BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Di antara amalan yang
mulia bagi manusia ialah mengikuti akhlak dan adab Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam. Salah satu adab yang dianjurkan untuk diperhatikan adalah adab
memakai pakaian atau etika berpakaian sesuai ajaran agama Islam.
Pakaian tak lepas dari
aktivitas kita sehari-hari. Tapi sayangnya sebagian dari kita ada yang luput
dan tidak memperhatikan bagaimana cara berpakaian Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasallam, terlebih buat kalangan wanita saat ini. Dimana kebanyakan
mereka lebih memilih tampil gaya ala barat dibandingkan berpakaian sesuai
syariat Islam.
Berpakaian sesuai
syariat islam hukumnya wajib bagi seluruh umat muslim di dunia. Namun budaya
berpakaian sesuai syariat islam pun saat ini sudah memudar, anak muda mulai
terpengaruh oleh budaya pakaian dari barat. Ironisnya mereka (perempuan) seakan
bangga memamerkan lukuk tubuh serta bentuk tubuhnya. Mereka (perempuan)
seringkali memamerkan bagian tertentu pada tubuh mereka dengan tujuan untuk
mendapatkan pujian dari oranglain akan indahnya tubuh mereka. Perbuatan
tersebut sudah tentu diharamkan oleh agama islam.
Tentunya kita sebagai umat manusia dan sebagai
umat muslim, kita patut menjauhi apa saja yang diharamkan dalam agama islam.
Budaya yang bukan termasuk budaya kita seharusnya kita buang jauh-jauh dari
hadapan kita. Aurat yang semestinya kita tutup janganlah kita umbar-umbar.
Oleh sebab itu pada
makalah kali ini kami akan coba membahas tentang adab adab berpakaian menurut
Islam beserta dalil-dalilnya yang shahih berdasarkan Quran dan Sunnah. Apa saja
adab memakai pakaian yang perlu diperhatikan?
B.
Tujuan
Penulisan Makalah
Tujuan dari penulisan
makalah ini adalah:
a. Memahami
dan mampu melaksanakan ketentuan-ketentuan berpakaian sesuai dengan syariat
Islam.
b. Melaksanakan
tugas mata pelajaran Pendidikan Agama Islam,
C.
Ruang
Lingkup Bahasan
a. Adab
berpakaian sesuai syariat islam.
b. Serba
serbi warna pakaian.
c. Perbedaan
Muslim dengan non muslim dalam berpenampilan.
BAB.
2
PEMBAHASAN
A.
Berpakaian sesuai syariat islam
Adab berpakaian adalah sebagai berikut :
a. Pakaian
harus menutupi aurat.
b. Pakaian
harus bersih dan rapi
c. Untuk
laki-laki, agar memakai pakaian yang panjang sampai menutupi aurat
d. Sedangkan
wanita, harus menggunakan pakaian yang menutupi anggota tubuhnya keculai wajah
dan kedua telapak tangan
e. Para
lelaki muslim, haram hukumnya menggunakan sutra dan emas. Oleh karena itu,
dilarang bagi lelaki muslim untuk menggunakan barang-barang diatas.sebagaimana
sabda Rasulullah bersabda:
Sesungguhnya
dua benda ini (emas dan sutera) haram atas lelaki ummatku. (H.R.Abu Daud)
f. Dalam
islam tidak diperkenankan lelaki memakai pakaian wanita dan sebaliknya. Karena
hal ini dapat menyebabkan “tassabuh”
g. Dalam
ajaran islam, hukumnya sunat memakai pakaian dengan diawali bagian kanan
a. Tidak
diperkenankan memakai pakaian yang mewah
b. Lebih
mengutamakan pakaian yang berwarna putih
c. Hendaklah
berpakaian yang rapi dan sopan
Adab Berpakaian Bagi
Muslimah
Terkait dengan warna
pakaian terutama pakaian perempuan, terdapat beragam sikap orang yang dapat
kita jumpai. Ada yang beranggapan bahwa warna pakaian seorang perempuan
muslimah itu harus hitam atau minimal warna yang cenderung gelap. Di sisi lain
ada yang memiliki pandangan bahwa perempuan bebas memilih warna dan motif apa
saja yang dia sukai. Sesungguhnya Allah itu maha indah dan mencintai keindahan,
kata mereka beralasan. Manakah yang benar dari pendapat-pendapat ini jika
ditimbang dengan aturan al-Qur’an dan sunnah shahihah yang merupakan suluh kita
untuk menentukan pilihan dari berbagai pendapat yang kita jumpai?
