrah manusia yang satu ini, muncul berbagai bahasan atas pelaksanaan fitrah manusia yang satu ini, diantaranya adalah masalah MONOGAMI, POLIGAMI DAN NIKAH MUT’AH.
Ketiga masalah diatas terdapat didalamnya hajat manusia secara biologis. Kebolehan seseorang untuk melampiaskan hajat yang tersebut terakhir itu menurut islam hanya boleh dipenuhi melalui pintu pernikahan dan ketiga macam bentuk pernikahan seperti tersebut diatas dapat dijadikan solusinya, tapi masing-masing memiliki permasalahan. Untuk monogami misalnya, seseorang dihadapkan oleh persoalan keadilan dan nikah mut’ah dihadapkan oleh masalah kelanggengan. Persoalan-persoalan inilah yang nantinya akan dijadikan pertimbangan hukum dari bentuk-bentuk pernikahan seperti dimaksud. Maraknya persoalan terkait di masyarakat diperlukan penjelasan hukum untuk dapat diindahkan sehingga seseorang tidak tergelincir kepada kebutuhan sesaat dalam memenuhi kebutuhan biologisnya.
Ketiga masalah diatas terdapat didalamnya hajat manusia secara biologis. Kebolehan seseorang untuk melampiaskan hajat yang tersebut terakhir itu menurut islam hanya boleh dipenuhi melalui pintu pernikahan dan ketiga macam bentuk pernikahan seperti tersebut diatas dapat dijadikan solusinya, tapi masing-masing memiliki permasalahan. Untuk monogami misalnya, seseorang dihadapkan oleh persoalan keadilan dan nikah mut’ah dihadapkan oleh masalah kelanggengan. Persoalan-persoalan inilah yang nantinya akan dijadikan pertimbangan hukum dari bentuk-bentuk pernikahan seperti dimaksud. Maraknya persoalan terkait di masyarakat diperlukan penjelasan hukum untuk dapat diindahkan sehingga seseorang tidak tergelincir kepada kebutuhan sesaat dalam memenuhi kebutuhan biologisnya.
A.
NIKAH
MENURUT ISLAM
Tidak
sedikit orang dimasa sekarang ini yang mencari jalan pintas untuk melampiaskan
nafsu biologisnya. Padahal manusia adalah makhluk paling sempurna yang
diciptakan oleh Allah SWT yang dilengkapi rohani dan akal. Dengan kesempurnaan
tersebut manusia mampu untuk menerima dan menjalankan syariat agama. Diantara
syariat agama adalah menikah.
Mengapa
manusia harus nikah? Jawabannya karena manusia diciptakan oleh Allah
berpasangan, yaitu laki-laki dan perempuan sebagaimana dijelaskan oleh Allah
SWT:
Maha
suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa
yang ditumbuhan oleh bumi dan diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka
ketahui. (QS.Yaasiin (36):36)
Dari kehidupan
berpasangan, manusia disyariatkan untuk menjalin hubungan yang mulia,
mengembangkan keturunan, menegaskan hak dan kewajiban antara kesuanya. Untuk
itu Allah menurunkan syariat yang bertujuan menjaga harkat dan martabat serta
kehormatan manusia yang disebut dengan nikah.
Islam “Menyukai”
pernikahan dengan menyebutnya sebagai prilaku para nabi dan memasukannya
sebagai salah satu fitrah yang dimiliki oleh manusia. “Rasulullah SAW bersabda
“Empat fitrah yang dimiliki manusia, yaitu memakai pacar, wangi-wangian,
bersiwak (gosok gigi), dan nikah.”
