Judul : Siti Nurbaya (Kasih tak sampai)
Pengarang
: Marah Rusli
Penerbit :
Balai Pustaka (1990/ 1992)
Tempat
Terbit :
Jakarta
Tebal :
271 halaman
Pelaku : Siti Nurbaya, Samsulbahri, Datuk Maringgih,
Baginda Sulaiman, dan Sultan Mahmud.
Sinopsis
Seorang penghulu di Padang yang
bernama Sutan Mahmudsyah dengan isterinya, Siti Mariam yang berasal dari orang
kebanyakan mempunyai seorang anak tunggal laki-laki yang bernama Syamsul Bahri.
Rumah Sutan Mahmudsyah dekat dengan rumah seorang saudagar bernama Baginda
Sulaeman. Baginda Sulaeman yang mempunyai seorang anak perempuan tunggal
bernama Siti Nurbaya. Mereka itu sangat karib sehingga seperti kakak dengan
adik saja.
Pada suatu hari setelah pulang
dari sekolah, Syamsul Bahri mengajak Siti Nurbaya ke gunung Padang bersama-sama
dua orang temannya, yakni Zainularifin, anak seorang jaksa kepala di Padang
yang bernama Zainularifin akan melanjutkan sekolahnya ke Sekolah Dokter Jawa di
Jakarta. Sedang Bahtiar melanjutkan ke Sekolah Opzicther (KWS) di Jakarta pula.
Syamsul Bahri pun akan melanjutkan ke Sekolah Dokter tersebut. Pada hari yang
ditentukan, berangkatlah mereka bertamasya ke Gunung Padang. Di Gunung Padang
itulah Syamsul Bahri menyatakan cintanya kepada Siti Nurbaya dan mendapat
balasan. Sejak itulah mereka itu mengadakan perjanjian akan sehidup semati.
Pada suatu hari yang telah
ditentukan, berangkatlah Syamsul Bahri melanjutkan sekolahnya ke Jakarta.
Sekolahnya menjadi satu dengan Zainularifin.
Di Padang ada seorang orang kaya
bernama Datuk Maringgih. Ia selalu berbuat kejahatan secara halus sehingga
tidak diketahui orang lain. Kekayaannya itu didapatnya dengan cara tidak halal.
Untuk itu ia mempunyai banyak kaki tangan, antara lain ialah Pendekar Tiga,
Pendekar empat, dan Pendekar Lima.
Melihat kekayaan Baginda Sulaeman
Datuk Maringgih merasa tidak senang, maka semua kekayaan Baginda Sulaeman
diputuskan akan dilenyapkan. Dengan perantara kaki tangannya itu, dibakarlah
tiga buah toko Baginda Sulaeman, perahu-perahunya yang penuh berisi muatan
ditenggelamkannya.
Untuk memperbaiki perdagangannya
itu, Baginda Sulaeman meminjam uang kepada Datuk Maringgih sebanyak sepuluh
ribu rupiah, karena untuk mengembalikan uang pinjaman itu ia masih mempunyai
pengharapan atas hasil kebun kelapanya. Tetapi alangkah terkejutnya ketika
diketahuinya semua pohon kelapanya sudah tidak berbuah lagi. Kebun kelapanya
itu oleh para kaki tangan Datuk Maringgih diberi obat-obatan, sehingga pohon
kelapanya tidak ada yang berbuah sedikitpun. Disamping itu, karena hasutan kaki
tangan Datuk Maringgih semua langganan yang telah berhutang kepada Baginda
Sulaeman mengingkari hutangnya. Dengan demikian, tiba-tiba Baginda Sulaeman
menjadi orang yang sangat melarat, sehingga ia tidak dapat membayar hutangnya yang
sepuluh ribu rupiah itu. Barang-barangnya masih ada hanya kira-kira seharga
tujuh ribu rupiah.Karena Baginda Sulaeman tak dapat membayar utangnya, maka
Datuk Maringgih bermaksud hendak menyita barang-barang milik Baginda Sulaeman,
kecuali jika Siti Nurbaya diserahkan kepadanya sebagai istrinya. Mula-mula Siti
Nurbaya tidak sudi tetapi ketika melihat ayahnya digiring hendak dimasukkan
penjara, maka secara terpaksalah ia mau menjadi istri Datuk Maringgih walaupun
sebenarnya hatinya sangat benci padanya. Selanjutnya kejadian yang menimpa diri
ayah dan dirinya sendiri itu segera diberitahukan oleh Siti Nurbaya kepada
Syamsul Bahri di Jakarta.
Setelah setahun di Jakarta,
menjelang bulan puasa, pulanglah Syamsul Bahri ke Padang. Setelah menjumpai
orang tuanya semuanya sehat walafiat, pergilah ia ke rumah Baginda Sulaeman,
setelah ia mendengar dari Ibunya bahwa Baginda Sulaeman sakit. Sesampainya ke
tempat yang dituju, dijumpainya Baginda Sulaeman sedang terbaring karena sakit.