Salah satu persyaratan
pakaian muslimah yang syar’i adalah pakaian tersebut bukanlah perhiasan. Dalam
syarat ini adalah firman Allah yang artinya:
“Dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.”(QS. an Nur:31).
Dengan redaksinya yang
umum ayat ini mencakup larangan menggunakan pakaian luar jika pakaian tersebut
berstatus “perhiasan” yang menarik pandangan laki-laki.
Dari Fadhalah bin
Ubaid, dari Nabi beliau bersabda,
“Tiga jenis orang yang tidak perlu
kau tanyakan (karena mereka adalah orang-orang yang binasa). Yang pertama
adalah orang yang meninggalkan jamaah kaum muslimin yang dipimpin oleh seorang
muslim yang memiliki kekuasaan yang sah dan memilih untuk mendurhakai penguasa
tersebut sehingga meninggal dalam kondisi durhaka kepada penguasanya.Yang kedua
adalah budak laki-laki atau perempuan yang kabur dari tuannya dan meninggal
dalam keadaan demikian. Yang ketiga adalah seorang perempuan yang ditinggal
pergi oleh suaminya padahal suaminya telah memenuhi segala kebutuhan duniawinya
lalu ia bertabarruj setelah kepergian sang suami. Jangan pernah bertanya
tentang mereka.” (HR Ahmad no 22817 dll, shahih. Lihat Fiqh Sunnah lin Nisa’,
hal 387)
Sedangkan tabarruj itu
didefinisikan oleh para ulama’ dengan seorang perempuan yang menampakkan
“perhiasan” dan daya tariknya serta segala sesuatu yang wajib ditutupi karena
hal tersebut bisa membangkitkan birahi seorang laki-laki yang masih normal.
Di samping itu, maksud
dari perintah berjilbab adalah menutupi segala sesuatu yang menjadi perhiasan
(baca: daya tarik) seorang perempuan. Maka sungguh sangat aneh jika ternyata
pakaian yang dikenakan tersebut malah menjadi daya tarik tersendiri. Sehingga
fungsi pakaian tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Meski demikian anggapan
sebagian perempuan multazimah (yang komitmen dengan aturan agama) bahwa seluruh
pakaian yang tidak berwarna hitam adalah pakaian “perhiasan” adalah anggapan
yang kurang tepat dengan menimbang dua alasan.
Yang pertama, sabda
Nabi,
“Wewangian seorang laki-laki adalah
yang tidak jelas warnanya tapi nampak bau harumnya. Sedangkan wewangian
perempuan adalah yang warnanya jelas namun baunya tidak begitu nampak.” (HR.
Baihaqi dalam Syu’abul Iman no.7564 dll, hasan. Lihat Fiqh Sunnah lin Nisa’,
hal. 387)
Hadits ini
mengisyaratkan bahwa adanya warna yang jelas bukanlah suatu hal yang terlarang
secara mutlak bagi seorang perempuan muslimah.
Yang kedua, para
sahabiyah (sahabat Nabi yang perempuan) bisa memakai pakaian yang berwarna
selain warna hitam. Bukti untuk hal tersebut adalah riwayat-riwayat berikut
ini:
Dari Ikrimah, Rifa’ah
menceraikan istrinya yang kemudian dinikahi oleh Abdurrahman bin az Zubair.
Aisyah mengatakan:
“Bekas istri rifa’ah itu memiliki
kerudung yang berwarna hijau. Perempuan tersebut mengadukan dan memperlihatkan
kulitnya yang berwarna hijau. Ketika Rasulullah tiba, Aisyah mengatakan, Aku
belum pernah melihat semisal yang dialami oleh perempuan mukminah ini. Sungguh
kulitnya lebih hijau dari pada pakaiannya.” (HR. Bukhari no. 5377)
Dari Ummi Khalid binti
Khalid, Nabi mendapatkan hadiah berupa pakaian berwarna hitam berukuran kecil.