Untuk
dijadikan sebuah perbandingan, tampaknya sebelum pembahasan nikah menurut Islam
secara lebih mendalam perlu diungkap tentang pernikahan sebelum islam
(jahiliah). Pada zaman jahiliah telah dikenal beberapa praktik perkawinan yang
merupakan warisan turun temurun dari perkawinan Romawi dan Persia. Pertama,
perkawinan pacaran (khidn), yaitu
berupa pergaulan bebas pria dan wanita sebelum perkawinan yang resmi
dilangsungkan dengan tujuan masing-masing pasangan kedua, nikah badl, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki lain
untuk saling menukar istrinya. Ketiga, nikah istibdha, yaitu seorang suami
minta kepada laki-laki kaya, bangsawan, atau orang pandai agar bersedia
mengumpulkan istrinya yang dalam keadaan suci sampai ia hamil. Setelah itu baru
si suami mengumpulkannya. Keempat, nikah raht (urunan), seorang wanita
dikumpuli oleh beberapa pria sampai hamil. Ketika anaknya lahir, lalu wanita
itu menunjuk salah satu pria yang telah mengumpulinya untuk mengakui bayi yang
telah dilahirkannya sebagai anaknya. Nikah ini sama dengan nikah baghhaaya
(nikah pelacur).
Kedatangan
Islam menghapus semua bentuk pernikahan diatas karena dipandang tidak sejalan
dengan naluriah dan kehormatan manusia serta dapat dikatakan cara binatang yang
tidak mengenal aturan. Nikah dalam syariat Islam diartikan sebagai sebuah akad
yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong
menolong antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya dengan rukun dan
syarat yang telah ditentukan Al-Qur’an menyebut nikah sebagai mitsaq
(perjanjian) antara suami dan istri sejak terjadinya akad. Hal ini dipahami
karena keduanya berjanji untuk menjalankan hak dan kewajiban masing-masing
dengan sebaik-baiknya.
Bagaimana
kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS.an-Nisaa’(4):21)
Sepasang calom
suami-istri yang ingin melangsungkan ikatan pernikahan diharuskan untuk
memenuhi syarat dan rukun nikah. Terkait dengan rukun nikah, para ulama
sepakat, terdapat lima hal yang menjadi rukun nikah:
1.
Adanya calon suami istri
2.
Wali dari calon istri
3.
Dua orang saksi
4.
Mahar (mas kawin)
5.
Ijab-kabul
B.
HIKMAH
NIKAH
Setiap
syariat yang diturunkan Allah dipastikan terdapat hikmah yang bermanfaat untuk
kehidupan manusia. Nikah sebagai bagian dari syariat Allah mengandung hikmah
didalamnya yang bermanfaat untuk orang yang melakukannya secara khusus dan
untuk masyarakat pada umumnya. Sedikitnya terdapat lima poin penting yang
penulis kutip dari pendapat Sayyid Sabi dalam kitabnya Fiqh Sunah berkaitan
dengan hikmah dari sebuah pernikahan.
1.
Nafsu se termasuk tuntutan dan selalu
meliputi kehidupan manusia, ketika tidak ada jalan keluar untuk
melampiaskan maka manusia akan dirundung
kegelisahan dan dikhawatirkan melakukan prostitusi (perinahan). Maka pernikahan
merupakan aturan yang paling baik dan jalan keluar yang menyejukan untuk memuaskan
seks manusia. Dengan nikah jasad menjadi segar, jiwa menjadi tentram dan
penglihatan akan menutupi sesuatu yang diharamkan. Ini semua terkandung dari
petunjuk Allah dalam firman-Nya:
Dan diantara tanda-tanda
kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cendrung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. ar-Ruum (30):21)
2.
Pernikahan jalan terbaik untuk
melahirkan anak, memperbanyak kelahiran, dan melestarikan kehidupan dengan
selalu menjaga keturunan.
3.
Naluri kepakan dan keibuan akan tumbuh
dan berkembang dalam menaungi anak pada masa kanak-kanak serta tumbuhnya rasa
kasih-sayang. Semua kelebihan itu tidak sempurna tanpa adanya tali pernikahan.
4.
