KRITIK SENI
Sebuah
karya seni tentunya tidak akan sempurna
100% karena seorang seniman adalah manusia, beda halnya ciptaan tuhan yang bisa
sempurna, oleh karena itu setiap karya seni pasti memiliki kekurangan, dan
kekurangan itu biasanya dapat di temukan oleh orang-orang yang memang ahli di
bidangnya, kekurangan dari karya seni tersebut biasa di ungkapkan oleh
seorang kritikus seni dalam sebuah ungkapan kritik seni.
Kritik
seni bukan sekedar mencela namun kritik seni memiliki tujuan yang positif,
tujuan utama dalam sebuah kritik seni adalah supaya ada peningkatan kualitas
dari seorang seniman dalam menciptakan karya seni selanjutnya, dan jangan salah
bahwa di sisi lain kritik seni juga dapat menaikan harga jual dari satu kaya
seni.
Seperti
sisi mata uang memang, sebuah kritik seni dapat menjatuhkan satu karya seni
dengan membuka kekurangannya, namun di sisi lain kritik seni ini juga dapat
meningkatkan pamor dari suatu karya seni.
Berikut
adalah pengertian kritik seni, jenis-jenis kritik seni, fungsi dan tujuan
kritik seni serta contoh kritik seni :
A. Pengertian Kritik Seni
Kritik
seni adalah kegiatan menanggapi karya seni untuk menunjukkan kelebihan dan
kekurangan suatu karya seni. Salah satu keterangan kelebihan dan kekurangan ini
untuk menilai kualitas dari sebuah karya.
Landasan
yang harus ada sebelum menyampaikan kritikan:
·
Pengalaman yang cukup dalam materi
kritik;
·
Keilmuan dan pengetahuan yang relevan;
·
Menguasai penerapan metode kritik yang
tepat;
·
Menguasai media kritik (kebahasaan yang
efektif dan komunikatif).
B.
Fungsi dan tujuan Kritik
Fungsi
utama dari kritik seni adalah menjembatani persepsi dan apresiasi karya seni
rupa antara seniman, karya, dan penikmat seni.
Kritik
dengan gaya bahasa tulisan maupun lisan berusaha melakukan analisa, mengupas,
dan diharapkan bisa memudahkan seniman dan penikmat seni berkomunikasi lewat
karya seni.
C. Jenis Kritik Seni
Ada 4 jenis kritik seni
dimana setiap tipe nya mempunyai ciri khusus masing-masing.
1. Kritik Jurnalistik
Tipe
kritik ini ditulis untuk para pembaca surat kabar dan majalah atau disampaikan
secara terbuka. Tujuannya memberikan informasi mengenai berbagai peristiwa
dalam dunia kesenian.
Isi
dari kritik jurnalistik berupa ulasan ringkasan yang jelas tentang suatu
pameran, pementasan, konser, atau jenis pertunjukan lain.
2. Kritik Pendagogik
Tipe
kritik ini diterapkan dalam kegiatan proses belajar mengajar di lembaga
pendidikan kesenian. Jenis kritik ini dikembangkan oleh guru kesenian.
Tujuannya
terutama mengembangkan bakta dan potensi artistik-estetik peserta didik agar
mempunyai kemampuan mengenali bakat dan potensinya.
3. Kritik Ilmiah
Kritik
ilmiah atau akademi ini melakukan pengkajian nilai seni secara luas, mendalam,
dan sistematis, baik dalam menganalisis maupun mengkaji banding kesejarahan
critical judgment.
Penilaian
kritik ilmiah tidak bersifat mutlak. Jenis kritik ini bersifat terbuka dan siap
dikoreksi oleh siapa saja demi penyempurnaan dan mencari nilai karya seni yang
sebenarnya.
4. Kritik Populer
Jenis
kritik ini berkembang di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tipe kritik populer
adalah suatu gejala umum dan kebanyakan dihasilkan oleh para kritikus yang
tidak ahli, terutama dilihat dari aspek profesionalisme kritisme seni.
D.
Bentuk Kritik Seni
Pendekatan
kritik seni rupa dibagi menjadi 3, berdasarkan titik tolak atau landasan yang
digunakan.
1. Pendekatan
Formalistik
Kritik
seni formalistik mengasumsikan bahwa kehidupan seni mempunyai dunia sendiri,
artinya terlepas dari realitas kehidupan keseharian yang kita alami.