Tak lama setelah kedatangan Syamsul Bahri itu, datanglah Siti Nurbaya karena
ayahnya mengharapkan kedatangan. Maka berjumpalah Syamsul Bahri dengan Siti
Nurbaya. Beberapa hari kemudian, bertemu pula Syamsul Bahri dengan Siti
Nurbaya, pertemuan itu terjadi pada malam hari. Kedua asyik masyuk itu tidak
mengetahui bahwa gerak-gerik mereka itu sedang diikuti oleh Datuk Maringgih
beserta kaki tangannya. Karena tak tahan mereka itu menahan rindunya maka
merekapun berciuman. Pada waktu itulah Datuk Maringgih mendapatkan mereka dan
terjadilah percekcokan, karena mendengar kata-kata yang pedas dari Syamsul
Bahri, maka Datuk Maringgih memukulkan tongkatnya sekeras-kerasnya kepada
Syamsul Bahri. Tetapi karena Syamsul Bahri menghindarkan dirinya diambil
menyeret Siti Nurbaya, maka pukulan datuk Maringgih tidak mengenai sasarannya.
Akibatnya tersungkurlah Datuk Maringgih. Dengan segera Syamsul Bahri
menendangnya, dan karena kesakitan, berteriaklah Datuk Maringgih minta tolong.
Mendengar teriakan Datuk Maringgih itulah maka pada saat itu juga keluarlah Pendekar
Lima dari persembunyiannya dengan bersenjatakan sebilah keris.
Melihat Pendekar Lima membawa
keris itu, berteriaklah Siti Nurbaya sehingga teriakannya itu terdengar oleh
para tetangga dan Baginda Sulaeman yang sedang sakit itu, karena disangkanya
Siti Nurbaya mendapat kecelakaan maka bangkitlah Baginda Sulaeman dan segera ke
tempat anaknya itu. Tetapi karena kurang hati-hati, terperosoklah ia jatuh,
sehingga seketika itu juga Baginda Sulaeman meninggal. Ia dikebumikan di Gunung
Padang.
Pada waktu Pendekar Lima hendak
menikam Syamsul Bahri, menghindarlah Syamsul Bahri ke samping. Dan pada saat
itu juga ia berhasil menyepak tangan Pendekar Lima, sehingga keris yang ada di
tangannya terlepas. Sementara itu datanglah para tetangga yang mendengar
teriakan Siti Nurbaya tadi. Melihat mereka datang, larilah Pendekar Lima
menyelinap ke tempat yang gelap.
Di para tetangga yang datang itu,
kelihatan pula Sutan Mahmud Syah yang hendak menyelesaikan peristiwa itu.
Setelah ia mendengar penjelasan Datuk Maringgih tentang soal anaknya itu, maka
Syamsul Bahri oleh Sutan Mahmud Syah tanpa dipikirkan masak-masak lebih dulu
lagi. Pada malam hari itu juga secara diam-diam pergilah Syamsul Bahri ke Teluk
Bayur untuk naik kapal pergi ke Jakarta. Pada pagi harinya ributlah Siti Mariam
mencari anaknya. Setelah gagal mencarinya di sana-sini, maka dengan sedihnya,
pergilah Siti Maryam ke rumah saudaranya di Padangpanjang. Di sana karena rasa
kepedihannya itu, ia menjadi sakit-sakit saja.
Sejak kematian ayahnya, Siti
Nurbaya menujukan kekerasan hatinya kepada Datuk Maringgih. Ia berani mengusir
Datuk Maringgih dan tak mau mengakui suaminya lagi. Dengan rasa geram hati dan
dendam pulanglah Datuk Maringgih ke rumahnya. Ia berusaha hendak membunuh Siti
Nurbaya.
Setelah peristiwa pertengkaran
dengan Datuk Maringgih itu Siti Nurbaya tinggal di rumah saudara sepupunya yang
bernama Alimah. Di rumah itulah Siti Nurbaya mendapat petunjuk-petunjuk dan
nasihat, antara lain ialah untuk menjaga keselamatan atas dirinya, Siti Nurbaya
dinasihati oleh Alimah agar pergi saja ke Jakarta, berkumpul dengan Syamsul
Bahri. Penunjuk dan nasihat Alimah sepenuhnya diterima oleh Siti Nurbaya dan
diputuskannya, akan pergi ke Jakarta bersama Pak Ali yang telah berhenti ikut
Sultan Mahmud Syah sejak pengusiaran diri atas Syamsul Bahri tersebut. Kepada
Syamsul Bahri pun ia memberitahukan kedatangannya itu. Tetapi malang bagi Siti
Nurbaya, karena percakapannya dengan Alimah tersebut dapat didengar oleh kaki
tangan Datuk Maringgih yang memang sengaja memata-matainya.