Rasa tanggung jawab dari pernikahan
serta mengurus anak dapat membangkitkan semangat dan mencurahkan segala
kemampuan dalam memperkuat potensi diri, maka bangkitlah untuk bekerja dengan
segala kewajiban sehingga banyak kesibukan yang dapat menambah harta dan
kesuksesan. Dan tergugah semangat untuk mengeluarkan kekayaan alam dan yang
terpendam di dalamnya.
5.
Membagi-bagi pekerjaan dan membatasi
tanggung jawab pekerjaan kepada suami dan istri. Istri mengurus rumah, hingga
tertata dengan rapi, mendidik anak dan mempersiapkan “udara” segar untuk suami
agar ia dapat beristirahat untuk menghilangkan kelelahannya dan menimbulkan
semangat baru yang dapat membangkitkan semangat kerja untuk memperoleh harta
dan nafkah yang dibutuhkan. Pembagian kerja yang adil terhadap istri sesuai
dengan tugas alamiah mereka masing-masing ini karena diridhoi oleh Allah dan
pujian manusia serta menghasilkan buah yang dberkahi.
C.
HUKUM
PERNIKAHAN
Hukum nikah termasuk
perkara yang selalu dikaitkan dengan kondisi yang akan melakukannya, dengan
demikian kondisi tersebut dapat dijadikan sebagai illat (sebab) hukum. Hal yang
dapat dimaklumi bahwa kondisi seseorang tidak sama dengan yang lainnya dalam
kondisi gejolak seks dan kemampuan memberikan nafkah. Berangkat dari perbedaan
kondisi tersebut maka para ulama menghukumi nikah sesuai dengan illat (sebab)
yang ditemui dari seseorang yang akan melangsungkan pernikahan. Memperhatikan
berbagai macam illat nikah para ulama merumuskan hukum nikah sebagai berikut:
1. Wajib,
hukum ini layak dibebankan kepada orang yang telah mampu memberi nafkah,
jiwanya terpanggil untuk nikah dan jika tidak nikah dikhawatirkan terjerumus ke
lembah perzinahan. Hal ini diperkuat oleh tuntunan agama bahwa menjaga diri
dari perbuatan haram adalah wajib. Adapun bagi yang hanya memiliki keinginan
yang kuat tapi belum mampu memberi nafkah, maka lebih baik ia menahan diri. Hal
ini didasari oleh firman Allah SWT:
Dan
orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah ia menjaga kesucian (diri)nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya (QS.an-Nuur (24):33).
Salah satu cara untuk menjaga diri
ketika gejolak nafsu biologis yang memuncak bagi orang yang belum layak nikah
karena belum mampu menafkahi seperti tersebut diatas disarankan agar ia
memperbanyak puasa. Hal ini diperkuat oleh khadist Rasulullah SWA berikut ini:
“Hai para pemuda siapa diantara kalian
yang sudah mampu untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah dapat menahan
pandangan dari maksiat dan dapat menjaga kemaluan dari berbuat zina. Namun bagi
siapa yang belum mampu maka hendaklah ia berpuasa karena puasa dapat
membentengi dorongan sahwat.” (HR.Bukhari).
2. Sunah,
hukum ini pantas bagi orang yang merindukan pernikahan dan mampu memberi nafkah
tapi ia masih mampu menahan dirinya dari perbuatan zina. Maka bagi orang
seperti ini hukum nikah menjadi sunah. Akan tetapi jika demikian kondisinya,
nikah lebih baik baginya daripada membujang karena dalam nikah terdapat ibadah
yang banyak. Sedangkan membujang (tidak nikah) itu seperti para pendeta nasrani
yang dilarang oleh Rasulullah.
“Nikah kamu sekalian karena aku akan
berbanyak-banyak umat pada hari kiamat dan janganlah kamu seperti pendeta
Nasrani.”
Memperkuat anjuran nikah, Umar pernah
berkata kepada Abi Zawid, hanya sifat lemah atau melacurlah yang mencegahmu
dari nikah. Berkata Ibnu Abbas, tidak akan sempurna ibadah seseorang sampai ia
nikah.