Nabi bersabda:
“Menurut pendapat kalian siapakah yang
paling tepat kuberikan pakaian ini kepadanya?” Para sahabat hanya terdiam
seribu bahasa. Beliau lantas bersabda, “Bawa kemari Ummi Khalid (seorang anak
kecil perempuan yang diberi kunyah Ummi Khalid)” Ummi Khalid dibawa ke hadapan
Nabi sambil digendong. Nabi lantas mengambil pakaian tadi dengan tangannya lalu
mengenakannya pada Ummi Khalid sambil mendoakannya, “Moga awet, moga
awet.”Pakaian tersebut memiliki garis-garis hijau atau kuning. Nabi kemudian
berkata,“Wahai Ummi khalid, ini pakaian yang cantik.” (HR. Bukhari no. 5823)
Meski ketika itu Ummi
Khalid belum balig namun Nabi tidak mungkin melatih dan membiasakan anak kecil
untuk mengerjakan sebuah kemaksiatan. Sehingga hadits ini menunjukkan bolehnya
seorang perempuan mengenakan pakaian berwarna hitam yang bercampur dengan
garis-garis berwarna hijau atau kuning. Jadi pakaian tersebut tidak murni
berwarna hitam.
Dari al Qasim bin
Muhammad bin Abi Bakr, “Sesungguhnya Aisyah memakai pakaian yang
dicelup dengan ‘ushfur saat beliau berihram” (HR. Ibnu Abi Syaibah 8/372,
dengan sanad yang shahih)
Pakaian
yang terdiri dari berbagai Warna warni
Pakaian yang dihias
dengan garis-garis berwarna keemasan atau berwarna perak yang menarik perhatian
laki-laki yang masih normal. (Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal. 388). Al Alusi
berkata:
“Kemudian ketahuilah bahwa menurut
kami termasuk “perhiasan” yang terlarang untuk dinampakkan adalah kelakuan
mayoritas perempuan yang bergaya hidup mewah di masa kita saat ini yaitu
pakaian yang melebihi kebutuhan untuk menutupi aurat ketika keluar dari rumah.
Yaitu pakaian dari tenunan sutra terdiri dari beberapa warna
(baca:warna-warni). Pada pakaian tersebut terdapat garis-garis berwarna
keemasan atau berwarna perak yang membuat mata lelaki normal terbelalak.
Menurut kami suami atau orang tua yang mengizinkan mereka keluar rumah dan
berjalan di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya dalam keadaan demikian itu
disebabkan kurangnya rasa cemburu. Hal ini adalah kasus yang terjadi di
mana-mana.” (Ruhul Ma’ani, 6/56, lihat Jilbab Mar’ah Muslimah, karya Al Albani
hal. 121-122).
Jika demikian keadaan
di masa beliau, lalu apa yang bisa kita katakan tentang keadaan masa sekarang!
Allahul Musta’an (Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan).
Meskipun demikian,
pakaian yang lebih dianjurkan adalah pakaian yang berwarna hitam atau cenderung
gelap karena itu adalah:
Pakaian yang sering
dikenakan oleh para istri Nabi. Ketika Shafwan menjumpai Aisyah yang tertinggal
dari rombongan, Shafwan melihat sosok hitam seorang yang sedang tidur. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Hadits dari Aisyah yang
menceritakan bahwa sesudah turunnya ayat hijab, para perempuan anshar keluar
dari rumah-rumah mereka seakan-akan di kepala mereka terdapat burung gagak yang
tentu berwarna hitam. (HR. Muslim)
B. Serba Serbi Seputar Warna
Jilbab
Putih
Lajnah Daimah (Komite
Fatwa Para Ulama’ Saudi) pernah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut:
“Apakah
seorang perempuan diperbolehkan memakai pakaian ketat dan memakai pakaian
berwarna putih?”