Pada hari yang telah ditetapkan,
berangkatlah Siti Nurbaya dengan Pak Ali ke Teluk Bayur untuk segera naik kapal
menuju Jakarta. Mereka mengetahui bahwa perjalanan mereka diikuti oleh Pendekar
Tiga dan Pendekar Lima. Setelah Siti Nurbaya dan Pak Ali naik ke kapal dan
mencari tempat yang tersembunyi sekat Kapten kapal maka berkatalah Pendekar
Lima kepada Pendekar Tiga, bahwa ia akan mengikuti perjalanan Siti Nurbaya ke
Jakarta, sedang Pendekar Tiga disuruhnya pulang untuk memberitahukan peristiwa
itu kepada Datuk Maringgih. Setelah itu Pendekar Lima pun naik ke kapal dan
mencari tempat yang tersembunyi pula.
Pada suatu saat tatkala orang
menjadi ribut akibat ombak yang sangat besar, pergilah Pendekar Lima mencari
tempat Siti Nurbaya. Setelah ia mendapati Siti Nurbaya, iapun segera menyeret
Siti Nurbaya hendak membuangnya ke laut. Melihat kejadian itu Pak Ali
membelanya, tetapi iapun mendapat pukulan Pendekar Lima dan tak mampu
melawannya karena Pendekar Lima jauh lebih kuat daripadanya. Siti Nurbaya pun
berteriak sekuat-kuatnya sampai ia jatuh pingsan. Teriaknya itu terdengar oleh
orang-orang yang ada dalam kapal, lebih-lebih Kapten kapal itu. Karena takut
ketehuan akan perbuatannya itu, Pendekar Lima lari menyembunyikan dirinya. Siti
Nurbaya akhirnya diangkut orang ke suatu kamar untuk dirawatnya.
Akhirnya kapal pun tiba di
Jakarta. Di pelabuhan Tanjung Priok, Syamsul Bahri sudah gelisah menantikan
kedatangan kapal yang ditumpangi oleh kekasihnya itu. Setelah kapal itu merapat
ke darat, maka naiklah Syamsul Bahri ke kapal dan mencari Siti Nurbaya.
Alangkah terkejutnya tatkala ia mendengar dari Kapten kapal dan Pak Ali tentang
peristiwa yang terjadi atas diri Siti Nurbaya itu. Dengan diantar Kapten kapal
dan Pak Ali, pergilah Syamsul Bahri ke kamar Siti Nurbaya dirawat. Disitu
dijumpainya Siti Nurbaya yang masih dalam keadaan payah.
Pada saat itu tiba-tiba datanglah
polisi mencari Siti Nurbaya. Setelah berjumpa dengan Kapten kapal dan Syamsul
Bahri, diberitahukan kepada mereka itu bahwa kedatangannya mencari Siti Nurbaya
itu ialah atas perintah atasannya yang telah mendapat telegram dari Padang,
bahwa ada seorang wanita bernama Siti Nurbaya telah melarikan diri dengan
membawa barang-barang berharga milik suaminya dan diharapkan agar orang itu di
tahan dan dikirim kembali ke Padang. Mendengar itu mengertilah Syamsul Bahri
bahwa hal itu tidak lain akal busuk Datuk Maringgih belaka. Ia pun minta kepada
Polisi itu agar hal tersebut jangan diberitahukan dahulu kepada Siti Nurbaya,
mengingat akan kesehatannya yang menghawatirakan itu. Ia meminta kepada yang
berwajib agar kekasihnya itu dirawat dulu di Jakarta sampai sembuh sebelun
kembali ke Padang. Permintaan Syamsul Bahri itu dikabulkan setelah Dokter yang
memeriksanya menganggap akan perlunya perawatan atas diri Siti Nurbaya. Setelah
Siti Nurbaya sembuh, barulah diberitahukan hal telegram itu kepada kekasihnya.
Kabar itu diterima oleh Siri Nurbayadengan senang hati. Ia bermaksud kembali ke
Padang untuk menyelesaikan masalah yang di dakwakan atas dirinya. Setelah
permintaan Syamsul Bahri kepada yang berwajib agar perkara kekasihnya itu
diperiksa di Jakarta saja tidak dikabulkan, maka pada hari yang ditentukan,
berangkatlah Siti Nurbaya ke Padang dengan diantar oleh yang berwajib. Dalam
pemeriksaan di Padang ternyata bahwa Siti Nurbaya tidak terbukti melakukan
kejahatan seperti yang telah didakwakan atas dirinya itu. Karena itulah Siti
Nurbaya di bebaskan dan disana ia tinggal di rumah Alimah
Pada suatu hari walaupun tidak
disetujui Alimah, Siti Nurbaya membeli kue yang dijajakan oleh Pendekar Empat,
kaki tangan Datuk Maringgih. Kue yang sengaja disediakan khusus untuk Siti
Nurbaya itu telah diisi racun. Setelah penjaja kue itu pergi, Siti Nurbaya
makan kue yang baru saja dibelinya. Setelah makan kue itu terasa oleh Siti Nurbaya
kepalanya pening. Tak lama kemudian Siti Nurbaya meninggal secara mendadak itu,
terkejutlah ibu Syamsul Bahri, yang pada waktu itu sedang menderita sakit
keras, sehingga menyebabkan kematiannya. Kedua jenajah itu dikebumikan di
Gunung Padang disamping makam Baginda Sulaeman.