3. Haram,
hukum ini layak bagi orang yang tidak mampu memberikan nafkah dan jika ia
memaksakan diri untuk menikah akan mengkhianati istrinya atau suaminya, baik
dalam pemberian nafkah lahiriah maupun bathiniah sehingga dengan perkawinan itu
hak-hak istri / suami tidak terpenuhi.
D.
HUKUM
MONOGAMI DAN POLIGAMI
Dalam kamus bahasa
Indonesia, monogami berarti sistem yang memperbolehkan seorang laki-laki
mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu. Dari ta’rif tersebut dapat
difahami bahwa seorang suami yang beristrikan satu istri saja tidak dua atau
tiga maka suami itu menganut monogami.
Asas momogami telah
ditetapkan oleh islam sejak lima belas abad yang lalu sebagai salah satu asas
perkawinan dalam islam. Tujuannya untuk memberikan landasan dan modal utama
dalam pembinaan kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
Oleh karena itu, hukum asal perkawinan
dalam islam adalah monogami. Hukum ini sangatlah beralasan karena dengan
monogami tujuan pernikahan untuk menghantarkan keluarga bahagia akan lebih
mudah karena tidak terlalu banyak beban. Selain dengan bermonogami juga akan
lebih mudah untuk menetralisir dan meredam sifat cemburu, iri hati, dan
perasaan mengeluh dalam kehidupan sehari-hari. Islam memerintahkan kepada
laki-laki untuk nikah dengan seorang perempuan yang dicintainya. Bagi
laki-laki, selayaknya sikap monogami ini dipertahankan jika tidak ada alasan
yang dapat dibenarkan untuk beristri lebih dari satu, seperti si istri ternyata
mandul. Sekali lagi pada asalnya hukum islam menetapkan kepada laki-laki untuk
beristri satu saja. Isyarat Alqur’an untuk bermonogami bagi laki-laki dapat
kita fahami dari berbagai ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kepada laki-laki
untuk menikah jika sudah mampu. Sikap membujang berkepanjangan tanpa alasa
adalah sikap yang tidak dibenarkan, karena dalam nikah terdapat banyak
kebaikan. Hal ini dapat dilihat dalam Al-Qur’an antara lain:
Dan
kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang
layak ((berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
karunianya. Dan Allam maha luas (pemberi – Nya) lagi maha mengetahui. (QS.
An-nuur (24.32).
Hukum dalam islam tidak
terlepas dari ilat-nya. Asal perintah monogami dalam pernikahan dapat berubah
menjadi perintah dan poligami jiga benar-benar ditemukan ilat yang dapat
dibenarkan. Maka munculnya permasalahan baru setelah islam membolehkan monogami
yaitu permasalahan poligami. Namun sebelum lebih jauh membahas tentang hukum
poligami, tampaknya perlu diluruskan terlebih dahulu pemakaian istilah
poligami. Jika merujuk kepada makana seorang suami beristri lebih dari satu
sebenarnya istilah poligami yang sudah populer di masyarakat tidak tepat untuk
istilah itu. Karena poligami dalam kamus bahasa bisajuga berarti disamping
suami punya istri lebih dari satu juga berarti istri punya suami lebih dari
satu. Maka secara kebahasaan yang lebih tepat adalah poligini yang dalam kamus
bahasa Indonesia diartikan sebagai “sitem perkawinan yang membolehkan seorang
pria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya diwaktu yang bersamaan.” Namun
dalam tulisan ini, selanjutnya penulis cendrung untuk menggunakan istilah
poligami untuk pembahasan dimaksud, yaitu poligami yang bermakna poligini
(suami beristri lebih dari satu) karena selain bisa dibenarkan secara
kebahasaan juga istilah tersebut sudah populer penyebutannya di masyarakat
untuk laki-laki beristri lebih dari satu.