Clive
Bell (tokoh kritikus formalis) berpendapat bahwa:
“art
is to be art, must be independent and self suficient“
Kriteria
kritik formalis untuk menentukan ekselensi karya seni adalah significant form,
yakni kapasitas bentuk seni yang melahirkan emosi estetis bagi pengamat seni.
2. Pendekatan Ekspresivisme
Teori
seni ekspresif menganggap karya seni sebagai ekspresi perasaan manusia. Kritik
seni ekspresivisme menentukan kadar keberhasilan seni atas kemampuannya
membangkitkan emosi secara efektif, intensif, dan penuh gairah.
3. Pendekatan Instrumentalistis
Teori
seni instrumentalistis menganggap seni sebagai sarana untuk memajukan dan
mengembangkan tujuan moral, agama, politik, dan berbagai tujuan psikologis
dalam kesenian.
Seni
dipandang sebagai instrumen untuk mencapai tujuan tertentu, nilai seni terletak
pada manfaat dan kegunaannya bagi masyarakat.
Para
kritikus instrumentalis berpendapat bahwa kreasi artistik tidak terletak pada
kemampuan seniman untuk mengelola material seni atau pun pada masalah internal
karya seni.
Contoh
Kritik Seni
Kritik Seni
Karya Lukis Mulyo Gunarso
“Ironi Dalam Sarang”
Judul karya : Ironi
dalam Sarang
Nama Seniman : Mulyo
Gunarso
Bahan : Cat Akrilik dan
pensil di atas Kanvas
Ukuran : 140 cm x 180
cm
Tahun Pembuatan : 2008
1.
Deskripsi Karya
Karya
lukis oleh Gunarso yang berjudul “Ironi dalam Sarang” masih divisualisasikan
dengan metaforanya yang khas yaitu bulu-bulu meski tidak sebagai figure
sentralnya. Material subjeknya merupakan gambar tentang semut-semut yang
mengerumuni sarang burung dan diatasnya dilapisi lembaran koran, didalamnya
terdapat berbagai macam makanan seperti, beras putih, yang diberi alas daun
pisang di atasnya terdapat seekor semut, bungkusan kertas seolah dari koran
bertuliskan ulah balada tradisi, potongan dari sayuran kol, satu butir telur
dan juga makanan yang dibungkus plastik bening, disampingya juga terdapat nasi
golong, seperti ingin menggambarkan makanan untuk kenduri. Selain itu di dalam
sarang juga terdapat kerupuk dan jajanan tradisional yang juga dibungkus
plastik bening, dan entah mengapa diantara sejumlah makanan yang berbau
tradisional juga terdapat sebuah apel merah, minuman soda bermerek coca-cola
yang tentunya bukan menggambarkan produk dalam negeri. Tumpahan coca-cola
menjadi pusat krumunan semut yang datang dari segala penjuru.
Medium
lukisan Gunarso adalah cat akrilik yang dikerjakan di atas kanvas berukuran 140
cm x 180 cm dengan kombinasi pensil pada backgroundnya membentuk garis
vertikal. Teknik yang digunakan dominan ialah dry brush yaitu teknik sapuan kuas
kering. Bentuk atau form dari karya Gunarso ialah realistik dengan gaya
surealisme. Proses penciptaannya terlihat penuh persiapan dan cukup matang
tercermin dari hasil karyanya yang rapi, rumit, dan tertata. Gunarso sepertinya
asyik bermain-main dengan komposisi.bagaimana ia mencoba menyampaikan
kegelisahanya dalam bentuk karya dua dimensi yang menyiratkan segala
kegelisahan melalui torehan kuas di kanvas dengan pilihan warna- warna yang
menjadi karakter dalam karya lukisnya.
2.
Analisis
Makna
atau isi karya seni selalu disampaikan dengan bahasa karya seni, melalui tanda
atau simbol. Ungkapan rupa dan permainan simbol atau tanda tentu tidak datang
begitu saja, ada api tentu ada asap. Begitu juga ketika kita menganalisis
sebuah karya, perlu tahu bagaimana asap itu ada, dengan kata lain, bagaimana
kejadian yang melatarbelakangi penciptaan karya. Pada dasarnya tahapan ini
ialah menguraikan kualitas unsur pendukung ‘subject matter’ yang telah dihimpun
dalam deskripsi.