Kabar kematian Siti Mariam dan
Siti Nurbaya itu juga dikawatkan kepada Syamsul Bahri di Jakarta. Membaca
telegram yang sangat menyedihkan itu, Syamsul Bahri memutuskan untuk bunuh
diri. Sebelum hal itu dilakukannya ia menulis surat kepada guru dan
kawan-kawannya, demikian pula kepada ayahnya di Padang, untuk minta dari
berpisah untuk selama-lamanya. Kemudian dengan menyaku sebuah pistol, pergilah
ia ke kantor pos bersama Zainularifin untuk memasukan surat. Kabar yang sangat
menyedihkan itu dirahasiakan oleh Syamsul Bahri sehingga Zainularifin pun tidak
mengetehuinya. Sesampainya ke kantor pos Syamsul Bahri minta berpisah dengan
Zainularifin sengan alasan bahwa ia hendak pergi ke rumah seorang tuan yang
telah dijanjikannya. Zainularifin memperkenankannya, tetapi dengan tak setahu
Syamsul Bahri, ia menikuti gerak-gerik sahabatnya itu, karena mulai curiga akan
maksud sahabatnya itu.
Pada suatu tempat di kegelapan,
Syamsul Bahri berhenti dan mengeluarkan pistolnya dan kemudian menghadapkan ke
kepalanya. Melihat itu Zainularifin segera mengejarnya sambil berteriak. Karena
teriakan Zainularifin itu, peluru yang telah meletus itu tidak mengenai
sasarannya. Akhirnya kabar tentang seorang murid Sekolah Dokter Jawa Di Jakarta
yang berasal dari Padang telah bunuh diri itu tersiar kemana-mana melalui surat
kabar. Kabar itu sampai di Padang dan di dengar oleh Sutan Mahmud dan Datuk
Maringgih.
Karena perawatan yang baik,
sembuhlah Syamsul Bahri, ia minta kepada yang berwajib agar berita mengenai
dirinya yang masih hidup itu dirahasiakan setelah itu Syamsul Bahri berhenti
sekolah. Karena ia menginginkan mati, ia pun menjadi serdadu (tentara). Ia
dikirim kemana-mana antara lain ke Aceh untuk memadamkan kerusakan-kerusakan
yang terjadi di sana. Karena keberaniannya, makan dalam waktu sepuluh tahun
saja pangkat Syamsul Bahri dinaikan menjadi Letnan dengan nama Letnan Mas.
Pada suatu hari Letnan Mas
bersama kawannya bernama Letnan Van Sta ditugasi memimpin anak buahnya
memadamkan pemberontakkan mengenai masalah balasting (pajak). Sesampainya di
Padang dan sebelum terjadi pertempuran, pergilah Letnan Mas ke makam ibu dan
kekasihnya di Gunung Padang.
Dalam pertempuran dengan
pemberontak itu, bertemulah Letnan Mas dengan Datuk Maringgih yang termasuk
sebagai salah satu pemimpin pemberontak itu. Setelah bercekcok sebentar, maka
ditembaklah Datuk Maringgih oleh Letnan Mas, sehingga menemui ajalnya. Tetapi
sebelum meninggal Datuk Maringgih masih sempat membalasnya. Dengan ayunan
pedangnya, kenalah kepala Letnan Mas yang menyebabkan ia rebah. Ia rebah di
atas timbunan mayat, dan yang antara lain terdapat mayat Pendekar Empat dan
Pendekar Lima. Kemudian Letnan Mas pun diangkut ke rumah sakit. Karena
dirasakannya bahwa ia tak lama lagi hidup di dunia ini, maka Letnan Mas minta
tolong kepada dokter yang merawatnya agar dipanggilkan penghulu di Padang yang
bernama Sutan Mahmud Syah, karena dikatakannya ada masalah yang sangat penting.
Setelah Sutan Mahmud Syah datang, maka Letnan Mas pun berkata kepadanya bahwa
Syamsul Bahri masih hidup dan sekarang berada di Padang untuk memadamkan
pemberontakan, tetapi kini ia sedang dirawat di rumah sakit karena luka-luka
yang dideritanya. Dikatakannya pula kepadanya, bahwa Syamsul Bahri sekarang
bernama Mas, yakni kebalikan dari kata Sam, dan berpangkat Letnan. Akhirnya
disampaikan pula kepada Sutan Mahmud Syah, bahwa pesan anaknya kalau ia
meninggal, ia minta di kebumikan di gunung Padang diantara makam Siti Nurbaya
dan Siti Maryam. Setelah berkata itu, maka Letnan Mas meninggal.