Jawaban Lajnah Daimah,
“Seorang perempuan tidak
diperbolehkan untuk menampakkan diri di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya
atau keluar ke jalan-jalan dan pusat perbelanjaan dalam keadaan memakai pakaian
yang ketat, membentuk lekuk tubuh bagi orang yang memandangnya. Karena dengan
pakaian tersebut, perempuan tadi seakan telanjang, memancing syahwat dan
menjadi sebab timbulnya hal-hal yang berbahaya. Demikian pula, seorang
perempuan tidak diperbolehkan memakai pakaian yang berwarna putih jika warna
pakaian semisal itu di daerahnya merupakan ciri dan simbol laki-laki. Jika hal
ini dilanggar berarti menyerupai laki-laki, suatu perbuatan yang dilaknat oleh
Nabi.” (Fatawa al Mar’ah, 2/84, dikumpulkan oleh Muhammad Musnid).
Penjelasan di atas
menunjukkan bahwa pada asalnya seorang perempuan diperbolehkan memakai pakaian
yang berwarna putih asalkan cukup tebal sehingga tidak transparan/tembus
pandang terutama ketika matahari bersinar cukup terik. Hukum ini bisa berubah
jika di tempat tersebut pakaian berwarna putih merupakan ciri khas pakaian
laki-laki maka terlarang karena menyerupai lawan jenis bukan karena warna
putih.
Oleh karena itu
pandangan miring sebagian wanita multazimah (yang komitmen dengan syariat) di
negeri kita terhadap wanita yang berwarna putih adalah pandangan yang tidak
tepat karena di negeri kita pakaian berwarna putih bukanlah ciri khas pakaian
laki-laki, bahkan sebaliknya menjadi ciri pakaian perempuan (Baca: Jilbab).
Pakaian
Perhiasan
Tepatnya dari Syaikh
Ali al Halabi, salah seorang ulama dari Yordania. Ketika beliau ditanya tentang
parameter untuk menilai suatu pakaian itu pakaian perhiasan ataukah bukan bagi
seorang perempuan, beliau katakan, “Parameter untuk menilai hal tersebut adalah
‘urf (aturan tidak tertulis dalam suatu masyarakat)” (Puncak, Bogor 14 Februari
2007 pukul 17:15).
Penjelasan beliau
sangat tepat, karena dalam ilmu ushul fiqh terdapat suatu kaedah:“Pengertian
dari istilah syar’i kita pahami sebagaimana penjelasan syariat. Jika tidak ada
maka mengacu kepada penjelasan linguistik arab. Jika tetap tidak kita jumpai
maka mengacu kepada pandangan masyarakat setempat (’urf ).”
Misal pengertian
menghormati orang yang lebih tua. Definisi tentang hal ini tidak kita jumpai
dalam syariat maupun dari sudut pandang bahasa Arab. Oleh karena itu
dikembalikan kepada pandangan masyarakat setempat. Jika suatu perbuatan dinilai
menghormati maka itulah penghormatan. Sebaliknya jika dinilai sebagai
penghinaan maka statusnya adalah penghinaan. Hal serupa kita jumpai dalam
pengertian pakaian perhiasan bagi seorang muslimah yang terlarang. Misal
menurut pandangan masyarakat kita pakaian kuning atau merah polos bagi seorang
perempuan yang dikenakan ketika keluar rumah adalah pakaian perhiasan maka
itulah pakaian perhiasan yang terlarang. Akan tetapi di tempat atau masa yang
berbeda pakaian dengan warna tersebut tidak dinilai sebagai pakaian perhiasan
maka pada saat itu pakaian tersebut tidak dinilai sebagai pakaian perhiasan
yang terlarang.
C.
Perbedaan
antara muslim dengan non muslim
Jangan
Tiru Mereka
Di antara kaedah
penting dalam agama kita adalah kaum muslimin baik laki-laki maupun perempuan
tidak diperbolehkan untuk menyerupai orang kafir baik dalam masalah ibadah,
hari raya maupun pakaian yang menjadi ciri khas mereka. Ini merupakan kaidah
penting dalam agama kita yang sudah tidak diindahkan oleh banyak kaum muslimin.
Patut diketahui bahwa dalil-dalil yang menunjukkan benarnya kaidah di atas
adalah banyak sekali baik dari ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi.
Berikut ini adalah di antara ayat al-Qur’an yang menunjukkan adanya kaidah di
atas.