Representasi
vsual ditampilkan dengan bentuk realis yang terencana, tertata dan rapi, sesuai
dengan konsep realis yang menyerupai bentuk asli suatu objek.Permainan garis
pada background dengan kesan tegak, kuat berbanding terbalik dengan bulu-bulu
yang entah disadarinya atau tidak. Penggunaan gelap terang warna juga telah
bisa memvisualisasikan gambar sesuai nyata, tetapi Gunarso tidak memainkan
tekstur disana. Kontras warna background dengan tumpahan coca-cola yang justru
jadi pusat permasalahan justru tak begitu terlihat jelas agak mengabur, begitu
juga dengan kerumunan semut-semut sedikit terlihat mengganggu, tetapi secara
keseluruhan komposisi karya Gunarso terlihat mampu sejenak menghibur mata
maupun pikiran kita untuk berfikir tentang permasalahan negri ini.
3.
Intepretasi
Setiap
karya seni pasti mengandung makna, membawa pesan yang ingin disampaikan dan
kita membutuhkan intepretasi/ penafsiran untuk memaknainya yang didahului
dengan mendeskripsikan. Dalam mendeskripsikan suatu karya seni, pendapat orang
membaca karya seni boleh saja sama tetapi dalam menafsir akan berbeda karena
diakibatkan oleh perbedaan sudut pandang atau paradigma.
Gunarso
tak pernah lepas dari hubunganya terhadap kegelisahan sosial, yang selalu
menjadi isu sosial bangsa ini. Dengan bulu-bulunya yang divisualkan dalam lukisan
sebagai simbol subjektif, yaitu menyimbolkan sebuah kelembutan, kehalusan,
ketenangan, kedamaian atau bahkan kelembutan, kehalusan tersebut bisa melenakan
dan menghanyutkan, sebagai contoh kehidupan yang kita rasakan di alam ini.
Inspirasi bulu-bulu tersebut didapatnya ketika dia sering melihat banyak
bulu-bulu ayam berserakan.
Dalam
karya ini, Gunarso mengibaratkan manusia seperti semut, yang selalu tidak puas
dengan apa yang didapat, menggambarkan tentang seorang atau kelompok dalam
posisi lebih (misalnya pejabat) yang terlena oleh iming-iming negara asing,
sehingga mereka sampai mengorbankan bahkan menjual “kekayaan” negerinya kepada
negara asing demi kepentingan pribadi maupun golonganya. Divisualkan dengan
semut sebagai gambaran orang atau manusia (subjek pelaku) yang mana dia
mengkerubuti tumpahan coca-cola sebagai idiom atau gambaran negeri asing.
Gunarso ingin mengatakan tentang ironi semut yang mengkerubuti makanan, gula,
sekarang mengkerubuti sesuatu yang asing baginya, meski cukup ganjal karena
semut memang sudah biasa dengan mengekerubuti soft drink coca-cola yang rasanya
manis. Mungkin Gunarso mengibaratkan semut tadi sebagai semut Indonesia yang
sebelumnya belum mengenal soft drink, sedangkan sarang burung sebagai gambaran
rumah tempat kita tinggal (negeri ini), yang ironisnya lagi dalam sarang
terdapat makanan gambaran sebuah tradisi yang bercampur dengan produk asing
yang nyatanya lebih diminati.
Dalam
berkarya gunarso mampu mengemas karyanya hingga memiliki karakter tersendiri
yang mencerminkan bagian dari kegelisahan, latar belakang serta konflik yang
disadurkan kepada audiens, bagaimana dia mampu menarik dan memancing audiens
untuk berinteraksi secara langsung dan mencoba mengajak berfikir tentang apa
yang dirasakan olehnya tentang issu yang terjadi di dalam negerinya,
kegelisahan tentang segala sesuatu yang lambat laun berubah.