Setelah hal itu ditanyakan oleh
Sutan Mahmud Syah kepada dokter yang merawatnya, barulah Sutan Mahmud Syah
mengetahui bahwa yang baru saja meninggal itu adalah anaknya sendiri, yakni
Letnan Mas alias Syamsul Bahri. Kemudian dengan upacara kebesaran, baik pihak pemerintah
maupun dari penduduk Padang, dinamakanlah jenazah Letnan Mas atau Syamsul Bahri
itu diantara makam Siti Maryam dan Siti Nurbaya seperti yang dimintanya.
Sepeninggal Syamsul Bahri, karena
sesal dan sedihnya maka meninggal pula Sutan Mahmud Syah beberapa hari
kemudian. Jenazahnya dikebumikan didekat makam isterinya, yakni Siti Maryam.
Dengan demikian di kuburan gunung Padang terdapat lima makam yang berjajar dan
berderet, yakni makam Baginda Sulaeman, Siti Nurbaya, Syamsul Bahri, Siti
Maryam dan Sutan Mahmud Syah.
Beberapa bulan kemudian
berziarahlah Zainularifin dan Baktiar telah lulus dalam ujiannya sehingga
masing-masing telah menjadi dokter san opzichter.
Kutipan
“Arifin, aku belum menceritakan
penglihatanku tadi malam, kepadamu, bukan?” kata Syamsul Bahri kepada
sahabatnya, pada keesokan harinya daripada malam Nurbaya kena racun, kira-kira
pukul dua siang, tatkala mereka itu pulang dari rumah tempatnya membayar makan.
“Penglihatan apa, Sam?” tanya
Arifin.
“Ajaib benar! Sampai kepada waktu
ini belum habis kupikirkan, karena belum juga kuketahui, apa itu dan apa
maksudnya?”
“Cobalah ceritakan,” kata Arifin
pula.
“Sebagai biasa,” kata Samsu,”
pukul sepuluh malam, pergilah aku tidur. Kira-kira pukul dua belas, dengan
tiada kuketahui apa sebabnya, tiba-tiba terbangunlah aku dengan terperanjat,
seperti apa yang membangunkan. Tatkala kubuka mataku, kelihatan olehku dekat
meja tulisku, sesuatu bayang-bayang putih, berdiri di belakang kursiku.
Sangatlah terperanjat aku, ketika melihat bayang-bayang itu, sebab pada
sangkaku, ia pencuri atau penjahat yang telah masuk ke dalam bilikku,”
“Tetapi kalau pencuri atau
penjahat, mengapakah berpakaian putih?” kata Arifin.
“Itulah sebabnya maka terpikir
pula olehku, barangkali aku bermimpi; lalu kupijitlah pahaku, beberapa kali.
Akan tetapi, tatkala telah nyata benar kepadaku, bahwa aku tiada tidur lagi,
barang yang putih itu masih kelihatan juga.”
“Barangkali pemandangan tiada
benar,” kata Arifin, yang belum hendak percaya hendak hilang.”
“Oleh sebab itu, kugosoklah mataku
beberapa lamanya; tetapi yang putih itu tek hendak hilang.”
“Barangkali engkau takut atau
tatkala hendak tidur, banyak mengingat perkara setan dan hantu; jadi segala
yang kau lihat, rupanya sebagai setan,” sehut Arifin pula.
“Engkau tahu sendiri, Arifin, aku
tiada penakut kepada segala yang demikian. Lagipula, tatkala baru saja kubuka
mataku, telah kelihatan bayang-bayang yang putih itu olehku. Betapa orang yang
baru bangun tidur akan takut, jika tiada bermimpi yang dahsyat!”
“Bagaimana bentuknya?” tanya
Arifin, yang rupanya mulai percaya akan cerita Samsu ini.
“Sebagai manusia, berkepala,
berbadan, bertangan, dan berkaki,” sahut Samsu,” serta memakai pakaian sutra
putih yang jarang.”
“Sebagai manusia?” tanya Arifin
yang mulai merasa takut, walaupun hari pada waktu itu pukul dua siang dan orang
penuh di jalan besar, “Hih! Seram buluku mendengar ceritamu.”
“Sesungguhnya,” jawab Samsu.
“Melihat hal yang ajaib ini, meskipun berapa beraniku, berdebar juga hatiku dan
sejurus lamanya, tidaklah tahu aku, apa yang hendak kuperbuat. Hendak
berteriak, malu rasanya. Lagipula suaraku tak hendak keluar, sebagai dicekik
orang. Hendak berdiri, badan dan kaki berat rasanya. Dibiarkan saja, takut
kalau-kalau dianiaya aku. Walaupun kuberanikan hatiku, badanku serasa kembang dan
punggungku sebagai terkena air dingin.”