Memasuki tulisannya
tentang diperbolehkannya poligami dalam Islam, Yusuf Qardhawi menulis, bahwa
islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah manusia, mengakui fakta yang
dapat membimbing dan menjauhkan manusia dari perbuatan dungu. Inilah kenyataan
yang “memaksa” islam memperbolehkan poligami. Sebelum islam datang, agama-agama
terlebih dahulu lebih dahulu memperbolehkan praktek poligami sampai seratus
istri tanpa adanya syarat dan aturan. Itulah kultur yang terjadi pada
masyarakat dahulu. Islam datang tidak menghapus secara sertamerta sistem
poligami “jahiliyah”’ yang sudah mendarah daging namun membangun peraturan
poligami, yaitu dengan adanya pembatasan jumlah istri tidak boleh lebih dari
empat disamping adanya syarat-syarat lain yang berhubungan dengan keadilan.
Tercatat dalam sejarah bahwa seorang sahabat bernama Ghailan al-Tsaqafi, ketika
ia masuk Islam beristrikan sepuluh orang. Lalu Nabi berkata kepadanya “pilih
empat dan sisanya ceraikan”. Lalu banyak orang bertanya, bagaimna dengan
Rosulullah yang punya istri lebih dari empat? Ini adalah sebuah keistimewaan
dari Allah karena keperluan dakwah Rasul dan kebutuhan kehadiran para istri
Nabi setelah Nabi wafat.
E.
KEBOLEHAN
POLIGAMI
Dimasyarakat
seperti sekarang ini, sikap poligami bagi sebagian laki-laki seakan menjadi
suatu yang dianggap mudah untuk dilakukan karena hanya semata mengikuti nafsu
biologis dan tidak mengikuti aturan yang sebenarnya. Memang pada awalnya hukum
poligami itu diperbolehkan jika seorang suami tiadak dikhawatirkan berbuat
zhalim terhadap istri-istrinya. Jika dipastikan akan berlaku zhalim, maka
seorang suami lebih baik beristri satu saja.
Islam
diperuntukan untuk semua jenis dan golongan manusia serta memelihara
kepentingan dan ka-maslahat-an yang bersifat peribadi dan umum. Tampaknya dan
ke-maslahat-an yang bersifat pribadi dan umum. Tampaknya kebolehan poligami itu
karena untuk mewujudkan ke-maslahat-an bagi manusia agar tidak berlaku zina dan
tidak terjatuh kedalam pintu kemaksiatan. Dengan kata lain menurut Mahmud
Syaltut, bahwa pada asalnya Islam memerintahkan laki-laki untuk beristri satu,
boleh beristri lenih dari satu jika dipandang darurat. Apa yang dimaksud dengan
darurat tersebut? Menurut Yusuf Qardhawi, kondisi darurat yang dengannya
seorang laki-laki dibolehkan berpoligami adalah sebagai berikut:
1. Ditemukan
seorang suami yang menginginkan keturunan, akan tetapi ternyata istrinya tidak
dapat melahirkan anak disebabkan karena mandul atau suatu penyakit.
2. Diantara
suami ada yang memiliki orversesks, akan tetapi istrinya memiliki kelemahan
seks, memiliki penyakit atau masa haidnya terlalu panjang sedangkan seorang
suami tidak sabar menghadapi kelemahan istri tersebut..
3. Jumlah
wanita lebih banyak dibanding jumlah laki-laki, khususnya setelah terjadi
peperangan. Disitu terdapat ke-maslahat-an yang harus didapat oleh sebuah
masyarakat dan para wanita yang tidak menginginkan hiduptanpa suami dan
keinginan hidup tenang, cinta dan terlindungi serta menikmati sifat keibuan.
Namun
permasalahan yang harus dihadapi bahwa
diperbolehkannya seorang suami untuk beristri lebih dari satu bukan hanya
dikarenakan kondisi mendesak sebagaimana tersebut di atas. katakanlah itu
adalah pasal yang harus dimiliki seorang suami sebelum berpoligami. Namun ada
pasal penting lainnya yang wajib dipenuhi setelah poligami itu terealisasi,
yaitu seorang suami harus berlaku adil dalam memberikan nafkah terhadap
istri-istrinya adalah konsekuensi dari tindakan berpoligami dalam Islam. Sikap
adil dimaksud berarti seorang suami harus dapat memenuhi hak dan kewajibannya
terhadap istri-istrinya secara proposional sesuai dengan kebutuhan secara
wajar.