Perkembangan
zaman yang begitu cepat, menuntut kita untuk beradaptasi dan menempatkan diri
untuk berada di tengahnya , namun itu semua secara tidak kita sadari baik itu
karakter sosial masyarakat, gaya hidup dan lain sebagainya dari barat tentunya,
masuk tanpa filter di tengah-tengah kita, seperti contoh, pembangunan gedung
dan Mall oleh orang asing di negeri kita ini begitu juga dengan minimarket,
café yang berbasis franshise dari luar negri sebenarnya merupakan gerbang pintu
masuk untuk menjadikan rakyat Indonesia semakin konsumtif dan meninggalkan
budayanya sendiri. Hal tersebut berdampak pada nasib kehidupan makhluk di
sekeliling kita atau lingkungan di sekitar kita. Gunarso seolah ingin memberi
penyadaran kepada kita, untuk memulai menyelamatkan dan melestarikannya, siapa
lagi kalau tidak dimulai dari kita?
4.
Penilaian
Penilaian
sebuah karya seni bukan berbicara mengenai baik atau buruk, salah atau benar
melainkan mengenai pemaknaan tersebut meyakinkan atau tidak. Karya seni dapat
dinilai dengan berbagai kriteria dan aspek, Barret, menyederhanakan penilaian
karya seni ke dalam 4 kategori yaitu realisme, ekspresionisme, formalism, dan
instrumentalisme. Untuk karya Gunarso kali ini, penilaian yang akan digunakan
ialah paham ekspresionisme, yang besifat subyektif, penialaian keindahan suatu
karya seni tidak hanya berdasar objek yang dilukis tetapi juga menyangkut isi
dan makna.
Karya
seni tidak lahir dari begitu saja, selalu berkaitan, berdasarkan
pengalaman-pengalaman yang pernah dirasakan sebagai sumber inspirasi potensial
, yang dimaknai sebagai pengalaman estetik. Hasil karya sebagai representasi
dari emosi-emosi modern seperti karya Gunarso, yang ingin merepresentasikan
kemelut yang terjadi dalam perkembangan negeri ini, termasuk keresahannya
mengenai hal tersebut.
Coca-cola
tidak selamanya manis, dan yang manis tak selamanya dirasakan manis oleh orang
yang berbeda. Semut yang pada dasarnya menyukai sesuatu yang bersifat manis
sehingga menjadi hal yang sangat wajar apabila semut-semut itu lebih suka
mengerumuni tumpahan coca-cola dibandingkan makanan lain yang berada dalam
sarang tersebut walaupun masih ada satu dua semut yang mengerumuni beras dan
bungkusan kerupuk.Seperti halnya manusia yang oleh Gunarso dalam karya ini
digambarkan seperti semut lebih menyukai hal-hal yang yang menyenangkan dan
menguntungkan untuk mereka tanpa mempedulikan dampak negatifnya meskipun itu
asing bagi mereka. Akan tetapi tidak semua orang ingin merasakan hal yang sama
karena masih ada orang-orang yang tetap mempertahankan sesuatu yang sejak dulu
sudah menjadi miliknya.
Dalam
pembuatan karya-karyanya Gunarso seolah tidak ingin meninggalkan bulu-bulu yang
menjadi metafornya meskipun dia telah bereksperiman dengan berbagai media dan
tema yang berbeda ,seperti yang dilakukan oleh para seniman-seniman
ekspresionis yang menciptakan bentuk-bentuk baru tanpa meninggalkan keunikan
dan individualitas mereka. Gunarso melukiskan tumpahan coca-cola sebagai pusat
kerumunan semut untuk menghadirkan penekanan emosional. Penempatan coca-cola
diantara makanan-makanan dalam negeri juga dibuat untuk membangkitkan emosi
yang melihatnya.Kelebihan dari karya Gunarso adalah bahwa karyanya ini memiliki
komposisi warna dan penempatan objek yang enak dipandang mata, dengan
warna-warna yang ditampilkannya sangat serasi dengan ide lukisan yang ia
angkat.
Tetapi
salah satu yang menjadi kekurangan karyanya adalah adanya bulu dalam lukisannya
sepertinya sedikit menganggu, alangkah lebih baik jika Gunarso menghilangkan
salah satu idiom yang terdapat dalam lukisannya, apakah itu semut-semutnya atau
bulu-bulunya. Hal itu dikarenakan dengan keberadaan semut-semut sedikit
menghilangkan/menutupi bulu-bulu dalam lukisannya yang menjadi ciri khas dalam
setiap lukisan yang ia ciptakan.
No comments:
Post a Comment