Allah berfirman yang
artinya:
“Kemudian Kami jadikan kamu berada
di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah
syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui.” (QS. Al-Jatsiah [45]: 18)
Ibnu Taimiyyah
mengatakan:
“Dalam ayat di atas
Allah menceritakan bahwa Dia telah memberikan kenikmatan dunia dan agama untuk
Bani Israil, mereka berselisih setelah kebenaran datang kepada mereka karena
rasa dengki yang ada di antara mereka. Kemudian Allah jadikan Muhammad berada
di atas syariat dan Dia perintahkan agar diikuti. Selanjutnya Allah melarangnya
untuk mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak tahu. Termasuk ‘orang-orang
yang tidak tahu’ adalah semua orang yang menyelisihi syariat beliau. Sedangkan
yang dimaksud hawa nafsu mereka adalah semua hal yang mereka inginkan termasuk
di antaranya adalah perilaku lahiriah dari orang-orang musyrik yang merupakan
konsekuensi dan turunan dari agama mereka yang batil. Itu semua merupakan
bagian dari apa yang mereka inginkan.
Mencocoki mereka dalam
perilaku lahiriah berarti mengikuti keinginan mereka. Oleh karenanya
orang-orang kafir gembira dan bersuka cita ketika kaum muslimin mengikuti
sebagian perilaku mereka. Bahkan mereka rela mengeluarkan harta dalam jumlah
besar agar peniruan itu terjadi.
Andai meniru perilaku
lahiriah orang kafir tidak termasuk mengikuti hawa nafsu orang kafir maka tidak
disangsikan lagi bahwa menyelisihi orang kafir dalam perilaku lahiriah itu
lebih memupus kemungkinan terjerumus dalam sikap mengikuti hawa nafsu mereka
dan lebih membantu agar mendapatkan ridho Allah dengan tidak mengikuti hawa
nafsu orang kafir. Sesungguhnya meniru orang kafir dalam perilaku lahiriah itu
bisa jadi sarana untuk mengikuti orang kafir dalam hal-hal yang lain. Karena
siapa yang berani dekat-dekat dengan daerah larangan maka dia akan terjerumus
di dalamnya. Dua penjelasan di atas bermuara pada satu titik yang sama yaitu
mengikuti perilaku lahiriah orang kafir itu terlarang. Meski penjelasan yang
pertama itu lebih tepat.” (al Iqtidha’, hal. 8)
Allah berfirman yang
artinya:
“Dan seandainya kamu mengikuti hawa
nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada
pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (QS. ar-Ra’du [13]:
37)
Yang dimaksud dengan
hawa nafsu mereka dalam ayat di atas adalah ahzab (kelompok orang kafir) yang
mengingkari sebagian dari al-Qur’an. Sehingga termasuk dalam hal ini semua
orang yang mengingkari sebagian dari al-Qur’an meskipun sedikit baik Yahudi,
Nasrani ataupun yang lainnya.
Mengikuti orang kafir
dalam hal yang merupakan ciri khas mereka baik terkait dengan agama mereka atau
konsekuensi agama mereka adalah termasuk mengikuti hawa nafsu orang kafir. Bahkan
karena hal yang lebih remeh lagi seorang bisa dinilai telah mengikuti hawa
nafsu orang kafir.
Allah berfirman yang
artinya:
“Dan janganlah mereka seperti
orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian
berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan
kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. al-Hadid [57]:
16)
“Janganlah kalian seperti
orang-orang yang…” dalam ayat di atas merupakan larangan mutlak untuk
menyerupai orang-orang kafir ahli kitab. Larangan tersebut secara khusus
merupakan larangan untuk menyerupai ahli kitab dalam masalah memiliki hati yang
keras. Sedangkan hati yang keras merupakan buah dari berbagai bentuk maksiat.
Tentang
ayat ini Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 4/310 mengatakan, “Oleh karena itu Allah
melarang orang-orang yang beriman untuk tasyabbuh/menyerupai ahli kitab dalam
hal-hal pokok ataupun hal-hal yang bersifat rincian meski hanya sedikit.”
Allah
berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan
(kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah.”
Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS al Baqarah [2]: 148)
Dalam
kitab tafsirnya 1/148, Ibnu Katsir mengatakan, “Allah larang hamba-hambaNya
yang beriman untuk tasyabbuh/menyerupai orang-orang kafir baik dalam perilaku
ataupun dalam kata-kata. Orang-orang Yahudi memiliki perhatian untuk
menggunakan kata-kata yang bermakna ganda namun yang mereka maksudkan adalah
makna jelek yang terkandung dalam kata-kata tersebut. Moga Allah melaknat
mereka.
Jika
mereka ingin mengatakan kepada Nabi, “Dengarkanlah kami” mereka menggunakan
kalimat ‘Ro’inaa’ yang bisa bermakna ‘perhatikan kami’ dan bisa bermakna ‘dasar
tolol’. Sedangkan sebenarnya makna kedualah yang mereka maksudkan, sebagaimana
firman Allah (QS an Nisa’[4]:46.)
Demikian
pula terdapat beberapa hadits yang menceritakan ulah mereka. Jika orang-orang
Yahudi mengucapkan salam maka yang mereka ucapkan adalah ‘assamu ‘alaikum’
sedangkan makna assamu adalah kematian. Oleh karena itu kita diperintahkan
untuk menjawab salam mereka dengan mengatakan ‘wa ‘alaikum’. Doa kitalah yang
akan terkabul sedangkan doa mereka untuk kita tidak akan terkabul.
Ringkasnya
Allah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai (tasyabbuh) dengan
orang-orang yang kafir baik dalam kata-kata maupun dalam tingkah laku.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Qotadah dan yang lainnya menjelaskan
bahwa orang-orang Yahudi suka mengatakan ‘ro’inaa’ kepada Nabi dengan maksud
mengejek. Oleh karenanya Allah tidak suka jika orang-orang yang beriman
berkata-kata semisal kata-kata orang Yahudi. Qotadah juga mengatakan bahwa
orang-orang Yahudi sering berkata kepada Nabi, ‘Ro-’inaa sam’aka’ dengan tujuan
mengejek Nabi karena kata-kata tersebut dalam bahasa Yahudi memiliki makna yang
buruk.
Uraian
di atas menjelaskan bahwa kaum muslimin dilarang mengucapkan kata-kata tersebut
karena orang-orang Yahudi suka mengatakannya meski maksud orang Yahudi jelek
sedangkan maksud kaum muslimin dengan kata-kata tersebut tidaklah demikian.
Karena menyerupai orang-orang Yahudi dalam kata-kata tersebut berarti
menyerupai orang-orang kafir dan melapangkan jalan bagi mereka untuk mewujudkan
tujuan mereka.” (al Iqtidha’, hal. 22)
Jelaslah
dari ayat-ayat di atas bahwa meninggalkan perilaku orang-orang kafir dan
menyerupai mereka dalam perbuatan, perkataan dan hawa nafsu mereka termasuk
tujuan dan target yang dicanangkan dan diajarkan oleh al-Qur’an. Nabi pun sudah
menjelaskan dan merinci hal tersebut kepada umatnya bahkan mempraktekkannya
dalam berbagai rincian syariat. Demikian seriusnya Nabi dalam hal ini
sampai-sampai orang-orang Yahudi yang tinggal bersama beliau di kota Madinah
merasakan dan mengetahui bahwa Nabi ingin menyelisihi mereka dalam semua ciri
khas mereka.
“Dari
Anas bin Malik, Di antara kebiasaan orang-orang Yahudi jika terdapat seorang
perempuan yang dalam kondisi haid maka mereka tidak mau makan bareng bahkan
tidak mau satu atap rumah dengan perempuan tersebut. Hal tersebut ditanyakan
kepada Nabi lalu turunlah firman Allah yang artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang
haidh…” (QS. al Baqarah [2]: 222).
Nabi
lantas bersabda, “Lakukanlah segala sesuatu asal bukan hubungan biologis.”
Setelah sabda Nabi ini sampai ke telinga orang-orang Yahudi maka mereka
berkomentar, “Orang ini hanya punya keinginan untuk menyelisihi semua perilaku
kita.” (HR Muslim).” [Jilbab Mar’ah Muslimah, hal. 161-165].