“Sudah itu?” tanya Arifin, yang
makin bertambah-tambah takut.
“Tatkala kuamat-amati benar
bayang-bayang yang putih itu, kelihatanlah mukanya seperti muka Nurbaya.”
“Nurbaya?” tanya Arifin dengan
heran.
“Ya, tak ada ubahnya; hanya wajah
mukanya pucat sedikit. Sebab itu meskipun hatiku masih khawatir, dapatkah juga
kuberanikan diriku, akan mengeluarkan perkataanku, lalu bertanya,” Siapa ini?”
“Dan apa jawabnya?” tanya Arifin
dengan lekas.
“Tak apa-apa. Ia diam saja dan
tidak pula bergerak-bergerak dari tempatnya.”
“Kemudian?” tanya Arifin pula.
“Kemudian melompatlah aku, hendak
mengambil pistolku dari dalam lemari dan sudah itu, hendak kudekati dia. Tetapi
tatkala itu juga hilanglah bayang-bayang itu; entah kemana perginya tiada
kuketahui.”
“Betul berani engkau,” kata
Arifin.
“Tatkala itu datanglah takutku
dan menolehlah aku ke segenap tempat kalau-kalau dicekiknya aku dari belakang.
Tatapi tak kelihatan suatu apa lagi. Lalu kupasanglah lampu dan kuambil
pistolku dari dalam lemari. Ketika itu barulah berani aku memaksa aku kesana
kemari, ke bawah tempat tidur, ke bawah mwja dan ke belakang lemari, tetapi
suatu pun tiada kelihatan, sedang jendela dan pintu pun masih terkunci.”
“Jika aku bertemu yang denikian,
tentulah aku menjerit minta tolong, kalau masih dapat, berteriak. Kalau tidak
tentulah aku akan kaku di sana juga, karena ketakutan.”
“Setelah kututup lampu itu dengan
keras, supaia terangnya jangan kelihatan dari luar dan kutaruh pistolku dibawah
bantalku, berbaringlah aku. Tetapi sesudah itu tiadalah aku dapat tidur lagi;
pertama karena takut akan didatanginya kembali dalam tidurku, kedua memikirkan
penglihatan yang ajaib itu. Apakah itu adalah takdir! Itulah setan atau hantu!”
“Tetapi kalau hantu, mengapakah
rupanya serupa dengan Nurbaya? Yang menjadi hantu itu, bukankah kata orang yang
sudah mati, kata orang?” jawab Arifin.
“Sesungguhnya, seumur hidupku,
baru kali itu aku melihat bayang-bayang yang demikian,” jawab Samsu, yang
sekali-kali tiada mengira, bahwa Nurbaya talah mati.”Bukan mimpi tetapi
sebenar-benarnya penglihatan itu.”
“Sungguh ajaib penglihatanmu itu.
Tetapi kuharap janganlah aku sampai bertemu dengan penglihatan yang serupa itu;
takut dapat celaka.”
“Karena tak dapat tidur lagi,
terkenanglah aku akan Nurbaya dan Ibuku. Negri dan kampung halamanku kita,
serta timbulah hasrat yang amat dalam hatiku, hendak pulang meneui mereka
sekalian dan menyesallah aku, tiada dapat pergi mengantarkan Nurbaya pulang ke
Padang, baru-baru ini. Belun pernah keinginan hatiku hendak pulang sekeras tadi
malam. Dimukaku terbayang pula segala kesukaan dan kesusahan, yang telah
kurasai, sejak kita berjalan-jalan ke Gunung Padang. Nakin ku ingat nurbaya,
maki kuatir hatiku dan makin terasa pula olehku alpa dan lengahku, melepaskan
dia seorang diri, kembali kedalam mulut harimau itu. Terkadang-kadang khawatir
hatiku itu menimbulkan perasaan, sebagai benar Nurbaya mendapat celaka.”
“Ah, masakan begitu! Tak berapa
lama lagi, tentulah ia di sini. Jika tada, baik kau jemput saja; perkaranya
tentulah selesai,” jawab Arifin.
“Maksudku demikian juga. Kalau
hari Sabtu yang akan datang ini belum juga sampai kemari, tentulah akan
kujemput sendiri ke Padang.”
Dengan bercakap-cakap demikian,
tibalah kedua mereka di rumah Sekolah Dokter Jawa, lalu terus menuju bilik
masing-masing. Sejurus kemudian daripada itu, datanglahseorang opas pos membawa
dua helai surat kawat, untuk Syamsul Bahri. Ditanyakannya kepada Arifin, di
mana Syamsul Bahri, lalu ditunjukan oleh Arifin bilik sahabatnya ini.
“Tatkala Arifin, setengah jam
setelah itu, pergi ke bilik Samsu, hendak menanyakan surat kawat apakah yang
ditarimanya tadi sua dekali, kelihatan olehnya pintu dan jendela bilik itu
telah tertutup. Pada sangkanya, Samsu tentulah telah tidur, untuk melepaskan kantuknya,
karena kurang tidur semalam. Oleh sebab ia tiada hendak mengganggu sahabatnya
itu, ditunggunyalah sampai Samsu bangun kembali.