Nafkah
itu ada yang bersifat lahiriah, yaitu nafkah yang bersifat materi dan ada yang
bersifat batiniah (imateril). Sehubungan dengan pembagian nafkah tersebut, maka
keadilanpun terbagi menjadi dua yaitu keadilan dalam memberikan nafkah lahiriah
dan keadilan dalam memberi nafkah batiniah. Pada keadilan bentuk pertama,
seorang suami dituntut untuk berlaku adil pada istri-istrinya dalam memberikan
makan, minum, pakaian, rumah, serta waktu giliran. Pemenuhan rasa keadilan
bentuk pertama ini sangat mungkin dapat dilakukan oleh seorang suami terhadap
iatri-istrinya. Maka jika seorang suami tidak dapat berlaku adil dalam nafkah
lahir yang mengakibatkan istri-istri teralimi, maka haram bagi laki-laki untuk
berpoligami. Allah SWT berfirman:
..... Kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau em[at, kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
(QS. An-Nisaa’ (4):3).
Rasulullah
bersabda:
“Siapa yang memiliki dua orang
ostri tapi ia lebih berpihak pada salah satunya, maka dihari kiamat ia berjalan
delam keadaan menarik pundaknya (miring).” (HR.Abu Daud)
Yang
dimaksud perbuatan “lebih berpihak” dalam hadis diatas adalah ketidak adlan
seorang suami dalam memenuhi hak-hak istri yang dipandang kuasa bagi suami
untuk memenuhinya, seperti nafkah lahir dan waktu gilir.
Terkait
dengan keadilan bentuk kudua yakni keadilan yang bersifat batin kecendrungan
hati/cinta. Usaha untuk berlaku adil dalam membagi cinta kepada istri-istri
inilah yang sesungguhnya sangat berat bagi seorang suami. Dan hal ini sudah
dipastikan tidak dapat dilakuakn oleh seorang suami untuk berlaku adil
sebagaimana yang di isyaratkan
Dan kamu sekali-kali tidak akan
dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cendrung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu
mengadakan perbaikan dan memelihara diri (darikecurangan), maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-nisaa’ (4):129).
Seandainya
keadilan membagi cinta ini menjadi syarat yang mutlak bagi seorang suami, maka
akan tertutup hukum kebolehan bagi seorang suami untuk berpoligami meskipun
sudah berada pada kondisi yang darurat. Oleh karena sulitnya berlaku adil dalam
membagi cinta, maka menurut Yusuf Qardhawi ini adalah keadilan yang dimaafkan
dan diberikan toleransi, namun termaakan untuk nafkah lahir.
Dijelaskan
dalan sebuat Hadist bahwa Rasulullah adalah orang yang selalu berusaha untuk
berlaku adil sampai kepada masalah bepergian dan untuk memenuhi rasa keadilan
tersebut, Rasulullah mengundi di antara istri-istrinya. Bagi yang keluar
undiannya, maka dialah yang menjadi teman pergi bagi Rasulullah, hal ini
dilakukan oleh Rasulullah supaya tidak melukai oerasaan dan meminta kerelaan
dari istri-istri yang tidak pergi bersama Rasul.
F.
HUKUM
DARI POLIGAMI
Berpoligami
bagi sebagian orang terkadang tidak terlalu sulit untuk dilakukan.