Makna
kasiyatun ‘ariyatun, “Senyatanya memang wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya
dia telanjang. Karena wanita tersebut mengenakan pakaian yang tipis sehingga
dapat menampakkan kulitnya. Makna lainnya adalah dia menampakkan perhiasannya,
namun tidak mau mengenakan pakaian takwa. Makna lainnya adalah dia mendapatkan
nikmat, namun enggan untuk bersyukur pada Allah. Makna lainnya lagi adalah dia
berpakaian, namun kosong dari amalan kebaikan. Makna lainnya lagi adalah dia
menutup sebagian badannya, namun dia membuka sebagian anggota tubuhnya (yang
wajib ditutupi) untuk menampakkan keindahan dirinya.” (Faidul Qodir, 4/275)
Hal
yang sama juga dikatakan oleh Ibnul Jauziy. Beliau mengatakan bahwa
maknakasiyatun ‘ariyatun ada tiga makna.
Pertama:
wanita yang memakai pakaian tipis, sehingga nampak bagian dalam tubuhnya.
Wanita seperti ini memang memakai jilbab, namun sebenarnya dia telanjang.
Kedua:
wanita yang membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutup). Wanita ini
sebenarnya telanjang.
Ketiga:
wanita yang mendapatkan nikmat Allah, namun kosong dari syukur kepada-Nya. (Kasyful
Musykil min Haditsi Ash Shohihain, 1/1031)
Kesimpulannya
adalah kasiyatun ‘ariyat dapat kita maknakan: wanita yang memakai pakaian tipis
sehingga nampak bagian dalam tubuhnya dan wanita yang membuka sebagian aurat
yang wajib dia tutup.
Tidakkah
Engkau Takut dengan Ancaman Ini
Lihatlah
ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memakaian pakaian tetapi sebenarnya
telanjang, dikatakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “wanita seperti
itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya
tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”
Perhatikanlah
saudariku, ancaman ini bukanlah ancaman biasa. Perkara ini bukan perkara
sepele. Dosanya bukan hanya dosa kecil. Lihatlah ancaman Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam di atas. Wanita seperti ini dikatakan tidak akan masuk surga
dan bau surga saja tidak akan dicium. Tidakkah kita takut dengan ancaman
seperti ini?
An
Nawawi rahimahullah menjelaskan maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam: ‘wanita tersebut tidak akan masuk surga’. Inti dari penjelasan beliau
rahimahullah:
Jika
wanita tersebut menghalalkan perbuatan ini yang sebenarnya haram dan dia pun
sudah mengetahui keharaman hal ini, namun masih menganggap halal untuk membuka
anggota tubuhnya yang wajib ditutup (atau menghalalkan memakai pakaian yang
tipis), maka wanita seperti ini kafir, kekal dalam neraka dan dia tidak akan
masuk surga selamanya.
Dapat
kita maknakan juga bahwa wanita seperti ini tidak akan masuk surga untuk
pertama kalinya. Jika memang dia ahlu tauhid, dia nantinya juga akan masuk
surga.Wallahu Ta’ala a’lam. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)
BAB.
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
makalah diatas dapat disimpulkan bahwa adab berpakaian sangatlah di perhatikan,
khususnya bagi kaum muslim dan muslimah. Karena itu semua dapat mencerminkan
sikap, sifat,dan tingkah laku orang yang mengenakannya.
Pakaian
yang sesuai dengan syariat islam adalah pakaian yang dianjurkan oleh Nabi
Muhammad SAW , ada baiknya sebagai kaum muslimin kita mengikuti anjuran dari
nabi besar kita yaitu Nabi Muhammad SAW.
Jauhilah
larangan Allah SWT tentang membuka aurat(bagi wanita) jika tidak ingin
merasakan azab pedih dari-Nya. Naudzubillah min dzalik,semoga kita tidak
termasuk golongan seperti itu.
Demikian
makalah ini kami sampaikan. Semoga apa yang disampaikan pada makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Mohon maaf bila ada salah kata maupun salah
penyampaian bahasa,karena kesalahan datangnya dari kami dan kebenaran selalu
datang dari Allah SWT. Wabillahi’taufik wal hidayah wassalamu’alaikum wr.wb.
No comments:
Post a Comment