“Maksud Samsu sebelum menerima
kedua surat kawat tadi, sesungguhnya hendak pergi tidur; jendelanya pun telah
ditutupnya. Setelah diterimanya surat itu, ditutupnyalah pula pintunya, karena
hendak membaca kabar itu seorang diri; lebih-lebih, karena kedua surat kawat
itu sangat memberi khawatir hatinya.
“Dari siapakah kabar kawat ini,
dan bagaimanakah bunyinya?” katanya dalam hati.” O, barangkali dari Nurbaya,
memberitahu ia akan datang kemari.
“Tetapi yang sebuah lagi, dari
siapa pula?” Demikianlah pertanyaan yang timbul dalam hatinya.
Sambil berpikir-pikir demikian,
dibukanyalah kedua surat kawat itu dengan tangan yang gemetar. Setelah
dibacanya kedua surat itu, jatuhlah ia pingsan, tiada kabar darinya, sebab
kedua surat itulah yang membawa kabar kematian Nurbaya dan ibunya.
Berapa lamanya ia terbaring
pingsan itu, tiadalah diketahuinya. Ketika ia sadarkan dirinya pula, adalah
halnya seperti seorang yang gila, tak dapat berpikir dan berkata-kata. Menangis
pun tiada kuasa, sebagai tak berair lagi matanya. Sesudah termenung sejurus
lamanya, diambilnya kertas, dan kalam, lalu ditulisnya sepucuk surat kepada
ayahnya.
Dikutip dari Novel Siti Nurbaya
hal 215 – 217,
Analisis
Unsur Intrinsik Novel Siti Nurbaya
1.
Tema
kisah cinta yang
tak kunjung padam dari sepasang anak manusia yaitu Siti Nurbaya dan Samsulbahri
walaupun terpisahkan oleh jarak dan waktu.
2.
Tokoh Karakter dan Penokohan
Siti Nurbaya : baik, rela
berkorban demi ayahnya.
Samsulbahri : baik, bijak, rela
berkorban demi Siti Nurbaya.
Baginda Sulaiman : pasrah pada
nasib, kurang bijak, rela mengorbankan anaknya demi membayar hutang.
Sultan Mahmud : kurang berpikir
panjang, tidak bijak dan terlanjur terburu-buru dalam membuat keputusan.
Datuk Maringgih : culas, moralnya
bobrok, serakah, jahat.
3.
Latar
Latar Tempat : Di kota Padang dan
di Stovia, Jakarta (tempat sekolah Samsulbahri)
Latar Waktu : pada masa dimana
Kota Padang masih terjadi banyak huru hara juga saat dimana masih banyak
pemberontakan – pemberontakan
(diceritakan Datuk Maringgih salah satu dari pemberontak tersebut).
4.
Alur
Eksposisi : dua sejoli yang akan
berpisah karena Samsulbahri akan menuntut ilmu ke Jakarta.
Insiden Permulaan : Datuk Maringgih menjadi culas dan menyuruh
anak buahnya membakar semua kiosnya.
Penanjakan Laku : Samsulbahri
mengetahui Siti Nurbaya menikah dengan Datuk Maringgih
Klimak : Samsulbahri saling bunuh
dengan Datuk Maringgih
Penurunan Laku : Samsulbahri ikut
terbunuh setelah berhasil membunuh Datuk Maringgih
Penyelesaian : Samsulbahri
dikuburkan didekat makam Siti Nurbaya
5.
Sudut Pandang Pengarang :
Menggunakan sudut pandang orang
ke – 3
6.
Gaya Bahasa
Menggunakan gaya bahasa Melayu
7.
Amanat
Demi orang-orang
yang dicintainya seorang wanita bersedia mengorbankan apa saja meskipun ia tahu
pengorbanannya dapat merugikan dirinya sendiri. Lebih-lebih pengorbanan
tersebut demi orang tuanya.
Menjadi orang tua
hendaknya lebih bijaksana, tidak memutuskan suatu persoalan hanya untuk
menutupi perasaan malu belaka sehingga mungkin berakibat penyesalan di akhir
khayatnya.
Analisis Sifat-sifat tokoh
Dalam kutipan Novel/Sinopsis Siti
Nurbaya.