Permasalhannya adalah tidak mudah untuk berlaku adil dalam memenuhi sesuatu
yang menjadi hak para istri. Terlihat, banyak suami yang beristri lebih dari
satu tapi sebenarnya mereka tidak mampu untuk memberikan nafkah. Motif mereka
berpoligami bukan karena masalah darurat, tapi karena ingin menurunkan hawa
nafsu seksual. Kalaupun mereka mampu memberikan nafkah, namun terkadang
perlakuan suami kepada istri-istrinya banyak berlaku tidak adil dalam pemenuhan
kebutuhan seperti makan, pakaian, tempat tinggal dan waktu bergilir.
Oleh
karena itu, alasan kebolehan berpoligami bagi sang suami dikarenakan terdapat
kondisi darurat dan syarat berlaku adil akan mengandung hikmah. Hikmah tersebut
sebagaimana dikemukakan oleh Rasyid Ridha:
1.
Untuk mendapatkan anak bagi suami yang
subur dan istri yang mandul.
2.
Menjaga keutuhan keluarga tanpa harus
mencerai istri pertama meski ia tidak berungsi semestinya sebagai istri karena
cacat fisik dan sebagainya.
3.
Untuk menyelamatkan suami yang hiperseks
dari perbuatan free sex. Tercatat dibeberapa negara barat yang melarang
poligami mengakibatkan merajalelanya praktik Prostitusi dan free sex (kumpul
kebo) dan lahirnya anak zina yang mencapai jumlah cukup tinggi.
4.
Menyelamatkan harkat dan martabat wanita
dari krisis ahlak (melacur), terutama
bagi mereka yang tinggal di negara yang jumlah wanitanya lebih banyak dibanding
laki-laki akibat peperangan misalnya.
Adapun
hikmah kebolehan Rasulullah beristri lebih dari empat bukanlah karena dorongan
hawa nafsu sebagaimna yang dituduhkan oleh kaum orientalis, tapi mengandung
hikmah yang besar, yaitu kepentingan dakwah Islam sebagaimana dikemukakan oleh
Abbas Mahmud ai-Aqqad sebagai berikut:
1.
Untuk kepentingan pendidikan dan
pengajaran agama. Semua istri nabi yang berjumlah sembilan itu dapat dijadikan
sumber informasi bagi umat islam yang hendak mengetahui ajaran-ajaran nabi dan
praktik kehidupan beliau dalam berkeluarga, bermasyarakat, terutama masalah
rumahtangga.
2.
Untuk kepentingan politik, yaitu mempersatukan
suku-suku bangsa Arab dan sekaligus menarik mereka masuk Islam. Seperti
perkawinan nabi dengan Juwariyah putri al-Harist, kepala suku bani al-Musthaliq
dan Shafiyah, seorang tokoh dari Bani Quraizhah dan Bani al-Nadhir.
3.
Untuk kepentingan sosial dan
kemanusiaan. Seperti perkawinan beliau dengan janda dermawan bernama Khadijah
dan janda pahlawan Islam seperti Saudah binti Zuma’ah (suaminya meninggal
setelah kembali dari hijrah ke Absenia), Hafsah binti Umar (suaminya gugur pada
perang Badar), Hindun Ummu Salamah (suaminya gugur di perang Uhud).
Seandainya
saja motif Rasul kawin lebih dari satu karena dorongan seks, mungkin yang
dinikahi adalah gadis-gadis cantik bangsa Arab. Tapi hal itu sama sekali tidak
dilakukan oleh Rasulullah, justru dengan Siti Khadijah yang umurnya lebih tua
15 tahun dibandingkan umur beliau. Demikian dengan istri-istri beliau yang
lain, semua dinikahi bukan karena tuntutan hawa nafsu, tapi bermotif dakwah
yang ternyata motif tersebut dapat membantu keberhasilan tugas beliau sebagai
utusan Allah. Dengan demikian, pada pernikahan Rasul terdapat hikmah yang
tinggi yang bernilai dakwah, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan. Argumentasi
logis seperti telah tersebut dapat meruntuhkan segala tuduhan negatif yang
dilontarkan oleh kaum orientalis terhadap kebolehan Rasulullah beristri lebih
dari satu.
No comments:
Post a Comment