No
|
Nama
Tokoh
|
Unsur
Tokoh
|
Sifat-sifat
Tokoh
|
Bukti
|
1
|
Siti
Nurbaya
|
Wanita
muda ber paras cantik.
|
baik,
rela berkorban demi ayahnya
|
Siti Nurbaya menerima untuk menikah
dengan Datuk Maringgih, walaupun hatinya sakit karena harus mengorbankan
perasaan cintanya kepada Samsulbahri
|
2
|
Samsulbahri
|
Pemuda tampan, gagah dan
berpendidikan.
|
baik,
bijak, rela berkorban demi Siti Nurbaya
|
Kabar
kematian Siti Mariam dan Siti Nurbaya itu juga dikawatkan kepada Syamsul
Bahri di Jakarta. Membaca telegram yang sangat menyedihkan itu, Syamsul Bahri
memutuskan untuk bunuh diri. Sebelum hal itu dilakukannya ia menulis surat
kepada guru dan kawan-kawannya, demikian pula kepada ayahnya di Padang, untuk
minta dari berpisah untuk selama-lamanya. Kemudian dengan menyaku sebuah
pistol, pergilah ia ke kantor pos bersama Zainularifin untuk memasukan surat.
Kabar yang sangat menyedihkan itu dirahasiakan oleh Syamsul Bahri sehingga
Zainularifin pun tidak mengetehuinya. Sesampainya ke kantor pos Syamsul Bahri
minta berpisah dengan Zainularifin sengan alasan bahwa ia hendak pergi ke
rumah seorang tuan yang telah dijanjikannya. Zainularifin memperkenankannya,
tetapi dengan tak setahu Syamsul Bahri, ia menikuti gerak-gerik sahabatnya
itu, karena mulai curiga akan maksud sahabatnya itu.
|
3
|
Baginda
Sulaiman
|
Lelaki dewasa berprofesi sebagai
petani kelapa dan pedagang.
|
pasrah
pada nasib, kurang bijak, rela mengorbankan anaknya demi membayar hutang.
|
Untuk
memperbaiki perdagangannya itu, Baginda Sulaeman meminjam uang kepada Datuk
Maringgih sebanyak sepuluh ribu rupiah, karena untuk mengembalikan uang
pinjaman itu ia masih mempunyai pengharapan atas hasil kebun kelapanya.
Tetapi alangkah terkejutnya ketika diketahuinya semua pohon kelapanya sudah
tidak berbuah lagi. Kebun kelapanya itu oleh para kaki tangan Datuk Maringgih
diberi obat-obatan, sehingga pohon kelapanya tidak ada yang berbuah
sedikitpun. Disamping itu, karena hasutan kaki tangan Datuk Maringgih semua
langganan yang telah berhutang kepada Baginda Sulaeman mengingkari hutangnya.
Dengan demikian, tiba-tiba Baginda Sulaeman menjadi orang yang sangat
melarat, sehingga ia tidak dapat membayar hutangnya yang sepuluh ribu rupiah
itu. Barang-barangnya masih ada hanya kira-kira seharga tujuh ribu
rupiah.Karena Baginda Sulaeman tak dapat membayar utangnya, maka Datuk Maringgih
bermaksud hendak menyita barang-barang milik Baginda Sulaeman, kecuali jika
Siti Nurbaya diserahkan kepadanya sebagai istrinya. Mula-mula Siti Nurbaya
tidak sudi tetapi ketika melihat ayahnya digiring hendak dimasukkan penjara,
maka secara terpaksalah ia mau menjadi istri Datuk Maringgih walaupun
sebenarnya hatinya sangat benci padanya. Selanjutnya kejadian yang menimpa
diri ayah dan dirinya sendiri itu segera diberitahukan oleh Siti Nurbaya
kepada Syamsul Bahri di Jakarta.
|
4
|
Sultan
Mahmud
|
Orang dewasa, yang merupakan orang tua
dari syamsul bahri yang berprofesi sebagai penghulu
|
kurang
berpikir panjang, tidak bijak dan terlanjur terburu-buru dalam membuat
keputusan.
|
Di
para tetangga yang datang itu, kelihatan pula Sutan Mahmud Syah yang hendak menyelesaikan
peristiwa itu. Setelah ia mendengar penjelasan Datuk Maringgih tentang soal
anaknya itu, maka Syamsul Bahri oleh Sutan Mahmud Syah tanpa dipikirkan
masak-masak lebih dulu lagi. Pada malam hari itu juga secara diam-diam
pergilah Syamsul Bahri ke Teluk Bayur untuk naik kapal pergi ke Jakarta. Pada
pagi harinya ributlah Siti Mariam mencari anaknya. Setelah gagal mencarinya
di sana-sini, maka dengan sedihnya, pergilah Siti Maryam ke rumah saudaranya
di Padangpanjang. Di sana karena rasa kepedihannya itu, ia menjadi
sakit-sakit saja.
|
5
|
Datuk
Maringgih
|
culas, moralnya
bobrok, serakah, jahat.
|
Melihat
kekayaan Baginda Sulaeman Datuk Maringgih merasa tidak senang, maka semua
kekayaan Baginda Sulaeman diputuskan akan dilenyapkan. Dengan perantara kaki
tangannya itu, dibakarlah tiga buah toko Baginda Sulaeman, perahu-perahunya
yang penuh berisi muatan ditenggelamkannya.
|
No comments:
Post a Comment